web analytics
Connect with us

Publikasi

Kunjungi Mitra Wacana, Eni Lestari Bahas Pendampingan Bagi Mantan Pekerja Migran Indonesia

Published

on

Yogyakarta, 27 Februari 2025 – Eni Lestari dari Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI), bersama tiga perempuan anggota Koordinasi Purna Pekerja Migran Indonesia (KOPPMI) DIY mengunjungi kantor Mitra Wacana pada Kamis (27/2) pukul 10.00 – 12.30 WIB. Dalam pertemuan ini, mereka mendiskusikan rencana kolaborasi pendampingan bagi mantan pekerja migran di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Eni menyampaikan ingin memperkuat pendampingan bagi para mantan pekerja migran agar mereka dapat beradaptasi kembali setelah sekian lama bekerja di luar negeri.

“Jadi pengalaman kami, ketika mereka pulang ke daerah asal kerap distigma dan dianggap sukses, dan sering dibedakan”. Ungkap Eni.

Sulastri, salah satu anggota KOPPMI Kulon Progo yang turut hadir, menyikapi berbagai permasalahan yang dihadapi para mantan pekerja migran saat kembali ke daerah asal mereka. Ia menegaskan pentingnya memiliki ruang berbagi agar mereka merasa diterima kembali oleh masyarakat.

“Ketika pekerja migran pulang ke daerahnya, mereka membutuhkan rekan untuk berbagi pengalaman dan mendapatkan dukungan. Tanpa itu, mereka bisa merasa terasing di tempat sendiri,” ujar Sulastri.

Menurut Eni Lestari, proses reintegrasi sosial menjadi aspek penting yang perlu diperhatikan dalam mendukung mantan pekerja migran. Oleh karena itu, pemetaan kebutuhan mereka menjadi langkah awal dalam merancang program pendampingan yang tepat.

Dari Mitra Wacana, pertemuan ini dihadiri oleh Mona Iswandari dari Divisi Penelitian dan Advokasi serta Wahyu Tanoto selaku ketua. Tanoto menyambut baik gagasan kolaborasi ini, mengingat Mitra Wacana juga memiliki program serupa di Kulon Progo.

“Kami sangat terbuka untuk berkolaborasi dalam pendampingan mantan pekerja migran. Kami juga membutuhkan mitra untuk merawat komunitas,” ujar Tanoto.

Mitra Wacana sendiri telah melakukan pendataan terhadap pekerja migran di sembilan kelurahan dampingan. Dari hasil pendataan, tercatat lebih dari 200 pekerja migran, beberapa di antaranya masih belum ada kabar hingga saat ini.

“Ini menjadi tantangan tersendiri bagi kami. Beberapa pekerja migran yang kembali ke tanah air menghadapi berbagai dinamika, dan ada juga yang belum diketahui keberadaannya,” ungkap Mona.
Pertemuan ini berlangsung dalam suasana akrab, dengan selingan humor yang mencairkan diskusi. Kedua lembaga sepakat untuk menindaklanjuti pembahasan ini dalam pertemuan lanjutan yang dijadwalkan pada 15 Maret 2025.

“Kami berharap pertemuan selanjutnya dapat merancang langkah konkret untuk mendukung mantan pekerja migran agar paham hak-haknya dan diterima kembali di masyarakat,” pungkas Eni Lestari. (Wtn)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Menertawakan Kekuasaan Lewat Bunyi: Analisis Estetika Kontekstual Cerpen Dodolitdodolitdodolibret

Published

on

Oleh: Dhia Qatrunnada Afiluman
Dalam dunia sastra Indonesia kontemporer, Seno Gumira Ajidarma dikenal bukan hanya sebagai penulis yang peka terhadap realitas sosial, tetapi juga sebagai seniman kata yang kerap menjungkirbalikkan logika narasi demi mengeksplorasi makna yang lebih dalam. Salah satu cerpen terkenalnya, Dodolitdodolitdodolibret, adalah contoh nyata bagaimana absurditas, bunyi, dan humor bisa menjadi alat yang ampuh untuk menertawakan kekuasaan yang membatu, terutama kekuasaan yang menjelma dalam bentuk spiritualisme tanpa makna.

Cerpen ini berkisah tentang Kiplik, seorang tokoh yang merenungkan makna dari doa yang benar. Ia mempertanyakan bagaimana mungkin seseorang dapat mencapai “berjalan di atas air” hanya dengan berdoa, sebagaimana diceritakan dalam dongeng yang ia dengar. Namun alih-alih menolak logika spiritual itu, Kiplik justru memperdalam “ilmu berdoa”, sebuah proses yang semakin absurd dan ritualistik. Ia mengajarkan bahwa agar doa berhasil, gerakannya harus tepat, ucapannya tidak keliru, dan waktunya sesuai. Ia pun akhirnya dikenal sebagai Guru Kiplik, sang pengajar “cara berdoa yang benar.”

Namun yang menjadikan cerpen ini luar biasa bukan sekadar premisnya, melainkan bagaimana Seno menggunakan bunyi absurd dalam judul cerpennya dodolitdodolitdodolibret, untuk membongkar absurditas sistem kepercayaan yang kehilangan esensi. Bunyi ini muncul seperti mantra, tidak bisa dijelaskan artinya, namun dipercayai memiliki kekuatan. Di sinilah estetika bunyi menjadi strategi naratif yang kritis. Bunyi-bunyi kosong ini mengejek sistem spiritual atau ideologis yang memaksa ketaatan pada simbol tanpa menjelaskan substansi di baliknya.

Cerpen ini bekerja seperti cermin jenaka yang memantulkan wajah serius para pemuja “doa yang benar.” Lewat Kiplik, Seno menyindir betapa masyarakat kerap mengagung-agungkan tata cara, upacara, dan formula, tetapi melupakan makna. Ritual menjadi teater, dan keyakinan menjadi pertunjukan formal. Guru Kiplik tidak pernah menyebut dirinya nabi, namun dielu-elukan, dimintai izin untuk diikuti, bahkan dipuja seolah ia sumber keselamatan. Seno menghadirkan kritik halus terhadap bagaimana kekuasaan spiritual sering kali dibentuk oleh kharisma dan kebutuhan kolektif akan kepastian, bukan oleh makna sejati yang dirasakan.

Menariknya disini, Seno tidak menyampaikan kritiknya dengan murka atau agitasi. Ia menggunakan humor, ironi, dan absurditas. Dalam satu bagian akhir cerpen, sembilan murid Guru Kiplik yang berhasil “berdoa dengan benar” justru berlari-lari di atas air sambil berteriak panik karena lupa cara berdoa yang benar. Seno menyisipkan pertanyaan mendalam dalam kelucuan itu: apakah yang kita cari dari kekuatan spiritual? Ketenangan, keselamatan, atau sekadar rasa bahwa kita “berada di jalur yang benar”? Dan betapa mudahnya “doa” menjadi beban, bukan pembebasan, jika dimaknai hanya sebagai aturan, bukan relasi batin.

Melalui estetika bunyi dan narasi yang ditenun dari absurditas, Dodolitdodolitdodolibret menghadirkan refleksi tentang kekuasaan: bukan hanya yang berwujud negara atau agama, tapi juga kekuasaan simbol dan kepercayaan yang hidup dalam pikiran kolektif. Ia menertawakan, bukan menghina kekuasaan itu. Tertawa dalam cerpen ini bukan sekadar hiburan, tetapi bentuk resistensi halus, sekaligus pengingat bahwa ketika makna dikunci oleh kekuasaan simbolik, suara manusia akan tetap mencari celah untuk menyelinap keluar, entah lewat satire, entah lewat bunyi tak bermakna: dodolitdodolitdodolibret.

Continue Reading

Trending