Opini
Eksistensi Keberadaan Surau Kandang Sebagai Wahana Multifungsi Kegiatan Masyarakat Piai Zaman Lampau
Published
12 months agoon
By
Mitra Wacana

Mayang Puti Ifanny, lahir di Solok pada Maret 2005. Mahasiswi aktif program studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Bergiat di UKMF Labor Penulisan Kreatif (LPK).
Tidak habis-habisnya jika berbicara perihal budaya, seperti air yang terus saja mengalir tiada henti. Hanya saja sudut mata masyarakat perihal budaya, terus menerus mengalami alokasi penempatan yang berubah-ubah. Minangkabau menjadi salah satu sarang kebudayaan dari berbagai etnis dan daerah lainnya, terkhusus perihal islam. Terbukti dengan keberadaan surau bagi masyarakat Minangkabau. Surau sendiri menjadi salah satu media untuk seluruh jajaran masyarakat menjalankan aktivitas ibadah umat muslim. Berbagai kegitan positif dilakukan di surau. Mulai dari beribadah, mengaji, belajar silat atau silek, hingga tempat tidur bagi laki-laki yang sudah balig dan belum berumah tangga di Minangkabau. Biasanya jika anak bujang tidur di rumah, maka ia akan dijadikan bahan ejekan bagi teman-teman sebayanya seperti “bawah katiak induak juo lalok lai”, “gadang sarawa” dan berbagai lontaran kata yang muncul. Tentu hal ini akan memberi efek malu bagi diri laki-laki tersebut. Selain hal tersebut surau juga menjadi skriptorium atau penyimpanan untuk kitab kuning atau naskah-naskah lama sebagai peninggalan oleh ulama dengan segudang informasi. Begitu banyak aktivitas yang berada pada surau. Keberadaannya sangat berarti bagi masyarakat Minangkabau.
Di Pauh kota Padang, terdapat surau yang dinamakan Surau Kandang. Penamaan surau ini menjadi suatu hal yang menarik untuk dikuliti lebih dalam. Masyarakat Minangkabau merupakan etnis yang senang berinteraksi dengan alam dan lingkungan sekitar, salah satunya yaitu memiliki hewan ternak seperti ayam, itik, kambing dan hewan lain yang tumbuh dan berkembang biak, oleh sebab itu penamaan surau ini berasal dari area bawah surau yang dijadikan kandang bagi hewan ternak masyarakat sekitar. Menurut penuturan Mardiah (76) yang merupakan warga asli yang tinggal di lingkungan Surau Kandang, keberadaan surau ini awal mulanya atas rasa prihatin masyarakat yang masih sanak ibu atau sesuku, terhadap jauhnya anak kemenakan mereka untuk belajar mengaji atau beribadah ke Surau Baru yang terletak di daerah Pasar Baru sekarang, masih dalam satu kecamatan yang sama. Jika dilihat dari peta digital sekarang jarak antara Surau Kandang dengan Surau Baru kurang lebih 2,5 Km. Jarak yang cukup dekat untuk saat ini jika menggunakan kendaraan seperti sepeda motor. Hal ini jelas jauh berbeda pada masa lampau, memerlukan waktu yang lebih dan jarang masyarakat pada masa itu memiliki kendaraan, rata-rata segala aktivitas yang dilakukan masih berjalan kaki mengakibatkan akses terbatas untuk menuju Surau Baru. Maka dari itu dibangun Surau Kandang di daerah Piai ini.
Sama halnya dengan penamaan Surau Kandang, daerah Piai yang menjadi lokasi menuju Surau Kandang juga memiliki alasan tersendiri mengapa penamaannya Piai, sebab dahulunya banyak batang Piai yang berada di sepanjang jalan daerah Piai tersebut. Daerah ini juga terbagi menjadi tiga bagian yaitu Piai Atas atau Piai Ateh, Piai Tengah atau Piai Tangah dan Piai Bawah. Surau kandang sendiri berada pada Piai Tangah. Terkadang, jika orang bertanya mengenai alamat rumah masyarakat sekitar, mereka sering menyebutkan bahwa mereka tinggal di Simpang Surau Kandang dan bukan Piai Tangah. Dikatakan begitu, sebab jalan Piai Tangah merupakan jalan menuju ke surau.
Surau Kandang ini memiliki cakupan surau lainnya yang berada berdekatan dengan Surau Kandang, dan memiliki fungsi masing-masing. Keberadaan surau-surau ini yang saling berdekatan menjadi suatu hal yang menjadi perbedaan dengan surau-surau lainnya di Minangkabau, sehingga perlu dikaji lebih lanjut mengenai keberadaannya. Yang pertama yaitu Surau Batu, berada di depan Surau Kandang, dinamakan Surau Batu, sebab bangunannya dibuat seperti semi permanen dibawahnya full dengan batu dan di atasnya lantai dua oleh kayu. Surau Batu ini digunakan untuk belajar ilmu agama seperti mengaji, fiqih dan malamnya digunakan untuk anak laki-laki tidur beserta dengan gharim atau urang siak yang beribadah di sana. Yang kedua terdapat Surau Tabuh, masih dalam satu pekarang yang berfungsi sebagai tempat pemukulan tabuh pertanda waktu salat masuk dan tempat untuk mananak nasi untuk konsumsi jemaah Surau Kandang. Lalu yang ketiga Surau Suluk, difokuskan bagi jemaah yang hendak suluk. Suluk sendiri ialah suatu ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui rangkaian dzikir yang dilakukan secara terus menerus selama 40 hari dengan mentaati pantangan yaitu tidak memakan makanan yang berdarah seperti daging, biasanya orang yang melaksanakan suluk hanya memakan sayur-sayuran seperti pucuk parancih atau pucuk singkong. Orang yang melaksanakan suluk akan tampak pucat setelah keluar dari Surau Suluk tersebut. Lalu yang terakhir tentunya Surau Kandang sebagai bagian dari bangunan yang memiliki fungsi sebagai tempat khusus untuk salat lima waktu sehari-hari bagi masyarakat sekitar. Tawajjuh juga dilakukan di Surau Kandang ini, dengan syarat tidak boleh dilihat bagi orang-orang yang tidak melakukan tawajjuh. Jika hal itu dilanggar maka orang yang melihat matanya akan rabun. Larangan-larangan tersebut yang mendasari pembangunan surau secara terpisah-pisah. Seperti suluk yang harus berfokus hanya pada Allah SWT begitu juga tawajjuh. Jika kegitan ibadah ini dilakukan dalam satu tempat akan mengganggu kefokusan dan kelancaranya. Sedangkan kegiatan yang lain juga dilaksanakan dalam satu waktu. Maka saat perencanaan pembangunan dibangun empat surau yang saling berdekatan. Hal-hal tersebut keseluruhannya merupakan kegiatan indoor di lingkungan Surau Kandang.
Masyarakat dan jemaah Surau Kandang masih menjunjung nilai-nilai kepercayaan yang tinggi terhadap magisme dan segala hal yang berhubungan dengan alam ghaib pada saat itu. Salah satunya ialah larangan berwudhu (bersuci) di sungai kecil atau banda yang berada di pantaran surau. Masyarakat setempat percaya bahwa aliran banda sepataran sungai merupakan aliran yang tidak baik jika digunakan untuk berwudhu, pasalnya mereka yakin bahwa air banda memiliki penunggu dan jika digunakan untuk berwudhu akan menyebabkan gangguan makhluk halus atau dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan “tasapo”. Kepercayaan-kepercayaan ini kerap kali mewarnai kehidupan masyarakat dan jemaah sepataran ketiga surau tersebut. Jika dilihat sekarang semua kegiatan tersebut tidak lagi berjalan dengan baik. Bahkan bangunannya sudah banyak yang rubuh. Satu-satunya bangunan asli yang masih berdiri yaitu Surau Batu. Dan juga tabuh yang masih berada pada lingkungan Surang Kandang meski sudah tidak terawat lagi. Bangunan pertama dari Surau Kandang juga sudah tidak ada, akan tetapi dibangun kembali dengan tampilan yang berbeda. Masa kini, Surang Kandang hanya berfungsi sebagai tempat salat dalam waktu tertentu saja yaitu subuh, magrib dan isya. Dan juga pada bulan Ramadhan serta hari-hari besar seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Mengapa hal ini bisa terjadi? sebab di Piai Tangah sudah menyebar beberapa surau dan musala yang lebih dekat lagi dengan lingkungan rumah masyarakat. Bahkan alih fungsi dari rumah gadang ke surau juga dilakukan oleh masyarakat Piai sehingga terbangun surau yang bernama Surau Gadang. Dan di Surau Gadang pada saat ini anak-anak mengaji dan belajar agama lainnya. Sedangkan Surau Kandang hanya dalam waktu tertentu saja.
Dapat disimpulkan dari penjabaran tersebut, Surau Kandang dan surau-surau lainnya yang berada dalam satu pekarangan tersebut serta segala aktivitas yang dilakukan termasuk pada lingkup folklor. Merujuk dari pengertian folklor yaitu sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda (Danandjaja, 1986). Baik itu dalam bentuk lisan, sebagian lisan bahkan bukan lisan. Keberadaan Surau Kandang sendiri menjadi eksistensi dari wujud folklor sebagian lisan yang patut dikenalkan untuk khalayak luas terkhusus bagi anak muda. Bagi anak muda atau generasi Z yang hanya dapat melihat bangunan yang sudah banyak roboh dan hanya beberapa bagian saja.

Keterangan:
- Gambar 1 merupakan Surau Tabuh
- Gambar 2 merupakan Surau Kandang dan Surau Batu
- Gambar 3 merupakan Surau Batu
- Gambar 4 merupakan Surau Kandang (masa kini)


Naila Rahma, mahasiswa jurusan Tadris Bahasa Indonesia di Fakultas Adab dan Bahasa, Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta.
Di era digital saat ini, citra kampus dibangun tidak hanya lewat prestasi akademik atau fasilitas yang megah, tetapi juga melalui unggahan di media sosial terutama Instagram. Setiap kegiatan mahasiswa, lomba, dan juga potret keseharian diabadikan untuk memperkuat “Branding” lembaga atau kampus.
Namun, di balik tampilan yang estetik itu, ada fenomena yang sering luput dari perhatian, yaitu akun resmi kampus seperti Instagram yang cenderung menampilkan wajah-wajah yang dianggap menarik secara visual, yang sering diiming-imingi sebagai “Si cantik dan si ganteng.” Sementara itu, mahasiswa lain yang sama-sama berkontribusi, jarang mendapat ruang.
Sebagai mahasiswa, tentu kita senang melihat kampus sendiri tampil secara rapi dan modern di media sosial. Tetapi, jika setiap unggahan hanya menonjolkan satu tipe wajah dan gaya, secara perlahan akan muncul persepsi yang tidak baik. Kampus akan tampak ekslusif, seolah hanya diisi oleh mereka yang tampilannnya “Instagramable.”
Padahal, kenyataan yang terjadi lebih dari itu. Kampus memiliki berbagai ragam tipe mahasiswa, ada yang berprestasi di bidang akademik dan non akademik, ada yang aktif di organisasi sosial, dan juga ada yang diam-diam menginspirasi lewat karya kecilnya.
Fenomena seperti ini tidak akan bisa terlepas dari budaya visual di era digital. Dijelaskan oleh Rahman (2021) dalam penelitianya, bahwa strategi komunikasi digital kampus sering kali lebih berfokus pada pembentukan citra dibanding pada keberagaman.
Ketika media sosial kampus lebih sering menampilkan wajah-wajah visual tertentu, yang akan terbentuk bukan hanya citra lembaga, tetapi juga standar ideal dari “Mahasiswa kampus tersebut.” Akibatnya, media sosial yang seharusnya menjadi ruang representatif malah berubah menjadi etalase selektif.
Penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2021) mengenai representasi perguruan tinggi di media sosial juga menunjukkan bahwa komunikasi digital kampus lebih berfokus pada tampilan visual yang dianggap “Menarik” dan “Mengesankan”. Namun, hal ini akan menimbulkan dampak yang cukup besar. Akan ada mahasiswa yang mulai merasa minder karena dirinya tak sesuai dengan standar visual yang ditampilkan di sosial media. Ada juga yang mengukur nilai dirinya dari seberapa sering dia muncul di feed kampus. Pola pikir yang seperti ini dapat menimbulkan kesan eksklusif terhadap identitas mahasiswa.
Padahal, akun kampus seharusnya bisa menjadi ruang inklusif yang mengakui keberagaman mahasiswanya, bukan malah menutupinya dengan filter dan sudut pengambilan gambar yang seragam. Ketika akun resmi kampus hanya menampilkan “Tipe ideal,” pesan yang tersampaikan ke publik pun tidak sepenuhnya netral dan dipandang kalau citra kampus ditentukan oleh tampilan fisik, bukan isi pikirannya. Hal ini bisa berbahaya dalam waktu jangka panjang karena membentuk persepsi eksklusif yang tidak mencerminkan realitas mahasiswa secara utuh.
Maka, sudah saatnya kampus memikirkan kembali strategi komunikasinya di media sosial. Mendorong akun resmi kampus untuk menampilkan keberagaman mahasiswa bukan berarti mengorbankan estetika, melainkan memperluas narasi. Hal seperti ini disampaikan juga oleh Handayani (2022) dalam Jurnal Komunikasi Indonesia, konten visual yang beragam justru memperkuat keterlibatan penonton karena menghadirkan kedekatan dan representasi yang lebih nyata.
Sesuatu yang di unggah bisa memuat tentang mahasiswa yang menang perlombaan akademik maupun non akademik, kemudian mahasiswa yang aktif di komunitas sosial, ataupun yang berkarya di luar kampus. Dengan begitu, setiap postingan yang diunggah tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga bermakna secara sosial.
Admin yang memegang media sosial kampus pun memiliki peran penting. Mereka tidak hanya sekadar pembuat konten, tetapi juga penjaga citra kampus. Dengan menampilkan keberagaman mahasiswa, berarti menunjukkan bahwa kampus menghargai setiap individu, tanpa melihat warna kulit, bentuk tubuh, gaya berpakaian, atau latar sosialnya. Justru dari situlah nilai keindahan yang sebenarnya, yaitu pada keberagaman yang nyata, bukan pada keseragaman yang dibuat-buat.
Di tengah budaya visual yang saat ini semakin mendominasi, kampus perlu untuk kembali pada esensi pendidikan yang mampu membentuk mahasiswa berpikir kritis, empatik, dan terbuka. Keindahan sejati kampus tidak terletak pada seberapa “Estetik” unggahannya, tetapi pada seberapa luas ruang yang diberikan kepada mahasiswanya untuk terlihat dan diakui.
Mungkin bukan masalah besar jika akun kampus menampilkan wajah visual yang menarik. Namun, perlu diingat kembali, bahwa di balik setiap unggahan yang tampak sempurna, selalu ada cerita lain yang layak untuk disorot. Karena, keberagaman bukan hanya sekadar konten, tetapi ia adalah cermin dari siapa kita sebagai komunitas akademik.

Si Cantik, Si Ganteng, dan Kampus Kita

Mitra Wacana Hadiri Rapat Koordinasi Organisasi Kemasyarakatan Kabupaten Bantul








