Berita
Mitra Wacana Edukasi PTPPO atau Pencegahan Tindak Perdagangan Orang di Desa Banaran

Published
5 years agoon
By
Mitra Wacana
Edukasi PTPPO atau Pencegahan Tindak Perdagangan Orang Desa Banaran dilaksanakan oleh Tim Media Desa, P3A, dan Mitra Wacana pada tanggal 22 Februari 2020 pukul 20.00 bertempat di Kantor Balai Desa, Banaran, Kulon Progo Yogyakarta.
Edukasi ini dihadiri oleh Sekretaris Desa yakni Tri Yoga Desi Amanta yang sempat memberikan sambutannya tentang peringatan bahayanya Tindak Pidana Perdagangan Orang yang merupakan salah satu pelanggaran berat Hak Asasi Manusia yang Sudan tercantum UUD 1945. Ngatiyem ketua P3A (Pusat Pembelajaran Perempuan dan Anak) Pesisir Banaran juga menyampaikan perihal yang sama dan berharap bahwa edukasi ini dapat menjadi wadah pembelajaran bagi masyarakat Desa Banaran, Kulon Progo.
Pemateri atau narasumber dalam kegiatan edukasi kali ini adalah ibu Ika Puji Widjayanti, S.Psi anggota dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk, yang menjelaskan mengenai apa itu Tindak Pidana Perdagangan orang, bagaimana alurnya, dan diapa saja yang bisa menjadi pelaku atau korban dalam kasus Perdagangan Orang. beliau juga menegaskan betapa pentingnya pendataan terpisah (perempuan dan laki-laki) dalam suatu daerah, sebab hal tersebut juga dapat menjadi salah satu upaya pencegahan tindakan kekerasan yang mengarah kepada tindak Pidana Perdagangan Orang.
Edukasi berjalan dengan lancar dan interaktif, hal ini terlihat dari beberapa peserta ikut bertanya mengenai tata cara mengadopsi anak dengan legal supaya tidak terindikasi Tindak Pidana Perdagangan Orang, lalu peseta remaja juga bertanya bagaimana sistematika magang di sekolah.
Tim pelaksana kegiatan edukasi ini berharap bahwa kegiatan ini dapat dilaksanakan kembali mengingat bahwa Kulon Progo akan menjadi kota persinggahan dengan adanya Yogyakarta International Airport dan upaya Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Kontributor : Yngvie A. Nadiyya

Berita
Perempuan Indonesia Merajut Solidaritas: Suara dari Akar Rumput untuk Keadilan dan Kemanusiaan

Published
3 weeks agoon
2 June 2025By
Mitra Wacana
Oleh Nurmalia Ika Widiasari, S.H., MKn (Dewan Pengurus Mitra Wacana)
Jakarta, 24 Mei 2025 — Di tengah tantangan kesetaraan gender dan ketidakadilan sosial yang masih mengemuka di Indonesia, para perempuan dari berbagai penjuru tanah air berkumpul di lantai 4 Grha Pemuda Katedral Jakarta dalam forum diskusi bertajuk “Perempuan Indonesia Merajut Solidaritas Bersama.” Acara ini merupakan serial ketiga dari Bonum Commune Forum (BCF) yang diselenggarakan oleh Keuskupan Agung Jakarta dan 5P Global Movement. Mitra Wacana hadir sebagai tamu istimewa dan duduk di barisan depan forum tersebut.
Mengusung semangat Hari Perempuan Internasional bertema “For All Women and Girls: Rights. Equality. Empowerment,” forum ini menegaskan bahwa perjuangan perempuan bukan sekadar selebrasi simbolik, melainkan panggilan untuk aksi nyata. Acara dibuka dengan sambutan hangat dan selingan humor oleh Inaya Wahid, aktivis dan seniman, yang menghidupkan suasana diskusi sejak menit pertama.
Tiga narasumber utama hadir dengan cerita dan perjuangan yang menyentuh. Sumini, pengelola hutan adat dari Aceh, membagikan kisah perjuangannya menjaga hutan dengan pendekatan damai. “Kami tidak melawan para pembakar hutan dengan kekerasan, kami ajak makan, lalu berdialog,” ungkapnya, sambil menegaskan bahwa keberlanjutan lingkungan bisa dimulai dari tindakan kecil dan konsisten.
Suster Laurentina, yang dikenal sebagai “Suster Cargo,” membagikan realitas pahit para Buruh Migran (BM) asal NTT. Ia menyinggung banyaknya BM yang meninggal di luar negeri tanpa perlindungan hukum yang memadai. “Kadang saya disebut perempuan kurang kerjaan karena urus jenazah. Tapi ini panggilan hati,” tegasnya, yang disambut tawa haru peserta ketika ia menjawab guyonan Inaya dengan spontan dan jenaka.
Sementara itu, Octavia Wuri dari Sekolah Tanpa Batas menuturkan perjuangannya mendirikan sekolah inklusif bagi anak-anak difabel dan marjinal. Ia nyaris menyerah, hingga seorang siswanya mengaku ingin bunuh diri. “Saat itu saya tahu, saya tidak bisa berhenti,” katanya, lirih namun penuh daya.
Diskusi semakin kuat ketika penanggap seperti Karlina Supeli dan Andar Nubowo menekankan pentingnya memperluas solidaritas lintas isu dan gender. Karlina menyoroti bahwa perubahan sosial bisa memakan waktu hingga 2000 tahun jika tidak ada intervensi nyata. Sedangkan Andar menyebut tiga perempuan pembicara sebagai “Power Rangers perubahan.”
Isu-isu penting seperti larangan pendirian rumah ibadah, diskriminasi Ahmadiyah, hingga pembongkaran makam juga mengemuka dalam sesi tanya jawab. Inaya Wahid merespons dengan tegas bahwa perjuangan Gusdurian adalah membela yang minoritas dan terpinggirkan, karena “mereka yang kerap dilupakan negara.”
Forum ditutup dengan pernyataan solidaritas dari peserta lintas iman, termasuk Pak Kusbini yang menyampaikan duka atas wafatnya Paus dan harapan atas pemilihan Paus Leo. “Kita mungkin tidak seiman, tapi kita sejalan dalam perjuangan kemanusiaan,” ujarnya mantap.
Kegiatan ini menjadi bukti bahwa suara perempuan dari akar rumput adalah kunci untuk membangun Indonesia yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.

Puisi ‘Dendam’ Karya Chairil Anwar: Estetika dan Semiosis Peirce Cinta Aulia Margaretha Habeahan

Nilai Metafora Pada Puisi “ Hujan Deras di Waktu Senja”
