web analytics
Connect with us

Opini

Natal: Merayakan Toleransi dan Keberagaman

Published

on

Setiap akhir tahun, umat Kristiani di seluruh dunia merayakan Natal sebagai momen kelahiran Yesus Kristus. Di Indonesia, perayaan ini tidak hanya menjadi simbol spiritual, tetapi juga menjadi pengingat penting akan indahnya keberagaman dan toleransi di tengah masyarakat multikultural. Sebagai negara dengan beragam agama, suku, dan budaya, Indonesia membutuhkan upaya bersama untuk menjaga kerukunan dan menghindari prasangka yang dapat memecah belah.

Toleransi bukan hanya soal menerima keberadaan agama lain, tetapi juga menghormati praktik keagamaan mereka. Dalam Al-Qur’an, Surah Al-Kafirun ayat 6 menyatakan: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Ayat ini menekankan pentingnya menghormati keyakinan orang lain. Dalam kitab Injil, Markus 12:31 menyebutkan: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Prinsip kasih ini menjadi dasar hubungan harmonis antar umat beragama. Sementara itu, dalam Dhammapada 5, Buddha mengajarkan: “Kebencian tidak akan pernah dihentikan oleh kebencian, tetapi oleh cinta; inilah hukum yang abadi.” Ajaran ini menekankan pentingnya cinta dan pemahaman dalam menghadapi perbedaan. Ajaran serupa juga dapat ditemukan dalam Bhagavad Gita 6:32 yang berbunyi: “Orang yang melihat kebahagiaan dan penderitaan semua makhluk sebagai kebahagiaan dan penderitaannya sendiri adalah orang yang paling luhur.”

Namun, realitas saat ini menunjukkan bahwa prasangka dan misinformasi sering kali menjadi penghalang terciptanya harmoni. Untuk itu, upaya mewujudkan keberagaman harus dilakukan secara strategis. Pertama, pendidikan multikultural harus diperkuat, baik di sekolah maupun di komunitas, sehingga generasi muda memahami nilai-nilai toleransi sejak dini. Kurikulum yang inklusif dan program pertukaran budaya dapat menjadi solusi untuk mengurangi stereotip.

Kedua, dialog antaragama perlu diintensifkan untuk menghilangkan kesalahpahaman dan mempererat hubungan. Forum-forum seperti Interfaith Dialogue yang diinisiasi berbagai lembaga, seperti Wahid Foundation dan PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), dapat menjadi wadah untuk saling memahami dan berdiskusi tentang isu-isu sensitif dengan bijak.

Ketiga, media sosial harus digunakan sebagai sarana menyebarkan pesan damai dan menghentikan ujaran kebencian. Kampanye daring seperti #BeraniBersatu atau #ToleransiUntukSemua telah menjadi contoh sukses dalam menyebarkan narasi positif. Kolaborasi dengan tokoh agama dan figur publik juga dapat memperluas jangkauan pesan-pesan ini.

Menjaga keberagaman memerlukan komitmen jangka panjang. Salah satu caranya adalah dengan mengadakan kegiatan lintas agama, seperti berbagi makanan saat perayaan hari besar keagamaan, bergotong royong dalam kegiatan sosial, atau bahkan diskusi informal antar komunitas. Hal ini memperkuat rasa persaudaraan dan menumbuhkan empati.

Selain itu, pemerintah juga berperan penting dalam memastikan peraturan yang adil dan tidak diskriminatif. Misalnya, Peraturan Bersama Menteri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah, harus diterapkan secara bijaksana agar tidak memicu konflik.

Dengan menanamkan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa memastikan bahwa keberagaman menjadi kekuatan, bukan ancaman. Mari jadikan Natal tahun ini sebagai momentum untuk merajut persaudaraan, melawan prasangka, dan merayakan indahnya keberagaman.

Sumber:

  1. “Dialog Antaragama untuk Perdamaian,” Wahid Foundation, wahidfoundation.org
  2. “Menjaga Toleransi di Indonesia,” Kompas, kompas.com
  3. “Kampanye Toleransi di Media Sosial,” CNN Indonesia, cnnindonesia.com

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Slang Pada Kacamata Sosiolinguistik

Published

on

Sumber foto: Freepik

Annisa Aulia Amanda
Mahasiswi Sastra Indonesia di Universitas Andalas

Bahasa gaul telah menjadi bagian tak terpisahkan dari komunikasi daring, membentuk cara individu berinteraksi dan mengekspresikan diri di ruang digital. Di platform media digital seperti Facebook, Instagram, Twitter terjadi komunikasi bahasa gaul dalam kelompok. Walaupun tidak memiliki batasan kelompok, namun tetap terjadi pengelompokan akibat ketertarikan akan satu hal yang sama.

Bahasa menurut Sasole dan Hadiwijaya (2024) adalah suatu sistem lambang bunyi yang digunakan oleh manusia untuk berinteraksi, sebagaimana dilihat dari fungsinya bahwa fungsi bahasa itu untuk berkomunikasi dan interaksi. Bahasa memiliki berbagai variasi berdasarkan hal-hal tertentu, seperti situasi. Variasi bahasa atau ragam bahasa berdasarkan situasi dibagi menjadi dua, yaitu ragam bahasa santai atau akrab (non formal) dan ragam bahasa formal (Farhan, 2023).

Ragam bahasa formal adalah ragam bahasa yang digunakan dalam situasi formal. Menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan konvensi bahasa. Berbeda dengan bahasa santai atau akrab, adalah ragam bahasa yang biasa digunakan dalam masyarakat. Ragam bahasa ini lebih mudah dimengerti ketika digunakan dalam berkomunikasi dengan masyarakat sekitar karena tidak terlalu kaku. Salah satu yang termasuk dalam ragam bahasa santai atau akrab adalah bahasa gaul.

Bahasa gaul atau slang adalah bahasa yang sifatnya nonformal dan diciptakan oleh komunitas tertentu yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Istilah yang digunakan tidak terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, atau padanan kata yang sesuai dengan konvensi bahasa. Tentu dalam berkomunikasi di komunitas, penggunaan slang tidak akan terhindarkan. Komunitas tentunya menciptakan istilah-istilah tertentu yang hanya diketahui oleh anggota komunitas tersebut.

Slang dapat dianggap sebagai kode-kode khusus yang hanya dipahami oleh beberapa komunitas. Slang adalah bentuk modifikasi bahasa yang menciptakan makna baru untuk komunikasi dalam komunitas yang bersifat musiman. Chaer dan Agustina mengemukakan bahwa slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia sehingga hanya sedikit orang yang memahaminya (Sasole & Hadiwijaya, 2024). Menurut Nabila, bahasa slang juga dapat dibentuk melalui pembentukan kata baru yang berasal dari bahasa asing dan pelesetan sehingga memiliki makna baru namun memiliki makna yang berkaitan (Fadli, Kasmawati, & Mastur, 2024). Menurut Fabelia, ciri-ciri slang adalah; 1) kata-kata tidak formal, 2) bahasa slang umumnya digunakan hanya untuk berbicara dibanding tulisan, dan 3) dipakai dalam konteks dan kelompok orang tertentu.

Penelitian mengenai slang menggunakan pendekatan sosiolinguistik, yang menurut Wardhaugh, Holmes, dan Hudson dalam Farhan (2023), merupakan disiplin ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dan masyarakat. Sosiolinguistik menghubungkan dua bidang yang biasanya dikaji secara terpisah yaitu struktur formal bahasa yang dianalisis oleh linguistik dan struktur masyarakat yang dianalisis oleh sosiologi. Dalam konteks ini, kajian sosiolinguistik berfokus pada interaksi antara bahasa dan masyarakat pengguna bahasa tersebut. Oleh karena itu, slang, sebagai bentuk bahasa yang digunakan dalam komunitas tertentu, termasuk dalam kajian sosiolinguistik.

Contoh analisis data didapatkan dari unggahan Instagram pada akun webtoon.id. Webtoon.id merupakan komunitas penggemar platform komik digital tersebut. Berikut data yang ditemukan;

 

  1. Aku tiap melihat ayang gepengku

Istilah “gepeng” merupakan sinonim dari “pipih”. Istilah ini ditautkan untuk tokoh-tokoh komik, karena komik adalah karya seni 2 dimensi. Umumnya istilah ini ditujukan sebagai ejekan agar penggemar ingat karakter yang mereka sukai adalah tokoh komik semata.

  1. Menyala, Kapalku!

Istilah “kapal” merupakan kata yang berasal dari Bahasa Inggris yaitu “ship”. “Ship” sendiri merupakan slang dari Bahasa Inggris yang merupakan penggalan dari kata “relationship” yang berarti “hubungan”. Istilah ini merujuk pada keinginan penggemar untuk satu tokoh memiliki hubungan dengan tokoh lainnya.

  1. Thor! Lu yang bener saja, thor!

Istilah “thor” merupakan penggalan dari kata Bahasa Inggris yaitu “author”. “Author” dalam Bahasa Indonesia adalah “pengarang”. Istilah ini merujuk pada pencipta karya.

  1. Si paling slow burn

Istilah “slow burn” berasal dari bahasa Inggris yang berarti “pembakaran lambat”. Merujuk pada cerita yang amat lama untuk kedua tokoh saling mengungkap rasa dan memiliki hubungan. Terkadang satu pasangan itu membutuhkan seluruh series buku yang ada hanya untuk saling mengutarakan perasaan.

 

Kesimpulannya, keberadaan slang sangat dipengaruhi oleh masa dan komunitas yang menggunakannya sehingga maknanya sering kali hanya diketahui oleh anggota komunitas atau individu dengan kesamaan minat. Dalam konteks komunitas penggemar Webtoon di Instagram Webtoon.id, slang yang digunakan hanya dapat dipahami oleh mereka yang akrab dengan komik atau karya terkait lainnya. Bagi khalayak umum, memahami makna slang ini bisa menjadi tantangan. Hal ini menunjukkan bagaimana bahasa dapat berfungsi sebagai alat identitas dan eksklusif sosial, menciptakan batasan-batasan linguistik yang membedakan anggota komunitas dari masyarakat umum.

Continue Reading

Trending