Opini
Modus Baru Pedagangan Orang
Published
7 years agoon
By
Mitra Wacana
Oleh : Ruliyanto ( Divisi Media Mitra Wacana )
Modus perdagangan yang digunakan oleh calo memang sangat beragam, merekrut dengan memberi iming – iming sampai dengan melakukan ancaman, penyekapan bahkan penculikan. sekarang ini modus -modus secara langsung seperti itu sudah mulai bergeser ke media sosial. Perkembangan media sosial yang begitu pesat ternyata juga dimanfaatkan oleh para calo untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang. Dijelaskan dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 1 ayat 1 bahwa unsur – unsur Perdagangan orang antara lain tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yambise mengungkapkan bahwa tindak pidana perdaganan orang ini merupakan masalah transnasional, kejahatan internasional dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Setelah terjadi moratorium penempatan tenaga kerja indonesia di timur tengah maka malaysia dan singapura digunakan oleh para pelaku perdaganan orang ini menjadi daerah transit. Hal ini perlu kita pahami bersama bahwasanya perdagangan orang itu bukan hanya permasalahan satu wilayah saja akan tetapi merupakan masalah bangsa yang harus mendapat perhatian khusus karena terjadadi pelanggaran HAM.
Dari hasil pengamatan selama ini, ada 5 daerah yang sangat rentan terjadi Tindak Pidana Perdagangan Orang dan menjadi perhatian dari Kementrian PPPA diantaranya Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa di daerah lain juga terjadi praktik perdagangan orang. Perdagangan orang tidak hanya terjadi kepada orang yang akan bekerja ke luar negeri saja, akan tetapi terjadi di negeri sendiri seperti beberapa provinsi lain yang juga ditemukan banyak kasus praktik prostitusi.
Menurut Ajun Komisaris Chuck Putranto, Kepala Sub-unit TPPO Bareskrim Polri mengungkapkan sejak tahun 2014 ada 2.516 jumlah korban TPPO dengan 499 kasus dan 207 tersangka. Pada tahun 2017 korban TPPO mencapai 1.451 orang dengan korban perempuan dewasa 1350 dan 89 anak perempuan.
Hal ini menjadikan keprihatinan bersama sehingga pemerintah perlu adanya sinergitas dan kerjasama yang baik antar lembaga dan tidak berjalan sendiri – sendiri baik ditingkatan pusat, provinsi maupun kota / kabupaten agar proses penanganan TPPO lebih mudah. Tentunya kita berharap agar segala macam Tindak Pidana Perdagangan Orang tidak terjadi di sekitar kita apalagi menimpa orang – orang yang kita sayangi. Oleh karena itu peran serta masyarakat untuk melaporkan TPPO yang diketahuinya sangat diharapkan oleh pemerintah agar proses penangannya lebih cepat.
Referensi : Kompas, Jum’at 12 Oktober 2018
You may like

Mitra Wacana Dorong Peningkatan Kapasitas Masyarakat Kulon Progo untuk Wujudkan Kalurahan Ramah Perempuan dan Anak

BIOSKOP RAKYAT FEST #2 MENJADI AJANG EDUKASI PENCEGAHAN PERDAGANGAN ORANG

Mitra Wacana Mendukung Konferensi Asia, Satukan 16 Negara Menentang Perdagangan Manusia yang di Adakan oleh Talitha Kum Asia di Jakarta.
Opini
Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya
Published
1 week agoon
8 December 2025By
Mitra Wacana

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2
Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.
Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.
Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.
Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.
Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip.
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.
Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.
Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Mitra Wacana Hadiri Rapat Koordinasi Organisasi Kemasyarakatan Kabupaten Bantul

Mitra Wacana Ikuti Orasi Budaya Hari HAM FISB UII









