web analytics
Connect with us

Opini

Waspada KDRT di Masa Covid-19

Published

on

notiultimas
Gambar: Notiultimas
Wahyu Tanoto

     Wahyu Tanoto

Setelah merebaknya wabah Covid-19 di wilayah global, termasuk Indonesia, pemerintah telah mengambil kebijakan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Akibatnya, ruang gerak setiap individu terbatas dan diawasi oleh pemerintah.

Efeknya, perempuan (baca: istri) memiliki beban ganda saat berada di rumah dan dalam posisi rentan mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam berbagai bentuk.

Menurut UU PKDRT Nomor 23 Tahun 2004, KDRT adalah perbuatan terhadap seseorang, terutama kaum perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Artinya, dalam lingkup rumah tangga, setiap individu yang tinggal bersama di dalam rumah tersebut dapat menjadi korban maupun pelaku. Namun, hingga saat ini, istri masih menjadi korban KDRT paling banyak dengan pelaku suami. Meskipun ada juga suami yang menjadi korban KDRT, namun jumlahnya tidak sebanyak perempuan.

Kita tahu, saat ini sedang ada wabah covid-19 di Indonesia. Lalu ada imbauan dari pemerintah untuk melakukan jaga jarak. Akibat dari kebijakan ini, terjadilah pembatasan sosial; silaturahmi, ketemu saudara, ngobrol di warung, pengajian, rapat-rapat, arisan, kerja bakti, nyadran, tahlilan, dan semua kegiatan sehari-hari menjadi terbatas.

Menurut saya, perempuan paling banyak mendapat “kerugian” dari kebijakan PSBB. Selain rentan menjadi korban kekerasan, perempuan juga akan mengalami beban ganda. Mulai dari mengurus rumah tangga, menyiapkan kebutuhan makanan, hingga memastikan anak-anak mengakses pendidikan dari rumah (tugas sekolah).

Jika biasanya anak-anak belajar di sekolah, karena ada wabah korona, akhirnya terpaksa harus belajar di rumah. Siapakah yang menemani anak belajar? Siapakah yang menyediakan waktu belajar bersama anak? Tentu saja perempuan.

Bayangkan jika dalam kondisi ini perempuan belum siap menghadapi perubahan pola kegiatan sehari-hari, maka rentan terjadi kekerasan.

Dalam situasi PSBB, perempuan juga rentan terpapar Covid-19 karena akan lebih sering keluar rumah dibandingkan laki-laki atau anggota keluarga lainnya untuk berbelanja dan memenuhi kebutuhan (makanan) keluarga. Di sisi lain, struktur sosial yang masih patriarkis juga mengharuskan perempuan berperan sebagai pengasuh, pendidik, memastikan kesehatan keluarga, dan menyiapkan makanan.

Beban perempuan akan bertambah apabila bekerja di luar rumah namun juga masih mengurus rumah tangga. Kita semua paham bahwa bekerja mengurus rumah tangga bukanlah pekerjaan ringan, karena banyak hal yang dikerjakan namun “tidak membekas”, bahkan terkadang dianggap remeh.

Contohnya mengepel lantai; baru saja dipel, kotor lagi, lalu dipel lagi, bisa lebih dari 5 kali sehari, apalagi jika memiliki balita yang memilih tidak menggunakan popok. Selain itu, tuntutan agar tetap berada di rumah juga membuat pertemuan makin intens. Padahal idealnya, dalam hubungan yang sehat dibutuhkan waktu masing-masing untuk sendiri.

Di tengah situasi wabah Covid-19, ketika perempuan dianggap tidak mampu menjalankan peran domestiknya, perempuan rentan mengalami KDRT. Kenapa ini dapat terjadi? Karena dalam situasi darurat, otak kita memiliki respons dari suatu tekanan (stres).

Bayangkan ketika situasi darurat itu muncul, maka hanya ada dua pilihan, melawan atau lari keluar dari rumah. Kita tidak mungkin bisa lari keluar dari rumah karena ada imbauan untuk tetap tinggal di rumah.

Akibatnya, terjadilah respons stres, yaitu melawan. Contohnya bertengkar. Dalam situasi bertengkar, apakah ada jaminan jika setiap orang mampu mengendalikan emosi? Anda bisa menjawabnya sendiri-sendiri, sekalian sebagai bentuk introspeksi diri di tengah wabah Covid-19 saat ini.

Jika kita belum memiliki kemampuan dalam komunikasi yang “efektif”, yaitu bagaimana menyampaikan kebutuhan dan menampilkan emosi yang sehat, rentan muncul perilaku “kasar”. Perilaku ini dapat dilakukan oleh siapa pun tanpa memandang latar belakang agama, lokasi, pendidikan, dan lainnya. Artinya, setiap rumah tangga memiliki risiko yang sama.

Sebagai contoh, kasus kekerasan di DKI Jakarta. Dalam waktu sebulan, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK Jakarta) telah menerima 97 pengaduan melalui telepon dan surat elektronik sejak 16 Maret hingga 19 April 2020.

Dari 97 kasus tersebut, jumlah yang paling banyak dilaporkan adalah KDRT 33 kasus, menyusul Kekerasan Gender Berbasis Online (KBGO) 30 kasus, pelecehan seksual 8 kasus, Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) 7 kasus, kasus pidana umum 6 kasus, dan perkosaan 3 kasus. Sisanya, kasus di luar kekerasan berbasis gender, perdata keluarga, serta kekerasan lainnya, yaitu fisik, psikis, seksual, dan penelantaran ekonomi.

Contoh kasus yang terjadi di DKI Jakarta dapat dijadikan bukti bahwa rumah belum tentu menjadi tempat aman bagi perempuan. Apalagi dalam masa wabah Covid-19 ini, perempuan menjadi lebih rentan. Bukan saja rentan tertular virus, tetapi juga rentan menjadi korban kekerasan.

Mengapa perempuan lebih rentan menjadi korban KDRT?

Pertama, karena faktor pendidikan yang belum mengajarkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. Pendidikan yang dimaksud tidak selalu berarti pendidikan formal (PAUD, TK, SD, SMP, SMA, dst), namun pendidikan informal.

Misalnya pengajian, kajian, pertemuan di masyarakat, pelatihan-pelatihan, belum banyak yang membahas tentang kesetaraan hubungan antara laki-laki dan perempuan serta minimnya pengenalan terhadap ciri-ciri kekerasan. Idealnya, pendidikan tersebut dipelajari oleh anak sejak masih kecil/masa kanak-kanak. Ini termasuk parenting.

Kedua, karena faktor kebiasaan (budaya), yaitu kebiasaan yang menganggap bahwa laki-laki atau suami adalah sosok segala-galanya (patriarki). Karena kebiasaan ini dilakukan terus-menerus, akhirnya dianggap sebagai kebenaran “mutlak” yang tidak dapat diubah oleh siapa pun, kecuali oleh Tuhan.

Apalagi anggapan bahwa laki-laki merupakan sosok yang paling berwenang di dalam rumah tangga juga mendapatkan pembenaran oleh ajaran/tafsir agama. Meskipun ada tafsir lain yang menyebutkan bahwa sejatinya laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang setara, hanya dua hal yang tidak dapat diubah, yaitu sperma bagi laki-laki dan ovarium bagi perempuan. Selain dua hal tersebut dapat diubah karena dibentuk oleh manusia.

Dalam patriarki, laki-laki dianggap lebih berkuasa, meskipun terkadang tidak memiliki kemampuan dalam berbagai bentuk. Patriarki juga dapat menjadi beban bagi laki-laki karena dituntut harus kuat, gagah, tegas, “jantan”, berwibawa, dll. Bagaimana jika laki-laki tidak memiliki syarat ini semua?

Ketiga, asertif masih dianggap tabu. Jika ada perempuan yang mengalami kekerasan, biasanya akan memilih “diam”, tidak melawan, atau menerima peristiwa tersebut (untuk tidak menyebut tidak berdaya). Biasanya yang terjadi adalah sedih, menangis, dan menyalahkan diri sendiri karena merasa belum sempurna menjadi seorang istri.

Kita semua paham jika menangis merupakan tindakan wajar sebagai bentuk ungkapan emosional. Namun yang menjadi masalah adalah jika ada pelabelan terhadap tindakan menangis; dianggap lemah, tak berdaya, cengeng, dan yang lebih menyakitkan adalah menangis dianggap sebagai sifat perempuan. Apakah kita belum pernah menangis?

Keempat, ada narasi menyebutkan bahwa semua laki-laki memiliki sifat melindungi dan memiliki kasih sayang. Narasi tersebut masih dipercaya oleh sebagian kecil masyarakat di Indonesia sampai hari ini.

Masalahnya, jika terjadi kekerasan dalam suatu hubungan (termasuk pacaran), sering kali masih berharap pasangannya akan berubah menjadi lebih baik. Apakah ada jaminan berubah, atau malah sebaliknya?

Akibatnya, jika seorang perempuan makin “pasrah” ketika mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari kekasihnya, makin berkuasalah pasangannya itu. Jika saat belum menikah sudah menjadi korban kekerasan dan tetap bertahan karena berbagai alasan, maka lama kelamaan perempuan menjadi tidak berdaya.

Saat ini, perempuan memiliki beban ganda saat berada di rumah dan dalam posisi lebih rentan mengalami Kekerasan. Meskipun kita bisa memahami kebijakan penetapan PSBB, namun hendaknya negara juga tetap memastikan warganya mendapatkan perlindungan, terutama bagi perempuan, supaya tetap aman dan nyaman berada di dalam rumah agar terhindar dari KDRT.

Opini ini juga terbit di https://www.qureta.com/next/post/waspada-kdrt-di-masa-covid-19

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Pengalaman Magang di Mitra Wacana Yogyakarta

Published

on

Oleh Eni Nur Chayati
Mahasiswa Universitas Widya Mataram 
 

             Saya adalah mahasiswa Universitas Widya Mataram Yogyakarta yang sedang menempuh semester akhir. Kewajiban magang membuat saya harus mencari tempat untuk menghabiskan setidaknya dua bulan berkegiatan di luar kampus. Saya mahasiswa jurusan Sosiologi, saya berminat pada pekerjaan sosial dan isu gender, khususnya perempuan. Maka ketika saya menemukan akun Mitra Wacana pada platform Instagram, saya segera mengonfirmasi tentang kesempatan magang di sana. Akhirnya, saya mendapat kesempatan magang di Mitra Wacana dari tanggal 1 Oktober – 30 November 2024 bersama dua teman saya.

               Kesan di hari pertama tiba di kantor Mitra Wacana adalah bingung dan tentu saja, canggung. Tetapi seperti kebanyakan LSM yang saya ketahui, suasana kantornya sangat homey. Kami memilih untuk bergabung ke divisi pendidikan dan pengorganisasian, yang setelah itu saya tahu, dikoordinatori oleh Mas Mansur. Kebingungan berlanjut sampai hari-hari berikutnya, sebab kami harus menentukan sendiri program kerja yang akan kami laksanakan. Dengan kesadaran untuk berkembang dan mencari pengalaman, kami mengajukan tiga proker untuk kegiatan kami selama dua bulan; building capacity, diskusi tematik, dan mini riset.

               Kami mulai berkegiatan pada minggu kedua bulan Oktober. Suasana antara staf dan mahasiswa magang mulai mencair. Saya dan kawan-kawan mulai bisa beradaptasi serta berdiskusi tentang latar belakang dan cerita masing-masing—tak lupa juga melontarkan banyak pertanyaan tanpa henti. Magang di Mitra Wacana sangat fleksibel. Jumlah agenda kami turun lapangan selama magang hanya satu kali, yaitu ke Kulon Progo untuk edukasi pencegahan KDRT. Hal ini dikarenakan pada bulan Oktober kemarin Mitra Wacana baru saja menyelesaikan program tahunan dan sedang dalam masa evaluasi. Maka kami berkegiatan sekenanya sambil berusaha mencari apapun yang bisa dijadikan pengalaman.

               Banyak ilmu yang saya dapatkan lewat proker yang kami susun. Di diskusi tematik, saya belajar mengorganisir suatu acara, yang pada saat itu bertemakan perempuan marginal, sehingga saya juga mendapat pandangan terkini mengenai isu gender dan marginalisasi perempuan. Pada kegiatan building capacity, saya mengetahui manajemen kerja NGO dan tetek-bengeknya.

     Terakhir, yang menjadi pengalaman paling ‘nano-nano’ adalah pembuatan—pertama kalinya—sebuah mini riset. Pengerjaannya menuntut pikiran dan tenaga tetapi hasilnya begitu memuaskan. Kami berhasil merangkum pengetahuan serta pengalaman staf dalam riset yang berjudul “Perspektif Staf Mitra Wacana Terhadap Marginalisasi Perempuan di Desa Dampingan P3A”. Berbagai hasil dan hal-hal menyenangkan di Mitra Wacana tidak luput dari peran seluruh staf yang menciptakan lingkungan suportif dan sikap keterbukaan kepada mahasiswa magang. Magang di Mitra Wacana mendorong saya untuk berpikir lebih praktikal dan mengambil aksi mengenai isu gender yang selama ini hanya saya pahami dalam kepala.

Sekian, yang dapat saya tuliskan mengenai pengalaman ketika menjadi mahasiswa magang di Mitra Wacana. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk pembaca. Terima kasih.

Continue Reading

Trending