web analytics
Connect with us

Arsip

Sejarah Trafficking di Indonesia

Published

on

Talkshow di radio Sonora : Sejarah Trafficking di IndonesiaSenin 12 Mei 2014, pukul 11.00 hingga 12.00 WIB, Mitra Wacana WRC bekerjasama dengan radio Sonora menyelenggarakan talkshow yang berjudul Sejarah Trafficking di Indonesia dengan nara sumber Eka Septi Wulandari, Diana Kamilah dan Umi Asih.

Perdagangan orang (trafficking) di Indonesia mencakup perdagangan lelaki, perempuan dan anak. Sejarah trafficking di Indonesia lebih banyak memakan korban perempuan dan anak-anak. Di Indonesia hal ini bukanlah sesuatu yang baru. Sejak penjajahan Kolonial Belanda di Indonesia permasalahan ini sudah menjadi pusat perhatian. Rezim penjajah Belanda dan kapitalis perusahaan perkebunannya menghisap kekayaan alam negeri ini, yang tidak sedikitpun mendermakan kemakmuran rakyat pribumi, rakyat kecil malah dilecut dengan kerja paksa. Menyisakan berjuta derita buruh-buruh perkebunan besar asal Jawa yang direkrut massal seperti isu kuli kontrak di Deli, Sumatera Timur atau Sumatera Utara sekarang ini (Muhammad Joni, 2011)

Saat itu, dengan kontrak mereka bekerja dengan upah murah, terancam poenale sanctie, tanpa jaminan sosial dan karier. Para kuli itu pun lestari terperah sebagai korban perbudakan perusahaan perkebunan – yang dilindungi otoritas kolonial.
Terperah? Ya, karena dari keringat dan darah para kuli kontrak Jawa Deli (Jadel) mengalir jutaan gulden devisa hanya dari perkebunan tembakau Deli, yang ditamsil bagaikan “pohon berdaun uang” dan terkenal ke pasar lelang tembakau dunia.

Kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) di tahun 1932 : berkeyakinan ada hubungan yang signifikan antara persoalan perdagangan perempuan dan pelacuran dengan masalah kemiskinan rakyat, yang pada saat itu hidup dalam belitan hutang serta kondisi kerja yang buruk bagi buruh perempuan. Satu hal yang tak terlupakan adalah, sejarah sedih perempuan Indonesia yang menjadi Jugun Ianfu yang menjadi objek seksual oleh tentara jepang pada Perang Dunia II, dan hal ini jelas merupakan tindakan Trafficking in Women and Children atas nama perbudakan seksual untuk tujuan perang. Dari hal tersebut dapat di lihat bahwa permasalahan trafficking di Indonesia, telah ada sejak berdirinya Negara ini

“Fakta sejarah menunjukan bahwa di Indonesia juga terdapat perbudakan dan perdagangan budak atau trafiking manusia” ( Lapian, 2006 dalam Tantina, 2011 ). Hal ini terjadi karena kurangnya kewaspadaan pemerintah dalam menanggapi hal tersebut sehingga perdagangan manusia terus berlanjut tanpa ada penanganan yang pasti terhadap masalah ini. Para korban yang biasanya adalah perempuan atau anak – anak, diiming – imingi dengan sesuatu yang mereka inginkan seperti tawaran pekerjaan untuk menjadi seorang penyanyi atau penari dalam dunia entertainment, tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri, babysitter dan sebagainya. Kurangnya kewaspadaan dan rasa curiga terhadap sesuatu yang tidak jelas membuat para korban mudah jatuh dalam perangkap oknum – oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut. (imz)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Arsip

Merajut Kolaborasi Lintas Iman: Mencegah Intoleransi, Radikalisme dan Ekstremisme Di Baciro

Published

on

Sebagai upaya melakukan pencegahan terhadap fenomena intoleransi, radikalisme dan ekstremisme (IRE), Mitra Wacana melaksanakan program kolaboratif dengan masyarakat lintas iman sepanjang bulan Maret hingga Mei 2025. Program ini dilaksanakan di Kalurahan Baciro, Kapanewon Gondokusuman Kota Yogyakarta. Dijalankannya program ini tidak terlepas dari eskalasi kasus intoleransi yang sempat terjadi di Yogyakarta dalam beberapa tahun terakhir. Kasus-kasus tersebut menjadi goresan-goresan luka bagi realitas masyarakat Yogyakarta yang kaya akan keberagaman dan menjunjung kehidupan yang toleran.

Kalurahan Baciro dipilih karena beberapa alasan. Pertama, Kalurahan Baciro merepresentasikan kemajemukan masyarakatnya yang meliputi warga urban, mahasiswa dan masyarakat lintas iman. Kedua,  di Baciro pernah terjadi tindakan intoleran berupa penolakan rumah ibadah dan persekusi terhadap kelompok Ahmadiyah. Ketiga, tokoh lokal dan struktur formal di Kalurahan Baciro memberikan dukungan untuk dilaksanakannya program ini. Selain itu, Baciro juga telah ditetapkan sebagai Kalurahan Kerukunan sehingga memiliki potensi besar untuk dijadikan model replikasi upaya pencegahan IRE.

Melalui program ini, Mitra Wacana hadir dengan pendekatan partisipatif, melibatkan perempuan, orang muda, tokoh agama, aparat, kelompok minoritas, organisasi lintas iman dan media sebagai agen yang merawat keberagaman. Pelaksana program menggunakan pendekatan edukasi berbasis komunitas berperspektif gender, menghadirkan ruang aman bagi dialog lintas iman serta melakukan kampanye narasi damai baik secara daring maupun luring.

            Program ini diawali dengan dialog bersama para jurnalis untuk mengkampanyekan narasi damai di media. Selain mengajak jurnalis dan admin media berbagai komunitas dan lembaga, media Mitra Wacana sendiri juga melakukan produksi konten narasi damai dan mempublikasikannya dengan mengajak jejaring sebagai kolaborator postingan media sosial. Di samping itu, Mitra Wacana juga memberikan workshop mengenai kampanye digital kepada admin media sosial komunitas-komunitas yang ada di Yogyakarta.

Implementasi program ini juga meliputi lokalatih tentang pengenalan IRE dan strategi pencegahannya yang dilaksanakan sebanyak dua kali, peluncuran Buku Panduan Praktis Deteksi Dini IRE, talkshow di radio untuk memperluas jangkauan isu, evaluasi partisipatif hingga audiensi ke Walikota Yogyakarta dan Kesbangpol DIY. Namun, pencegahan IRE tidak sepenuhnya berjalan mulus. Beberapa hal masih menjadi tantangan dalam pelaksanaan program misalnya masih adanya stigma terhadap minoritas (Ahmadiyah, penghayat). Kemudian, pencegahan IRE juga tidak dianggap populer di media, tidak semua masyarakat dan organisasi terjangkau langsung serta durasi program yang sangat singkat.

Mitra Wacana perlu menerapkan strategi khusus agar program pencegahan IRE ini berjalan lancar dan menghasilkan output serta outcome yang tepat sasaran. Adapun beberapa strategi yang dilakukan Mitra Wacana antara lain: membangun kepercayaan melalui komunikasi personal dengan kelompok minoritas, melakukan kolaborasi strategis dengan Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta, distribusi buku deteksi dini IRE ke 21 Rukun Warga serta advokasi ke Wali Kota dan Kesbangpol untuk keberlanjutan kebijakan dan replikasi program.

Program yang dijalankan Mitra Wacana ini berhasil menjangkau 53 peserta dari beragam gender, agama dan usia. Kemudian, menghasilkan lebih dari 25 konten digital edukatif dengan lebih dari 82 ribu penonton, menjangkau 41 kolaborator, menghasilkan 10 artikel dan 38 publikasi kegiatan, tersusunnya Buku Panduan Praktis Deteksi Dini IRE serta menjangkau 21 content creator.

Hasil survei terhadap peserta menunjukkan bahwa peserta meningkat dari sisi pengetahuan, sikap dan perilaku. Tools deteksi dini IRE juga dirasakan sangat membantu sebagai alat mengidentifikasi gejala intoleransi, radikalisme dan ekstremisme dalam masyarakat. Nugraha Dhayu Mukti dari Gema Pakti mengaku setelah mengikuti program ini dia merasa lebih paham tentang bentuk dan perilaku IRE. Selain itu dia merasa lebih percaya diri karena penghayat kepercayaan sudah mulai diterima berkegiatan secara umum atau lintas iman karena Mitra Wacana selalu melibatkan kelompok penghayat di setiap kegiatan.

Adapun Abdul Halim dari FKUB Kota Yogyakarta menyampaikan program-program yang dilaksanakan Mitra Wacana menjadi ruang dialog lintas iman yang sesungguhnya. “Kegiatan lintas iman seperti ini memberi ruang untuk membangun silaturahmi lintas iman. Tidak sekadar teori, tapi benar-benar menghidupkan dialog” ungkapnya. Program ini membuktikan bahwa perdamaian bisa dibangun mulai dari ruang-ruang kecil yang partisipatif dan keterlibatan lintas kelompok menjadi kunci keberhasilan. (wiji nur asih)

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending