web analytics
Connect with us

Publikasi

Sinau Sareng Mitra Wacana: Menakar Ulang Mitigasi Bencana yang Inklusif bagi Kelompok Rentan

Published

on

Jumat, 2 Mei 2025 Mitra Wacana berkolaborasi dengan peserta magang YKPI mengadakan diskusi bersama dalam Program Sinau Sareng. Kegiatan yang berlangsung dalam suasana akrab ini mengangkat tema penting dan sering luput dari pembahasan publik: Mitigasi Bencana terhadap Kelompok Rentan yang Inklusif. Diskusi ini menghadirkan narasumber Alfi Ramadhani, Koordinator Divisi Pendidikan dan Pengorganisasian Mitra Wacana, yang membagikan wawasan mendalam tentang pentingnya pendekatan inklusif dalam penanganan kebencanaan.

Diskusi dimulai dengan penjelasan mendasar mengenai klasifikasi bencana. Kak Alfi, sapaan akrab narasumber, menguraikan tiga jenis bencana utama. Pertama adalah bencana alam seperti banjir, tsunami, tanah longsor, gunung meletus, dan angin topan. Kedua, bencana antropogenik yang bersumber dari ulah manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti kecelakaan industri dan konflik peperangan. Ketiga, bencana kompleks, yang merupakan kombinasi dari faktor alam dan manusia, seperti kelaparan, ketimpangan sosial, dan konflik politik.

Menariknya, data menunjukkan bahwa di Indonesia, bencana paling banyak disebabkan oleh faktor hidrometeorologi seperti banjir dan cuaca ekstrem—menyumbang sekitar 90% dari total kejadian. Sementara itu, bencana geologi dan antropogenik masing-masing hanya menyumbang sekitar 7% dan 3%. Perbandingan dengan kondisi di belahan dunia lain, seperti di Palestina, menunjukkan kompleksitas yang lebih tinggi. Di sana, faktor antropogenik seperti konflik bersenjata, krisis politik, dan kemanusiaan memperparah dampak bencana. Bahkan perubahan iklim ekstrem turut menyumbang pada kelangkaan air bersih, yang berdampak luas pada kesehatan, ketahanan pangan, dan kondisi psikologis masyarakat Gaza.

Dari paparan tersebut, semakin jelas bahwa bencana tidak hanya soal alam yang murka. Cara manusia dan sistem sosial menanggapi bencana juga menentukan siapa yang selamat, siapa yang tertinggal. Dalam konteks ini, penanganan bencana yang inklusif menjadi keharusan moral sekaligus strategis.

Sayangnya, dalam praktiknya, kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, penyandang disabilitas, perempuan, masyarakat miskin, kelompok minoritas, dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) masih sering diabaikan. Mereka kesulitan dalam mengakses bantuan, proses evakuasi, maupun pemulihan pasca-bencana. Kebutuhan spesifik mereka seringkali tak terlihat dalam sistem yang seragam dan tidak responsif terhadap keragaman.

Lebih jauh, orang-orang dengan identitas gender non-normatif kerap mengalami diskriminasi ganda. Selain terdampak bencana, mereka juga menghadapi stigma sosial, keraguan dari pihak berwenang, bahkan penolakan untuk mengakses hak dasar. Infrastruktur yang tidak ramah disabilitas, informasi yang tidak aksesibel, serta layanan yang bias gender menunjukkan bahwa sistem kita masih jauh dari inklusif.

Permasalahan lain yang tak kalah serius adalah minimnya pelibatan kelompok rentan dalam perencanaan mitigasi bencana. Padahal, mereka memiliki pengalaman hidup dan perspektif yang berharga untuk merancang sistem penanggulangan yang lebih adil dan efektif. Ketimpangan dalam distribusi logistik dan layanan hanya akan terus terjadi jika kelompok yang paling terdampak justru tidak dilibatkan sejak awal.

Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah perlu mengambil langkah yang lebih berani dan berpihak. Tidak cukup hanya dengan memberi bantuan, pemerintah harus memastikan akses yang setara bagi semua, termasuk kelompok rentan. Pelibatan aktif mereka dalam proses perencanaan hingga evaluasi kebijakan kebencanaan sangat penting untuk menciptakan sistem yang benar-benar adil. Pemerintah juga harus memastikan bahwa program penanggulangan bencana tidak hanya menjangkau, tetapi juga memberikan manfaat nyata yang setara bagi semua golongan.

Diskusi ini menjadi pengingat bahwa mitigasi bencana bukan hanya soal teknis dan logistik, melainkan juga tentang keadilan sosial. Saat kita bicara tentang inklusi, kita sedang bicara tentang siapa yang dianggap penting dalam sistem, dan siapa yang selama ini dikesampingkan. Maka, mari kita dorong semua pihak untuk menjadikan inklusivitas sebagai fondasi dalam setiap langkah penanggulangan bencana—bukan sebagai tambahan, melainkan sebagai prinsip utama.

Penulis : Thoha Ulul A.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Berita

PAMERAN ARSIP KERTAS 2025: SETARA – MEREKAM PEREMPUAN DALAM RUANG DEMOKRASI

Published

on

Yogyakarta – Pameran arsip tahunan KERTAS kembali digelar di Gedung Iso Reksohadiprojo, Departemen Bahasa Seni dan Manajemen Budaya, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Madah (UGM). Pameran KERTAS 2025 berlangsung dari 8 November hingga 15 November 2025 dan teruka untuk umum serta dapat dikunjungi secara gratits. Tahun ini, pameran berjudul “Setara: Merekam Perempuan dalam Ruang Demokrasi”, menghadirkan refleksi tentang jejak perjuangan, partisipasi, dan representasi perempuan dalam sistem demokrasi Indonesia.

Lebih dari 260 arsip dalam bentuk foto, teks, data, dan audio-visual diolah menjadi infografis interaktif. Melalui arsip-arsip ini, mahasiswa program studi Kearsipan, Sekolah Vokasi, UGM mengajak public menelusuri dinamika perempuan dalam ruang demokrasi, mulai dari partisipasi politik, represi sosial, serta bentuk resistensi di tengah ketimpangan ini.

PIC Kegiatan, Irfan Rizky Darajat, S.I.P., M.A., menjelaskan bahwa pameran ini tidak hanya menjadi ruang dokumentasi, tetapi juga forum diskusi sosial. “Pameran ini dapat membantu dalam melihat cara pandang yang lain bagaimana pameran arsip bisa dijadikan sebagai diskusi tentang wacana sosial,” ujarnya.

Pameran ini dibagi menjadi ruang utama, yaitu partisipasi, represi, dan resistensi. Ruang partisipasi menyoroti keterlibatan perempuan dalam Trias Politika, mulai dari tokoh-tokoh pionir seperti Maria Ulfah, S.K. Trimurti, Sri Widoyati, Siti Sukaptinah, dan Supeni Pudjobuntoro, hingga peta perwakilan perempuan di DPR, Pilkada, dan lembaga Yudikatif, dari sebelum reformasi hingga sesudah reformasi. Selain itu, dalam ruangan ini juga menghadirkan peran dari Non-Governmental Organization (NGO) yang mendampingi dan melayani masyarakat secara umum maupun perempuan secara khusus, seperti Mitra Wacana, Mama Aleta Fund, Beranda Migran, SP Kinasih, dan organisasi lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia.

Mitra Wacana, salah satu organisasi pemberdayaan perempuan yang berdiri pada 2 April 1996 dengan nama awal Pusat Layanan Informasi Perempuan (PLIP) Mitra Wacana. Sejak berdiri, organisasi ini berfokus pada penyediaan layanan informasi tentang keadilan dan kesetaraan gender, serta pemberdayaan perempuan dan anak. Saat ini, Mitra Wacana memiliki delapan fokus isu utama, yakni penghapusan kekerasan seksual, pencegahan perkawinan anak, pendidikan politik perempuan, pencegahan perdagangan manusia, pencegahan Intoleransi, Radikalisme, Extremisme, dan Terorisme (IRET), perempuan dan anti korupsi, serta perempuan dan kebencanaan.

Dalam menjalankan kegiatannya, Mitra Wacana mengusung strategi pengorganisasian dan advokasi langsung di masyarakat, antara lain melalui pendirian Pusat Pembelajaran Perempuan dan Anak (P3A) di berbagai wilayah dampingan, pendampingan kader perempuan, advokasi kebijakan publik ramah gender, serta produksi materi edukatif seperti buku, modul, film, dan komik bertema kesetaraan gender. Kehadiran Mitra Wacana di pameran ini memperluas pemahaman tentang bagaimana advokasi gender dijalankan secara konkret dan berkelanjutan di tingkat masyarakat.

Ruang kedua menelusuri berbagai bentuk represi terhadap perempuan, baik dalam ranah sosial dan politik. Arsip-arsip di ruang ini menyoroti berbagai bentuk praktik diskriminasi, mulai dari kekerasan seksual, femisida, diskriminasi, polemik politik, perampasan tanah adat, hingga domestikasi peran perempuan. Salah satu sorotan pentingnya adalah kisah Mama Aleta Baun, aktivis tenun dari Nusa Tenggara Timur (NTT), yang pernah memimpin perlawanan terhadap tambang marmer di melalui menenun bersama di lokasi tambang.

Ruang terakhir menampilkan ketahanan dan solidaritas perempuan melalui empat bentuk ekspresi budaya dan aktivisme, yaitu aksi unjuk rasa, tulisan, aktivisme digital, dan karya seni. Pameran ini menegaskan bahwa resistensi bukan hanya tindakan politik, melainkan juga keberanian perempuan untuk terus bersuara dan mengarsipkan pengalamannya sendiri.

Sebagai bagian dari upaya membuka akses publik yang lebih luas, panitia juga menyediakan guide book digital yang dapat diundung langsung melalui situs resmi https://pameranarsip.sv.ugm.ac.id/koleksi/. Panduan ini berisi kurasi tema, penjelasan tiap raung, dan koleksi-koleksi yang memudahkan pengunjung menjelajahi pameran, baik secara luring maupun daring.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending