Publikasi
SAHKAN RUU PPRT
Published
3 years agoon
By
Mitra Wacana

Aisyah Fajar Rochani (Volunteer Mitra Wacana)
Kasus kekerasan yang kerap dirasakan oleh PRT menginisiasi adanya gerakan sahkan RUU PPRT yang dimulai sejak tahun 1992. Pekerja rumah tangga yang mayoritas adalah perempuan terdapat banyak isu yang mereka juga harus tahu sampai kemudian juga mengenai apa saja Hak dan kewajiban dari seorang perempuan dan seorang PRT yang kemudian banyak diajarkan di sekolah. Banyaknya kasus-kasus kekerasan itu terus ada dan semakin meningkat, pada akhirnya berpikir enggak cukup kalau hanya bicara mengenai pendidikan atau penyadaran tapi juga perlindungan negara harus lebih kuat lagi secara hukum itu lebih kuat lagi maka mulailah kemudian menyusun draft rancangan undang-undang yang tepat untuk PRT.
Pekerja rumah tangga selama ini melakukan pekerjaan dengan memenuhi unsur upah, perintah dan pekerjaan, dengan demikian PRT adalah pekerja yang berhak atas hak-hak normatif dan perlindungan sebagaimana yang diterima pekerja pada umumnya. PRT adalah kaum pekerja yang rentan, karena bekerja dalam situasi yang tidak layak, seperti jam kerja yang panjang, tidak ada istirahat, tidak ada hari libur, tidak ada jaminan sosial yang terkadang hal ini menjadi tindak kekerasan dalam bekerja baik secara ekonomi, fisik dan psikis seperti intimidasi dan isolasi. Persentase PRT mayoritas adalah perempuan yang rentan tereksploitasi, dan resiko terhadap human trafficking.
PRT atau Pekerja Rumah Tangga biasanya bekerja selama lebih dari 8 jam dalam satu hari, posisi PRT dalam sosial dan dalam keluarga terkadang lebih rendah baik secara sikap dan bicara kepada si pemberi kerjanya. PRT yang dalam kondisi sosial dan keluarga sudah rendah dimanfaatkan oleh keluarga-keluarganya sebagai tulang punggung keluarga yang membuat posisinya lebih disabilitas. Prekrutan PRT yang tidak memiliki SOP terkadang menjadi hambatan tersendiri untuk mengadvokasi RUU PPRT. PRT tidak dilihat sebagai pekerja seperti pekerja pabrik, pekerja toko dan lain-lain sehingga dalam perekrutannya untuk menetapkan gaji perbulan memiliki kendala-kendala.
Semangat RUU PPRT antara lain adalah Pengakuan PRT sebagai Pekerja di dalam relasi hubungan antara pemberi kerja dan pekerja rumah tangga sehingga diskriminasi dan stigmatisasi terhadap PRT dan pekerjaannya karena bias jenis kelamin, ras tidak bernilai ekonomis dan rendah harus dihentikan.
Adanya RUU PPRT menjadi harapan besar bagi Pekerja Rumah Tangga yang mendapatkan siksaan dalam proses bekerjanya. Namun, di indonesia dengan budaya yang berbeda-beda menjadikan hal tersebut tumpang tindih sehingga banyak yang tidak menyadari bahwa PRT mengalami eksploitasi. RUU PPRT yang sudah berusia 30 tahun sejak 1992 belum mendapatkan titik terang untuk disahkan sebagai UU di dalam DPR, padahal banyak RUU yang masih berusia muda sudah disahkan duluan seperti KUHP, PPKS, dan Omnibus Law. Presiden Jokowi sendiri sudah mengamantkan untuk segera disahkan sebagai UU, tetapi didalam DPR sendiri masih menganggap RUU PPRT bukan suatu hal yang genting.
Sumber : Disarikan dari Talkshow Mitra Wacana dengan Narasumber Ernawati (Rumpun Tjut Nyak Dhien) di Radio Smart 102.1 FM Yogyakarta
Berita
PAMERAN ARSIP KERTAS 2025: SETARA – MEREKAM PEREMPUAN DALAM RUANG DEMOKRASI
Published
1 week agoon
10 November 2025By
Mitra Wacana
Yogyakarta – Pameran arsip tahunan KERTAS kembali digelar di Gedung Iso Reksohadiprojo, Departemen Bahasa Seni dan Manajemen Budaya, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Madah (UGM). Pameran KERTAS 2025 berlangsung dari 8 November hingga 15 November 2025 dan teruka untuk umum serta dapat dikunjungi secara gratits. Tahun ini, pameran berjudul “Setara: Merekam Perempuan dalam Ruang Demokrasi”, menghadirkan refleksi tentang jejak perjuangan, partisipasi, dan representasi perempuan dalam sistem demokrasi Indonesia.
Lebih dari 260 arsip dalam bentuk foto, teks, data, dan audio-visual diolah menjadi infografis interaktif. Melalui arsip-arsip ini, mahasiswa program studi Kearsipan, Sekolah Vokasi, UGM mengajak public menelusuri dinamika perempuan dalam ruang demokrasi, mulai dari partisipasi politik, represi sosial, serta bentuk resistensi di tengah ketimpangan ini.
PIC Kegiatan, Irfan Rizky Darajat, S.I.P., M.A., menjelaskan bahwa pameran ini tidak hanya menjadi ruang dokumentasi, tetapi juga forum diskusi sosial. “Pameran ini dapat membantu dalam melihat cara pandang yang lain bagaimana pameran arsip bisa dijadikan sebagai diskusi tentang wacana sosial,” ujarnya.

Pameran ini dibagi menjadi ruang utama, yaitu partisipasi, represi, dan resistensi. Ruang partisipasi menyoroti keterlibatan perempuan dalam Trias Politika, mulai dari tokoh-tokoh pionir seperti Maria Ulfah, S.K. Trimurti, Sri Widoyati, Siti Sukaptinah, dan Supeni Pudjobuntoro, hingga peta perwakilan perempuan di DPR, Pilkada, dan lembaga Yudikatif, dari sebelum reformasi hingga sesudah reformasi. Selain itu, dalam ruangan ini juga menghadirkan peran dari Non-Governmental Organization (NGO) yang mendampingi dan melayani masyarakat secara umum maupun perempuan secara khusus, seperti Mitra Wacana, Mama Aleta Fund, Beranda Migran, SP Kinasih, dan organisasi lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia.
Mitra Wacana, salah satu organisasi pemberdayaan perempuan yang berdiri pada 2 April 1996 dengan nama awal Pusat Layanan Informasi Perempuan (PLIP) Mitra Wacana. Sejak berdiri, organisasi ini berfokus pada penyediaan layanan informasi tentang keadilan dan kesetaraan gender, serta pemberdayaan perempuan dan anak. Saat ini, Mitra Wacana memiliki delapan fokus isu utama, yakni penghapusan kekerasan seksual, pencegahan perkawinan anak, pendidikan politik perempuan, pencegahan perdagangan manusia, pencegahan Intoleransi, Radikalisme, Extremisme, dan Terorisme (IRET), perempuan dan anti korupsi, serta perempuan dan kebencanaan.
Dalam menjalankan kegiatannya, Mitra Wacana mengusung strategi pengorganisasian dan advokasi langsung di masyarakat, antara lain melalui pendirian Pusat Pembelajaran Perempuan dan Anak (P3A) di berbagai wilayah dampingan, pendampingan kader perempuan, advokasi kebijakan publik ramah gender, serta produksi materi edukatif seperti buku, modul, film, dan komik bertema kesetaraan gender. Kehadiran Mitra Wacana di pameran ini memperluas pemahaman tentang bagaimana advokasi gender dijalankan secara konkret dan berkelanjutan di tingkat masyarakat.
Ruang kedua menelusuri berbagai bentuk represi terhadap perempuan, baik dalam ranah sosial dan politik. Arsip-arsip di ruang ini menyoroti berbagai bentuk praktik diskriminasi, mulai dari kekerasan seksual, femisida, diskriminasi, polemik politik, perampasan tanah adat, hingga domestikasi peran perempuan. Salah satu sorotan pentingnya adalah kisah Mama Aleta Baun, aktivis tenun dari Nusa Tenggara Timur (NTT), yang pernah memimpin perlawanan terhadap tambang marmer di melalui menenun bersama di lokasi tambang.
Ruang terakhir menampilkan ketahanan dan solidaritas perempuan melalui empat bentuk ekspresi budaya dan aktivisme, yaitu aksi unjuk rasa, tulisan, aktivisme digital, dan karya seni. Pameran ini menegaskan bahwa resistensi bukan hanya tindakan politik, melainkan juga keberanian perempuan untuk terus bersuara dan mengarsipkan pengalamannya sendiri.
Sebagai bagian dari upaya membuka akses publik yang lebih luas, panitia juga menyediakan guide book digital yang dapat diundung langsung melalui situs resmi https://pameranarsip.sv.ugm.ac.id/koleksi/. Panduan ini berisi kurasi tema, penjelasan tiap raung, dan koleksi-koleksi yang memudahkan pengunjung menjelajahi pameran, baik secara luring maupun daring.









