Opini
Pelaku Pelecehan Seksual Tidak Pandang Bulu
Published
7 years agoon
By
Mitra Wacana
Oleh : Ganis Haryanti Putri
Pelecehan seksual dapat dialami oleh siapapun dan dimanapun,baik laki-laki, perempuan, anak-anak maupun orang tua. Akan tetapi realitasnya, pelecehan seksual lebih banyak menimpa anak-anak dan perempuan, hal ini terlihat dari berbagai media massa yang memberitakan kasus pelecehan seksual. Oleh karena itu, kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak dan perempuan, menjadi topik sentral untuk segera ditekan angkanya. Di Indonesia, perempuan dan anak rentan mengalami berbagai bentuk tindak pelecehan seksual, baik di ranah publik maupun domestik. Beberapa pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan maupun anak tidak teratasi karena minimnya laporan dari korban.
Hal ini salah satunya dikarenakan adanya persepsi dalam masyarakat, baik secara umum (keseluruhan) maupun dari pihak perempuan itu sendiri, bahwa pelecehan seksual yang dialaminya lebih baik disimpan untuk dirinya sendiri saja. Perempuan terkadang menyembunyikan tindak pelecehan seksual yang dialaminya karena berbagai alasan, mulai dari adanya ancaman dari pelaku hingga keinginan dari korban itu sendiri yang tidak ingin kejadian yang menimpa dirinya diketahui oleh orang lain yang beresiko akan mencoreng harga dirinya. Pelecehan seksual yang telah, sedang, atau bahkan mungkin akan dialami perempuan dan anak selama ini merupakan salah satu masalah sosial yang perlu mendapat perhatian.
Pelecehan seksual yang dialami oleh anak dapat berakibat pada hilangnya kepercayaan diri pada anak, ketakutan, dan mengganggu ketenangan jiwanya. Hal ini dapat menghambat proses perkembangan dirinya dan tentunya akan berpengaruh pada masa depannya. Hingga saat ini masih mudah ditemukan diberbagai media massa kasus tindak pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak.
Tindak pelecehan seksual yang dialami oleh anak dapat dikategorikan sebagai tindak terhadap anak. Kekerasan terhadap anak berkisar mulai dari pengabaian anak sampai pada tindak perkosaan dan pembunuhan. Semua tindakan pelecehan seksual yang dialami anak terekam dalam pikiran bawah sadar mereka dan dibawa sampai masa dewasa, dan terus sepanjang hidupnya. Pelaku pelecehan seksual tidak pandang bulu, dalam beberapa kasus bahkan dilakukan oleh orang yang bisa dipandang sebagai orang yang terpelajar, memiliki status sosial yang tinggi, dan disegani oleh masyarakat. Namun buktinya, semua itu tidak dapat menjamin seseorang untuk tidak melakukan tindak pelecehan seksual.
Bahkan di beberapa kasus, pelecehan seksual yang dialami oleh anak terjadi di lingkungan sekolah. Guru dan kepala sekolah yang seharusnya bisa menjadi teladan dan dapat mengayomi serta melindungi semua warga sekolah tidak menjalankan perannya dengan baik. Sekolah, sebagai sarana untuk menimba ilmu dan sosialisasi serta internalisasi nilai dan norma jangan sampai mendapatkan pandangan negatif, terutama bagi anak-anak sebagai tempat yang dapat membahayakan dirinya. Sekolah sebagai “rumah kedua” bagi anak-anak diharapkan mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak-anak selayaknya di rumah. Nyatanya, tidak ada satupun orang yang dapat menjamin dimanakah tempat yang aman bagi anak untuk beraktivitas dan bertumbuh kembang tanpa ada kekhawatiran terhadap tindak pelecehan seksual yang sewaktu-waktu dapat mengancam dirinya.
Untuk dapat mengurangi tindak pelecehan seksual terhadap anak maupun perempuan dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak. Diperlukan sosialisasi di kalangan masyarakat untuk memberikan edukasi seputar pelecehan seksual sehingga tidak menimbulkan persepsi yang membuat korban tidak berani melapor atas segala bentuk tindak pelecehan seksual yang dialaminya. Selain itu juga diperlukan tindak lanjut melalui jalur hukum untuk memberikan efek jera bagi pelakunya.
Sebagian orang mungkin memiliki pandangan bahwa pelecehan terhadap perempuan banyak terjadi di tempat umum. Oleh karena itu, banyak anjuran atau himbauan bahwa perempuan tidak boleh keluar malam sendirian dengan alasan untuk melindungi perempuan dari tindakan pelecehan seksual. Nyatanya, pelecehan seksual yang dialami perempuan tidak hanya dijumpai di luar rumah atau tempat umum saja. Pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak selain tidak memandang pakaian, agama, usia dan ras, juga tidak memandang di rumah atau di luar rumah. Pelecehan terhadap perempuan bahkan tidak dapat dicegah dengan melarang perempuan keluar sendirian. Jelas bahwa persoalannya adalah pada kejahatan pelaku dan tidak adanya jaminan kemanan bagi perempuan maupun anak.
Penyelaras : Ruly
Editor : Arif Sugeng Widodo
Biodata Penulis
Nama Lengkap : Ganis Haryanti Putri.
Jenis Kelamin : Perempuan.
Agama : Islam.
Email : ganis217@gmail.com.
Pengalaman Organisasi
- Staff Divisi Diskusi Censor Fisip UNS 2016/2017
- Staff Divisi Diskusi Censor Fisip UNS 2017/2018
- Koordinator Sie Perkap Censorfest 3.0 2017
- Staff Sie Sekretaris Censorfest 4.0 2018
- Staff Sie Sekhumjin Seminar Nasional dan Konferensi Sosiologi Perkotaan 2018.
Opini
Peran Sastra Populer dalam Meningkatkan Literasi di Kalangan Remaja
Published
2 weeks agoon
7 November 2025By
Mitra Wacana

Penulis : Fatin Fashahah, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas
Sastra populer sering dipandang rendah, dianggap hanya untuk hiburan, dangkal, atau terlalu komersial. Sikap seperti ini muncul dari pendapat bahwa karya populer tak setara dengan karya-karya yang biasanya dipelajari di bangku perkuliahan. Padahal, bagi banyak remaja, sastra populer justru menjadi pintu pertama untuk mulai suka membaca. Mengabaikan atau mengecilkan peran sastra populer berarti menutup kesempatan bagi generasi muda untuk jatuh cinta pada dunia tulisan.
UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Fakta ini menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca rekreasi di banyak kelompok usia.
Namun, ketika pembaca terutama remaja diberi kebebasan memilih bacaan yang sesuai selera dan pengalaman mereka, minat membaca bisa saja meningkat. Dengan kata lain, relevansi isi buku terhadap kehidupan pembaca muda sangat menentukan apakah mereka akan terus membaca atau tidak. Sastra populer seperti buku young adult, novel roman remaja, dan cerita fantasi ringan sering kali menawarkan tema dan tokoh yang mudah dipahami remaja karena ceritanya seringkali dihubungkan dengan kehidupan remaja, sehingga mereka lebih tertarik untuk membaca.
Selain itu, sastra populer lebih mudah diakses lewat platform digital, cerita-cerita di aplikasi dan situs bacaan daring seperti Ipusnas, google play book, wattpad, karyakarsa dll. membuat remaja menemukan teks yang mereka suka kapan saja dengan mudah. Bentuk online juga mendorong interaksi pembaca bisa memberi komentar, berdiskusi, atau bahkan menulis kembali cerita mereka sendiri. Pengalaman berinteraksi seperti ini memberi dorongan kuat untuk terus membaca dan menulis. Beberapa karya yang awalnya populer di dunia maya kemudian diterbitkan secara cetak atau diadaptasi menjadi film dan serial menunjukkan bahwa bacaan populer punya peran penting dalam membangun ekosistem budaya yang lebih luas.
Penolakan terhadap sastra populer sering kali datang dari dua alasan utama. Pertama, alasan estetika, anggapan bahwa karya populer kurang bermutu secara sastra. Kedua, alasan moral atau konten bahwa beberapa cerita mengandung nilai yang dipertanyakan. Kritik seperti ini tidak salah jika tujuannya untuk memperbaiki kualitas karya. Namun, cara menanggapinya yang kurang tepat bisa membuat minat membaca remaja menjadi surut, seharusnya kita bukan melarang atau merendahkan bacaan tersebut. Akan lebih baik jika pembaca pemula diajarkan bagaimana cara membaca yang kritis. Dengan membimbing remaja membaca secara kritis, kita membantu mereka mengenali kekuatan dan kelemahan sebuah teks, sehingga pengalaman membaca menjadi lebih bermakna.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat membaca remaja diantaranya. Pertama, perpustakaan sekolah dan umum perlu menata koleksi yang seimbang baik karya klasik dan akademik berdampingan dengan bacaan populer. Pendekatan ini mengakui bahwa pembaca punya selera berbeda, dan memberi ruang bagi remaja yang sedang mencari gaya baca dan minat mereka. Kedua, guru dan pustakawan harus dilatih untuk memfasilitasi diskusi yang mengaitkan tema populer dengan konsep sastra dasar. Misalnya, dari sebuah novel populer, kita bisa mengajak pembaca membahas tokoh, alur, sudut pandang, atau pesan yang tersirat yanga terdapat di dalam novel tersebut. Langkah sederhana ini bisa mengubah bacaan ringan menjadi bahan belajar yang efektif.
Ketiga, adanya kegiatan klub baca dan lomba menulis berbasis minat yang bisa menghubungkan pembaca muda dengan mentor dan teman sebaya. Suasana komunitas yang saling mendukung membuat kegiatan membaca terasa lebih menyenangkan. Selain itu, adanya lomba menulis membuat remaja merasa diberi ruang kreatif untuk mengekspresikan dirinya. Keempat, harus ada kerja sama antara sekolah dengan platform digital. Hal ini penting untuk menyediakan akses yang aman dan terkurasi. Akses digital tanpa bimbingan bisa berisiko negatif dengan memperkenalkan konten yang kurang sesuai untuk pembaca dibawah umur. Oleh karena itu, peran pendidik dan orang tua tetap penting dalam menumbuhkan minat membaca terutama pembaca anak-anak dan remaja.
Secara budaya, sikap berhati-hati atau keraguan terhadap sastra populer sering kali membuat masyarakat melewatkan cerita-cerita yang sebenarnya dekat dengan kehidupan banyak orang, khususnya para remaja dari berbagai latar belakang. Karya populer dapat menjadi ruang untuk bereksperimen dengan bahasa, identitas, dan pengalaman sehari-hari. Ketika karya semacam ini dibahas di sekolah atau komunitas, karya tersebut berpotensi memperkaya imajinasi serta cara pandang masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Dengan demikian, sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari wacana budaya yang turut membentuk cara berpikir dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.
Kesimpulannya, alih-alih memandang sastra populer secara sebelah mata, akan lebih bermanfaat jika masyarakat mencoba melihat potensinya dalam meningkatkan minat baca dan memperkuat budaya literasi. Pendekatan yang inklusif dapat dimanfaatkan untuk menjadikan daya tarik sastra populer sebagai pintu masuk bagi pembaca pemula. Tentu saja, hal ini tetap perlu disertai dengan bimbingan dan adanya pengenalan terhadap keterampilan membaca kritis serta jenis bacaan yang lebih beragam. Dengan begitu, kebiasaan membaca tidak hanya meningkat, tetapi juga dapat mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa generasi muda.










