Berita
FGD Lintas Identitas: Bersama Merespon Kasus Intoleransi, Kekerasan, dan Isu SARA
Published
3 months agoon
By
Mitra Wacana
Yogyakarta, 26 Agustus 2025 – Mitra Wacana Yogyakarta menyelenggarakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Lintas Identitas dengan tema “Merespon Kasus Intoleransi, Kekerasan, dan Isu SARA”. Kegiatan ini berlangsung pada Selasa, 26 Agustus 2025, bertempat di Sekretariat Gusdurian Yogyakarta, dan dihadiri oleh berbagai unsur organisasi lintas iman serta lembaga keagamaan, di antaranya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Yayasan Kristen Untuk Kesehatan Umum (YAKKUM), Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Generasi Muda Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME Yogyakarta (GEMA PAKTI), Gusdurian, dan Bimbingan Masyarakat Hindu (BIMAS Hindu).
FGD ini digelar sebagai ruang dialog bersama untuk memperkuat komitmen lintas identitas dalam mencegah dan merespon kasus-kasus intoleransi, kekerasan berbasis agama, serta isu SARA yang masih marak terjadi di masyarakat.

Dalam sambutannya, perwakilan Mitra Wacana yakni Muhammad Mansur menegaskan pentingnya sinergi antar organisasi lintas agama dan komunitas dalam menghadapi isu intoleransi. “Isu intoleransi dan kekerasan berbasis identitas tidak bisa ditangani sendiri. Diperlukan kolaborasi lintas iman agar tercipta masyarakat yang damai, inklusif, dan menghargai keberagaman,” ungkapnya.
Kegiatan Focus Group Discussion ini juga menghasilkan pengalaman-pengalam empiris dari peserta yang hadir, salah satunya dari perwakilan LDII yakni Faudzi ia mengatakan bahwa “Berita tentang umat LDII yang katanya megepel bekas sholat dari umat lain itu sebetulnya tidak benar, itu hanya berita simpang siur yang bertujuan untuk mendeskreditkan teman-teman LDII, sehingga memang perlunya ruang aman untuk diskusi bersama sehingga hal itu dapat mengikis prasangka-prasangka yang beredar.”
Sementara itu, perwakilan dari Penyuluh Hindu yakni Widiantoro mengatakan “masih adanya pelarangan masyarakat untuk pendirian rumah ibadah bagi agama lain, perusakan makam, saya sebagai umat hindu belum pernah mengalami diskriminasi untuk menjalankan ibadah. Dalam pengalaman saya berinteraksi di masyarakat yang penting mau srawung berkumpul, ikut gotong royong terlibat aktif dimasyarakat, masyarakat tidak mempersoalkan keyakinan kita.”
Dalam diskusi kelompok Fadlun perwakilan dari Syia’ah, juga menyampaikan bahwa akar persoalan intoleransi tidak bisa dilihat hanya dari faktor kesenjangan sosial-ekonomi, melainkan lebih mendasar secara ideologis. “Intoleransi seringkali diajarkan melalui doktrin: ini sesat, itu sesat, yang sedapat mungkin harus dihindari atau dihilangkan.” ungkap Fadlun.
Pernyataan ini menegaskan bahwa intoleransi bukan sekadar soal perilaku, tetapi terkait dengan cara berpikir dan keyakinan yang eksklusif. Karena itu, penanganannya membutuhkan pendekatan ideologis melalui pendidikan kritis, literasi keberagaman, serta ruang dialog yang konsisten.

Melalui FGD ini, para peserta menghasilkan beberapa rekomendasi, antara lain:
Meningkatkan literasi masyarakat tentang toleransi, kebinekaan, dan hak asasi manusia, memperkuat jaringan kolaborasi lintas organisasi untuk respon cepat terhadap kasus intoleransi dan kekerasan, mendorong peran aktif tokoh agama, pemuda, dan perempuan dalam menjaga harmoni sosial, mengembangkan program edukasi dan kampanye publik berbasis nilai inklusif dan kebangsaan.
FGD ini diharapkan menjadi langkah awal untuk membangun jejaring yang lebih kokoh dalam merespon isu-isu intoleransi dan kekerasan berbasis SARA di Yogyakarta. Mitra Wacana bersama jejaring lintas identitas berkomitmen untuk terus mendorong ruang-ruang dialog, kolaborasi, dan aksi nyata demi terciptanya masyarakat yang damai, adil, dan berkeadaban.
You may like
Berita
Mitra Wacana Dorong Pemerintah Perkuat Pelindungan bagi Pekerja Migran Indonesia
Published
3 days agoon
11 November 2025By
Mitra Wacana
Jakarta, 10 November 2025 — Mitra Wacana turut berpartisipasi aktif dalam Konsultasi Nasional tentang Akses terhadap Pelindungan Sosial yang Layak dan Berkelanjutan bagi Pekerja Migran Indonesia yang diselenggarakan di Swiss-Belresidences Kalibata, Jakarta Selatan. Kegiatan ini diinisiasi oleh Migrant Forum in Asia (MFA) bekerja sama dengan Migrant Care, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dan Solidaritas Perempuan, dengan dukungan dari IOM melalui program Migration, Business and Human Rights in Asia (MBHR Asia) yang didanai oleh Uni Eropa dan Pemerintah Swedia.
Acara yang dihadiri oleh perwakilan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan serikat buruh ini bertujuan untuk memperkuat advokasi dan sinergi kebijakan dalam menjamin akses perlindungan sosial bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI), baik di tahap pra-penempatan, selama bekerja di luar negeri, maupun setelah kembali ke tanah air.
Dalam sesi diskusi, berbagai isu krusial mencuat, mulai dari minimnya akses pendidikan dan lapangan kerja yang layak di dalam negeri hingga praktik perekrutan yang tidak adil dan jeratan hutang yang menjerat calon pekerja migran. Kondisi ini, menurut para peserta, memperlihatkan bagaimana kemiskinan struktural masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah.
“Ketika pemerintah tidak menyediakan akses pendidikan dan pekerjaan yang layak, masyarakat akhirnya mencari penghidupan di luar negeri. Tapi di sana pun mereka menghadapi eksploitasi dan kekerasan, bahkan ada yang tidak kembali dengan selamat,” ungkap salah satu peserta diskusi yang menyoroti rentannya posisi pekerja migran di berbagai negara penempatan.
Mitra Wacana, melalui perwakilannya Nurmalia, menegaskan pentingnya tanggung jawab negara dalam memastikan perlindungan menyeluruh bagi PMI. Ia menyoroti pentingnya kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan lembaga internasional agar pekerja migran dan keluarganya memperoleh jaminan sosial yang adil.
“Negara harus hadir secara konkret, tidak hanya menjadikan PMI sebagai pahlawan devisa, tetapi juga memastikan mereka terlindungi dari hulu ke hilir. Kami mendesak pemerintah untuk memperkuat kerja sama antara BPJS Ketenagakerjaan dan perwakilan Indonesia di luar negeri, agar sistem perlindungan berjalan efektif dan tidak ada lagi korban yang dipulangkan tanpa pemulihan yang layak,” tegas Nurmalia, mewakili Mitra Wacana.
Konsultasi nasional ini juga merekomendasikan penguatan kebijakan jaminan sosial lintas negara serta sistem reimbursement yang memungkinkan pekerja mendapatkan layanan kesehatan sebelum dipulangkan. Para peserta berharap hasil diskusi ini menjadi pijakan bagi advokasi regional dalam memperjuangkan kebijakan yang lebih adil, berkelanjutan, dan berpihak pada pekerja migran.
Kegiatan ditutup dengan komitmen bersama untuk memperluas jaringan advokasi dan mendorong pembentukan kebijakan yang tidak hanya melindungi pekerja migran, tetapi juga memberikan jaminan kesejahteraan bagi keluarga mereka di tanah air.








