web analytics
Connect with us

Rilis

Aksi Tuntut Polda DIY Usut Penyerangan di LKiS

Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) melakukan aksi bersama di Polda DIY pada pagi tadi (3/7). Aksi ini diikuti berbagai lembaga yang tergabung di JPY, beberapa lembaga tersebut, yaitu PKBI, Rifka Annisa, Mitra Wacana, ICM, LKIS dll. JPY menuntut Polda DIY segera menuntaskan kasus kekerasan yang terjadi di LKIS bulan Mei lalu. JPY mendorong dan mendukung Polda agar segera mengusut dengan tuntas kasus yang menimpa teman-teman korban kekerasan yang terjadi di LKIS.

Published

on

Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) melakukan aksi bersama di Polda DIY

Unjuk Rasa Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) di Polda DIY

Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) melakukan aksi bersama di Polda DIY  pada pagi tadi (3/7).  Aksi ini diikuti berbagai lembaga yang tergabung di JPY, beberapa lembaga tersebut, yaitu PKBI, Rifka Annisa, Mitra Wacana, ICM, LKIS dll. JPY  menuntut Polda DIY segera menuntaskan kasus kekerasan yang terjadi di LKIS bulan Mei lalu. JPY mendorong dan mendukung Polda  agar  segera mengusut dengan tuntas kasus yang menimpa teman-teman korban kekerasan yang terjadi di LKIS.

Pada bulan Mei lalu kantor LKiS Yogyakarta diserang oleh sekelompok orang dari ormas tertentu, hal tersebut mengundang keprihatinan banyak pihak. Awalnya, LKiS pada mei lalu  mengadakan diskusi terbuka di kantornya, tapi ternyata ada pihak-pihak yang tidak berkenan dengan adanya diskusi tersebut. Sehingga pada saat berlangsung diskusi tersebut ada sekelompok orang dari ormas tertentu membubarkan diskusi tersebut, tidak hanya membubarkan tapi sekelompok orang ini juga merusak tempat diskusi bahkan melakukan kekerasan pada peserta diskusi. karena merasa dirugikan dan terintimidasi dengan aksi kekerasan dari ormas tersebut, korban kekerasan dari peserta diskusi melaporkan kejadian tersebut ke Kepolisian.

Setelah beberapa waktu ternyata kasus yang telah dilaporkan ke kepolisian ini sepertinya berjalan di tempat, belum ada kepastian kapan kasus tersebut selesai. hal ini mendorong teman-teman JPY melakukan aksi dan dorongan agar Polda DIY benar-benar serius mengusut dengan tuntas kasus kekerasan tersebut. Dengan adanya dukungan melalui aksi tersebut JPY berharap Polda tidak lupa untuk mengusut kasus kekerasan tersebut. (rif)

Continue Reading
2 Comments

2 Comments

  1. yossy suparyo

    11 July 2012 at 10:26 am

    Seharusnya kepolisian bisa cepat menangkap pelakunya karena pasti muka pelaku

    • mitrawacana

      13 July 2012 at 2:34 pm

      gimana kita bisa kenal wajah pelakunya, lha wong ditutup pake helm dan sorban. apa kita haus kenalan dulu…? itu tugas polisi lah…

Leave a Reply

Publikasi

Sinau Sareng Mitra Wacana: Menakar Ulang Mitigasi Bencana yang Inklusif bagi Kelompok Rentan

Published

on

Jumat, 2 Mei 2025 Mitra Wacana berkolaborasi dengan peserta magang YKPI mengadakan diskusi bersama dalam Program Sinau Sareng. Kegiatan yang berlangsung dalam suasana akrab ini mengangkat tema penting dan sering luput dari pembahasan publik: Mitigasi Bencana terhadap Kelompok Rentan yang Inklusif. Diskusi ini menghadirkan narasumber Alfi Ramadhani, Koordinator Divisi Pendidikan dan Pengorganisasian Mitra Wacana, yang membagikan wawasan mendalam tentang pentingnya pendekatan inklusif dalam penanganan kebencanaan.

Diskusi dimulai dengan penjelasan mendasar mengenai klasifikasi bencana. Kak Alfi, sapaan akrab narasumber, menguraikan tiga jenis bencana utama. Pertama adalah bencana alam seperti banjir, tsunami, tanah longsor, gunung meletus, dan angin topan. Kedua, bencana antropogenik yang bersumber dari ulah manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti kecelakaan industri dan konflik peperangan. Ketiga, bencana kompleks, yang merupakan kombinasi dari faktor alam dan manusia, seperti kelaparan, ketimpangan sosial, dan konflik politik.

Menariknya, data menunjukkan bahwa di Indonesia, bencana paling banyak disebabkan oleh faktor hidrometeorologi seperti banjir dan cuaca ekstrem—menyumbang sekitar 90% dari total kejadian. Sementara itu, bencana geologi dan antropogenik masing-masing hanya menyumbang sekitar 7% dan 3%. Perbandingan dengan kondisi di belahan dunia lain, seperti di Palestina, menunjukkan kompleksitas yang lebih tinggi. Di sana, faktor antropogenik seperti konflik bersenjata, krisis politik, dan kemanusiaan memperparah dampak bencana. Bahkan perubahan iklim ekstrem turut menyumbang pada kelangkaan air bersih, yang berdampak luas pada kesehatan, ketahanan pangan, dan kondisi psikologis masyarakat Gaza.

Dari paparan tersebut, semakin jelas bahwa bencana tidak hanya soal alam yang murka. Cara manusia dan sistem sosial menanggapi bencana juga menentukan siapa yang selamat, siapa yang tertinggal. Dalam konteks ini, penanganan bencana yang inklusif menjadi keharusan moral sekaligus strategis.

Sayangnya, dalam praktiknya, kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, penyandang disabilitas, perempuan, masyarakat miskin, kelompok minoritas, dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) masih sering diabaikan. Mereka kesulitan dalam mengakses bantuan, proses evakuasi, maupun pemulihan pasca-bencana. Kebutuhan spesifik mereka seringkali tak terlihat dalam sistem yang seragam dan tidak responsif terhadap keragaman.

Lebih jauh, orang-orang dengan identitas gender non-normatif kerap mengalami diskriminasi ganda. Selain terdampak bencana, mereka juga menghadapi stigma sosial, keraguan dari pihak berwenang, bahkan penolakan untuk mengakses hak dasar. Infrastruktur yang tidak ramah disabilitas, informasi yang tidak aksesibel, serta layanan yang bias gender menunjukkan bahwa sistem kita masih jauh dari inklusif.

Permasalahan lain yang tak kalah serius adalah minimnya pelibatan kelompok rentan dalam perencanaan mitigasi bencana. Padahal, mereka memiliki pengalaman hidup dan perspektif yang berharga untuk merancang sistem penanggulangan yang lebih adil dan efektif. Ketimpangan dalam distribusi logistik dan layanan hanya akan terus terjadi jika kelompok yang paling terdampak justru tidak dilibatkan sejak awal.

Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah perlu mengambil langkah yang lebih berani dan berpihak. Tidak cukup hanya dengan memberi bantuan, pemerintah harus memastikan akses yang setara bagi semua, termasuk kelompok rentan. Pelibatan aktif mereka dalam proses perencanaan hingga evaluasi kebijakan kebencanaan sangat penting untuk menciptakan sistem yang benar-benar adil. Pemerintah juga harus memastikan bahwa program penanggulangan bencana tidak hanya menjangkau, tetapi juga memberikan manfaat nyata yang setara bagi semua golongan.

Diskusi ini menjadi pengingat bahwa mitigasi bencana bukan hanya soal teknis dan logistik, melainkan juga tentang keadilan sosial. Saat kita bicara tentang inklusi, kita sedang bicara tentang siapa yang dianggap penting dalam sistem, dan siapa yang selama ini dikesampingkan. Maka, mari kita dorong semua pihak untuk menjadikan inklusivitas sebagai fondasi dalam setiap langkah penanggulangan bencana—bukan sebagai tambahan, melainkan sebagai prinsip utama.

Penulis : Thoha Ulul A.

Continue Reading

Trending