web analytics
Connect with us

Opini

Dukungan kepada P3A Lentera Hati

Published

on

Dokumentasi pertemuan rutin di dusun oleh P3A Lentera Hati

Oleh Safitri, Wasem Bilial Iqsom, Darmilah

Pada awal terbentuknya organisasi P3A Lentera Hati di Desa Berta tidak serta merta mendapat respon positif. Berbagai upaya koordinasi pun selalu dilakukan dengan terus melakukan pendekatan. Koordinasi dengan Pemerintah Desa Berta merupakan strategi yang harus ditempuh. Hal ini bertujuan agar pemerintah tanggap dan merespon beragam persoalan perempuan dan anak. Berbagai upaya terus dilakukan oleh anggota P3A Lentera Hati dan selalu didampingi oleh Mitra Wacana WRC dengan harapan ada regulasi yang berpihak pada kaum perempuan dan anak di Desa Berta.

Kehadiran organisasi P3A Lentera Hati di tengah-tengah masyarakat dan pemerintah mengalami berbagai macam fase. Namun sesuai dengan visi dan misi P3A Lentera Hati yakni, “Demi terwujudnya masyarakat yang adil, demokratis, pluralis, dan egaliter,” P3A Lentera Hati terus berjuang dengan upaya melakukan berbagai sosialisasi ke sekolah-sekolah dan masyarakat. Satu hal yang membuat P3A Lentera Hati yakin, kesadaran dan kebutuhan informasi akan membuat P3A Lentera Hati diterima oleh Pemerintah Desa Berta.

Akhirnya sekarang Pemerintah Desa Berta memberi peluang dan dukungan kepada P3A Lentera Hati. P3A Lentera Hati diberi fasilitas sebuah gedung kecil. Gedung Kecil tersebut diberi nama “Bilik Konseling dan Taman Belajar Masyarakat (TBM) oleh P3A Lentera Hati. Pemerintah Desa melalui dana desa juga memberikan anggaran kepada P3A Lentera Hati sebesar dua juta rupiah.

Dengan segudang harapan agar keberadaan P3A Lentera Hati benar-benar dapat menjadi seberkas harapan untuk kemajuan kaum perempuan di Desa Berta. P3A Lentera Hati akan berusaha menguatkan kelompoknya untuk terus melakukan berbagai upaya dalam menggerakkan peran aktif kelompok perempuan, termasuk dalam bidang kegiatan ekonomi produktif. Transformasi informasi terus dilakukan, tentunya masih dalam dampingan dan bimbingan Mitra Wacana WRC yang bertugas di Desa Berta.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya

Published

on

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2

Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.

Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.

Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.

Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.

Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip. 

Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.

Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.

Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending