Opini
Fakta dan Mitos HIV
Published
9 years agoon
By
Mitra Wacana
Oleh :Akvi Zukhriyati (Volunteer dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Yogyakarta— Dalam rangka memperingati hari AIDS internasional radio Sonara 97.4 FM mengadakan sebuah talkshow dengan tema Meneropong Kembali Isu HIV-AIDS pada pada Jum’at (2/12/16) pukul 11.00-12.00 WIB menghadirkan narasumber dari Mitra Wacana WRC, Wahyu Tanoto.
Maraknya perilaku gonta ganti pasangan, penggunaan obat-obatan terlarang di Indonesia mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah pengidap HIV-AIDS. Banyak pelajar yang seharusnya tidak melakukan hubungan seksual pra-menikah telah hubungan tersebut dengan cara yang tidak sehat. Seperti bergonta-ganti pasangan. Hal tersebut semakin meningkatkan resiko terpapar virus HIV.
Menurut data pengidap AIDS dari Dinas Kesehatan DIY tercatat 77 (2012), 227 (2012), 195 (2013), 199 (2014) 92 (2015), dan pada 2016 periode Januari – Juni tercatat 151. Namun begitu, tidak semua orang yang terjangkit virus ini berkelakuan tidak baik. Selama ini berkembang mitos di masyarakat yang menyebutkan bahwa orang yang terkena virus ini adalah orang yang berkelakuan tidak baik. Kemudian mereka dikucilkan, dan secara tidak langsung diasingkan dari pergaulan.
Faktanya adalah “tidak semua orang yang terpapar virus ini tidak seperti yang dituduhkan, seperti bayi yang terpapar dari ibunya. Bayi ini tidak mungkin berbuat “nakal”. ujar Wahyu Tanoto. Orang yang terjangkit virus HIV seharusnya tidak dikucilkan, melainkan dirangkul dan didampingi untuk melakukan pengobatan dan melanjutkan hidupnya.
Minimnya pengetahuan yang benar dan lengkap tentang HIV-AIDS membuat masyarakat belum sepenuhnya bersedia secara sukarela untuk melakukan cek kesehatan demi mencegah virus ini. Voluntary Counseling Test (VCT) adalah proses konseling secara sukarela bagi setiap orang yang merasa dirinya beresiko. VCT memilik tiga tahap; tahap pra konseling, konseling dan pasca konseling. VCT secara lebih dini membantu orang mengetahui status HIV. Tes tersebut bisa dilakukan di rumah sakit dan PUSKESMAS yang melayani VCT.
Virus HIV bisa dicegah dengan perilaku hidup sehat. Tidak melakukan seks bebas atau bergonta ganti pasangan, tidak menggunakan obat-obatan terlarang. “HIV itu virus, bukan penyakit. Virus ini ditularkan melalui seks yang tidak aman, bergatian jarum suntik, tranfusi darah yang terpapar atau tercemar virus serta melaui air susu ibu yang terjangkit. Stop melakukan stigma dan diskriminasi terhadap orang yang kebetulan terpapar virus HIV”, pesan Wahyu Tanoto.
You may like

Mitra Wacana Dorong Peningkatan Kapasitas Masyarakat Kulon Progo untuk Wujudkan Kalurahan Ramah Perempuan dan Anak

IMPLEMENTASI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PUSAT PEMBELAJARAN PEREMPUAN DAN ANAK (P3A) OLEH LSM MITRA WACANA DI KULON PROGO

Mitra Wacana Ajak Komunitas P3A dan Media Desa untuk Memberi Usulan Pelindungan Pekerja Migran dalam Acara Syawalan
Opini
Peran Sastra Populer dalam Meningkatkan Literasi di Kalangan Remaja
Published
6 days agoon
7 November 2025By
Mitra Wacana

Penulis : Fatin Fashahah, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas
Sastra populer sering dipandang rendah, dianggap hanya untuk hiburan, dangkal, atau terlalu komersial. Sikap seperti ini muncul dari pendapat bahwa karya populer tak setara dengan karya-karya yang biasanya dipelajari di bangku perkuliahan. Padahal, bagi banyak remaja, sastra populer justru menjadi pintu pertama untuk mulai suka membaca. Mengabaikan atau mengecilkan peran sastra populer berarti menutup kesempatan bagi generasi muda untuk jatuh cinta pada dunia tulisan.
UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Fakta ini menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca rekreasi di banyak kelompok usia.
Namun, ketika pembaca terutama remaja diberi kebebasan memilih bacaan yang sesuai selera dan pengalaman mereka, minat membaca bisa saja meningkat. Dengan kata lain, relevansi isi buku terhadap kehidupan pembaca muda sangat menentukan apakah mereka akan terus membaca atau tidak. Sastra populer seperti buku young adult, novel roman remaja, dan cerita fantasi ringan sering kali menawarkan tema dan tokoh yang mudah dipahami remaja karena ceritanya seringkali dihubungkan dengan kehidupan remaja, sehingga mereka lebih tertarik untuk membaca.
Selain itu, sastra populer lebih mudah diakses lewat platform digital, cerita-cerita di aplikasi dan situs bacaan daring seperti Ipusnas, google play book, wattpad, karyakarsa dll. membuat remaja menemukan teks yang mereka suka kapan saja dengan mudah. Bentuk online juga mendorong interaksi pembaca bisa memberi komentar, berdiskusi, atau bahkan menulis kembali cerita mereka sendiri. Pengalaman berinteraksi seperti ini memberi dorongan kuat untuk terus membaca dan menulis. Beberapa karya yang awalnya populer di dunia maya kemudian diterbitkan secara cetak atau diadaptasi menjadi film dan serial menunjukkan bahwa bacaan populer punya peran penting dalam membangun ekosistem budaya yang lebih luas.
Penolakan terhadap sastra populer sering kali datang dari dua alasan utama. Pertama, alasan estetika, anggapan bahwa karya populer kurang bermutu secara sastra. Kedua, alasan moral atau konten bahwa beberapa cerita mengandung nilai yang dipertanyakan. Kritik seperti ini tidak salah jika tujuannya untuk memperbaiki kualitas karya. Namun, cara menanggapinya yang kurang tepat bisa membuat minat membaca remaja menjadi surut, seharusnya kita bukan melarang atau merendahkan bacaan tersebut. Akan lebih baik jika pembaca pemula diajarkan bagaimana cara membaca yang kritis. Dengan membimbing remaja membaca secara kritis, kita membantu mereka mengenali kekuatan dan kelemahan sebuah teks, sehingga pengalaman membaca menjadi lebih bermakna.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat membaca remaja diantaranya. Pertama, perpustakaan sekolah dan umum perlu menata koleksi yang seimbang baik karya klasik dan akademik berdampingan dengan bacaan populer. Pendekatan ini mengakui bahwa pembaca punya selera berbeda, dan memberi ruang bagi remaja yang sedang mencari gaya baca dan minat mereka. Kedua, guru dan pustakawan harus dilatih untuk memfasilitasi diskusi yang mengaitkan tema populer dengan konsep sastra dasar. Misalnya, dari sebuah novel populer, kita bisa mengajak pembaca membahas tokoh, alur, sudut pandang, atau pesan yang tersirat yanga terdapat di dalam novel tersebut. Langkah sederhana ini bisa mengubah bacaan ringan menjadi bahan belajar yang efektif.
Ketiga, adanya kegiatan klub baca dan lomba menulis berbasis minat yang bisa menghubungkan pembaca muda dengan mentor dan teman sebaya. Suasana komunitas yang saling mendukung membuat kegiatan membaca terasa lebih menyenangkan. Selain itu, adanya lomba menulis membuat remaja merasa diberi ruang kreatif untuk mengekspresikan dirinya. Keempat, harus ada kerja sama antara sekolah dengan platform digital. Hal ini penting untuk menyediakan akses yang aman dan terkurasi. Akses digital tanpa bimbingan bisa berisiko negatif dengan memperkenalkan konten yang kurang sesuai untuk pembaca dibawah umur. Oleh karena itu, peran pendidik dan orang tua tetap penting dalam menumbuhkan minat membaca terutama pembaca anak-anak dan remaja.
Secara budaya, sikap berhati-hati atau keraguan terhadap sastra populer sering kali membuat masyarakat melewatkan cerita-cerita yang sebenarnya dekat dengan kehidupan banyak orang, khususnya para remaja dari berbagai latar belakang. Karya populer dapat menjadi ruang untuk bereksperimen dengan bahasa, identitas, dan pengalaman sehari-hari. Ketika karya semacam ini dibahas di sekolah atau komunitas, karya tersebut berpotensi memperkaya imajinasi serta cara pandang masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Dengan demikian, sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari wacana budaya yang turut membentuk cara berpikir dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.
Kesimpulannya, alih-alih memandang sastra populer secara sebelah mata, akan lebih bermanfaat jika masyarakat mencoba melihat potensinya dalam meningkatkan minat baca dan memperkuat budaya literasi. Pendekatan yang inklusif dapat dimanfaatkan untuk menjadikan daya tarik sastra populer sebagai pintu masuk bagi pembaca pemula. Tentu saja, hal ini tetap perlu disertai dengan bimbingan dan adanya pengenalan terhadap keterampilan membaca kritis serta jenis bacaan yang lebih beragam. Dengan begitu, kebiasaan membaca tidak hanya meningkat, tetapi juga dapat mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa generasi muda.











