web analytics
Connect with us

Publikasi

SALUANG DENDANG DALAM PERSPEKTIF KATO NAN AMPEK BUDAYA MINANGKABAU

Published

on

Penulis : Maryatul Kuptiah (Universitas Andalas, Sumatera Barat)

PENDAHULUAN

(Edriyetri Amir, 2013) secara harfiah, sastra lisan berarti sastra yang disampaikan secara lisan. Sastra lisan dibawakan/ ditampilkan oleh seniman sastra lisan. Sastra lisan sebagai ungkapan ungkapan gabungan sastra dan lisan, karenanya dapat diberikan batasan sastra yang disampaikan dan dinikmati secara lisan. Sastra lisan adalah seni bahasa yang diwujudkan dalam pertunjukan oleh seniman dan dinikmati secara lisan oleh khalayak, menggunakan bahasa ragam puitika dan estetika masyarakat bahasanya. Dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa, sastra lisan adalah:
1. Ia ada atau wujud dalam pertunjukan, dalam banyak kasus, diiringi dengan instrument bunyi-bunyian, bahkan tarian.
2. Unsur hiburan dan pendidikan dominan di dalamnya.
3. Menggunakan bahasa setempat, bahasa setempat, bahasa daerah,paling tidak dialek daerah.
4. Menggunakan puitika masyarakat bahasa itu.

Minangkabau sebagai salah satu derah dengan keberagaman budaya, adat istiadat, dan tradisi yang tumbuh dan berkembang sebagai sistem yang telah dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat. Berakar dari sistem kekerabatan matrilinial Minangkabau. Tradisi tersebut merupakan wujud yang mencerminkan identitas, dinamika dan perkembangan yang terjadu dakam masyarakat Minangkabau, sesuai dengan falsafah adatnya Alam Takambang Jadi Guru. Minangkabau memiliki salah satu sastra lisan yang masih hidup dan keberadaannya yaitu saluang dendang yang bergerak sesuai dengan perkembangan zaman. Dinamika perkembangan tradisi budaya Minangkabau sendiri dari akhir tahun 60-an begitu cepat dan bergemuruh.

METODE PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan dalam sastra lisan saluang dendang ini adalah menggunakan metode penelitian kuantitatif., dengan pendekatan observasi-partisipasi dengan cara menghadirkan penampil saluang dendang. Karena penelitian sastra lisan saluang dendang ini bersifat kuantitatif, maka melaksanakan pendekatannya dengan menekankan hubungan-hubungan yang bermakna sesuai dengan keadaan tempat penelitian, dengan cara menghubungkan bagian-bagian dari suatu substansi ke dalam keseluruhan. Berkaitan dengan hal itu, teknik pengumpulan data yang dapat digunakan salah satunya, yaitu observasi-partisipasi, wawacara mengenai penyusunan teks, perkembangan, bagaimana bentuk penyajian sastra lisan saluang dendang kepada penampil. Teknik pengumpulan data bersifat obervasi-partisipasi ini adalah dengan mengamati secara langsung pertunjukan saluang dendang yang di hadirkan di kampus. Pengamatan lapangan pada saat pertunjukan ini difokuskan untuk memuat informasi mengenai pertunjukan saluang dendang, dan hubungan komunikasi antara penonton dan penampil saat berlangsungnya pertunjukan saluang dendang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Istilah saluang dendang muncul dari tradisi budaya masyarakat Minangkabau, yakni tradisi budaya lisan yang merupakan salah satu ciri khas budaya Minangkabau. Saluang berasal dari kata ‘saruang’ yang berarti satu ruang. Filosofi lobang saluang dibuat dengan empat lobang tetapi dapat memainkan lima nada, di antaranya yaitu do, re, mi, fa, dan sol yang berasal dari masyarakat Minangkabau sendiri. Menurut penulusuran dahulunya, di Minangkabau dikenal dengan nama kato nan ampek, cara tertutur kata antar sesama dalam istilah Minangkabau yang disimbolkan dengan tangga empat. Kato nan ampek ini mengatur bagaimana setiap orang Minangkabau bisa memposisikan diri sesuai dengan lawan bicaranya ketika berkomunikasi dengan empat cara, yaitu sebagai berikut:

1. Kato Mandaki
Secara harfiah, kato mandaki diartikan sebagai kata mendaki. Cara ini digunakan untuk bertutur kata kepada orang yang lebih tua/ dituakan.

2. Kato Manurun
Cara ini digunakan untuk bertutur kata kepada orang yang lebih muda.

3. Kato Mandata
Kato Mandata adalah arti dari kata mendatar/ setara. Artinya kato mandata ketika bertutur kepada teman sebaya yang sepantaran/ seumuran.

4. Kato Melereang
Kato melereang adalah cara berkomunikasi khusus digunakan terhadap sosok yang cukup dihormati, dan biasanya ditujukan kepada seseorang yang tidak memiliki hubungan darah secara langsung.

Fungsi saluang adalah untuk mengiringi dendang-dendang yang dilantunkan. Awalnya dendang disesuaikan dengan situasi, misalnya ketika seseorang ingin kesawah teks dendangnya yang di lafalkan tentang bagaimana sawah/ ladangnya, atau jika seorang perantau menceritakan bagaimana perjuangan hidupnya di tanah rantau. Namun, seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman semakin pesat, dendang dalam pertunjukan saluang dendang mulai beradaptasi dan menyesuaikan diri, misalnya tentang jatuh cinta, patah hati,mati karena cinta dan lain-lain. Tentunya dengan tetap mempertahankan eksistensi/ warna tradisi kebudayaan Minangkabau. Mengapa hal tersebut di lakukan oleh penampil saluang dendang? Supaya pertunjukan saluang dendang tidak tergilas masa dan tertinggal zaman, teknologi, musik, tetapi tetap meninggalkan jejak terutama bagi kalangan pemudi-pemuda. Pertunjukan saluang dendang, lagu-lagu yang dilantunkan, hanya lagu pertama dan terakhir yang ditentukan, lengkap dengan lagu Singggalang. Setelah lagu ini dinayanyikan, biasanya khalyak bisa mengajukan permintaan untuk lagu-lagu yang disukai. Tetapi jika belum ada permintaan, biasanya penmapil memilih sendiri lagu yang akan di nyanyikannya. Dari penelitian yang telah dilakukan, pertunjukan saluang dendang beranggotakan tiga orang, satu orang peniup saluang, satu orang pendendang, dan satu orang pemain kerenceng. Penampil bermain dengan posisi duduk setengah lingkaran. Waktu pertunjukan saluang dendang ini adalah ba’da isya, sampai menjelang subuh.

Perkembangan Pertunjukan Saluang Dendang

Dari pengamatan dilapangan, pertunjukan saluang dendang saat ini sudah menggunakan tiga bahasa, yaitu bahasa Minangkabau, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris melihat khalayak dari berbagai kalangan dan penampil bisa didatangkan di berbagai daerah di Indonesia untuk berbagai festival. Pertunjukan saluang dendang juga akan berkolaborasi dengan orkestra modern. Hal tersebut, dikarenakan agar tradisi saluang dendang tetap eksis di zaman sekarang, tetapi tidak menyingkirkan ciri khas dari budaya Minangkabau. Dari hasil pengamatan, didapatkan perbedaan antara pertunjukan sastra lisan rabab biola dan saluang dendang. Selain dari perbedaan alat musik yaitu biola dan saluang. Nada dari biola bisa di transformasikan ke nada saluang, karena nada-nada dibiola bisa mencapai 2 oktaf, sementara nada-nada di saluang hanya sampai nada sol. Artinya, dapat disimpulkan bahwa semua lagu saluang dendang bisa dinyanyikan di biola. Tapi tidak semua lagi rabab pasisia bisa dinyanyikan di saluang dendang. Pertunjukan sastra lisan saluang dendang ini berfungsi sebagai penghibur bagi masyarakat.

SIMPULAN
Pertunjukan saluang dendang sebagai bagian yang integral dari kehidupan kebudayaan Minangkabau, yang secara tidak langsung menunjukkan hubungannya dengan masyarakat Minangkabau.

DAFTAR PUSTAKA
Amir, Edriyetti. 2013.SASTRA LISAN INDONESIA.Yogyakarta: Andi

Sukmawati, Noni. 2008. “Bagurau Saluang dan Dendang Dalam Perspektif Perubahan Budaya Minangkabau”, Vol.35 No.2

 

Biodata Singkat :
Maryatul Kuptiah, mahasiswa aktif jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Hobi menulis puisi dan artikel. Saat ini sedang bergiat di Labor Kepenulisan Kreatif FIB Unand. Telah menerbitkan sebuah novel yang berjudul “serapuh ranting patah”.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Berita

PAMERAN ARSIP KERTAS 2025: SETARA – MEREKAM PEREMPUAN DALAM RUANG DEMOKRASI

Published

on

Yogyakarta – Pameran arsip tahunan KERTAS kembali digelar di Gedung Iso Reksohadiprojo, Departemen Bahasa Seni dan Manajemen Budaya, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Madah (UGM). Pameran KERTAS 2025 berlangsung dari 8 November hingga 15 November 2025 dan teruka untuk umum serta dapat dikunjungi secara gratits. Tahun ini, pameran berjudul “Setara: Merekam Perempuan dalam Ruang Demokrasi”, menghadirkan refleksi tentang jejak perjuangan, partisipasi, dan representasi perempuan dalam sistem demokrasi Indonesia.

Lebih dari 260 arsip dalam bentuk foto, teks, data, dan audio-visual diolah menjadi infografis interaktif. Melalui arsip-arsip ini, mahasiswa program studi Kearsipan, Sekolah Vokasi, UGM mengajak public menelusuri dinamika perempuan dalam ruang demokrasi, mulai dari partisipasi politik, represi sosial, serta bentuk resistensi di tengah ketimpangan ini.

PIC Kegiatan, Irfan Rizky Darajat, S.I.P., M.A., menjelaskan bahwa pameran ini tidak hanya menjadi ruang dokumentasi, tetapi juga forum diskusi sosial. “Pameran ini dapat membantu dalam melihat cara pandang yang lain bagaimana pameran arsip bisa dijadikan sebagai diskusi tentang wacana sosial,” ujarnya.

Pameran ini dibagi menjadi ruang utama, yaitu partisipasi, represi, dan resistensi. Ruang partisipasi menyoroti keterlibatan perempuan dalam Trias Politika, mulai dari tokoh-tokoh pionir seperti Maria Ulfah, S.K. Trimurti, Sri Widoyati, Siti Sukaptinah, dan Supeni Pudjobuntoro, hingga peta perwakilan perempuan di DPR, Pilkada, dan lembaga Yudikatif, dari sebelum reformasi hingga sesudah reformasi. Selain itu, dalam ruangan ini juga menghadirkan peran dari Non-Governmental Organization (NGO) yang mendampingi dan melayani masyarakat secara umum maupun perempuan secara khusus, seperti Mitra Wacana, Mama Aleta Fund, Beranda Migran, SP Kinasih, dan organisasi lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia.

Mitra Wacana, salah satu organisasi pemberdayaan perempuan yang berdiri pada 2 April 1996 dengan nama awal Pusat Layanan Informasi Perempuan (PLIP) Mitra Wacana. Sejak berdiri, organisasi ini berfokus pada penyediaan layanan informasi tentang keadilan dan kesetaraan gender, serta pemberdayaan perempuan dan anak. Saat ini, Mitra Wacana memiliki delapan fokus isu utama, yakni penghapusan kekerasan seksual, pencegahan perkawinan anak, pendidikan politik perempuan, pencegahan perdagangan manusia, pencegahan Intoleransi, Radikalisme, Extremisme, dan Terorisme (IRET), perempuan dan anti korupsi, serta perempuan dan kebencanaan.

Dalam menjalankan kegiatannya, Mitra Wacana mengusung strategi pengorganisasian dan advokasi langsung di masyarakat, antara lain melalui pendirian Pusat Pembelajaran Perempuan dan Anak (P3A) di berbagai wilayah dampingan, pendampingan kader perempuan, advokasi kebijakan publik ramah gender, serta produksi materi edukatif seperti buku, modul, film, dan komik bertema kesetaraan gender. Kehadiran Mitra Wacana di pameran ini memperluas pemahaman tentang bagaimana advokasi gender dijalankan secara konkret dan berkelanjutan di tingkat masyarakat.

Ruang kedua menelusuri berbagai bentuk represi terhadap perempuan, baik dalam ranah sosial dan politik. Arsip-arsip di ruang ini menyoroti berbagai bentuk praktik diskriminasi, mulai dari kekerasan seksual, femisida, diskriminasi, polemik politik, perampasan tanah adat, hingga domestikasi peran perempuan. Salah satu sorotan pentingnya adalah kisah Mama Aleta Baun, aktivis tenun dari Nusa Tenggara Timur (NTT), yang pernah memimpin perlawanan terhadap tambang marmer di melalui menenun bersama di lokasi tambang.

Ruang terakhir menampilkan ketahanan dan solidaritas perempuan melalui empat bentuk ekspresi budaya dan aktivisme, yaitu aksi unjuk rasa, tulisan, aktivisme digital, dan karya seni. Pameran ini menegaskan bahwa resistensi bukan hanya tindakan politik, melainkan juga keberanian perempuan untuk terus bersuara dan mengarsipkan pengalamannya sendiri.

Sebagai bagian dari upaya membuka akses publik yang lebih luas, panitia juga menyediakan guide book digital yang dapat diundung langsung melalui situs resmi https://pameranarsip.sv.ugm.ac.id/koleksi/. Panduan ini berisi kurasi tema, penjelasan tiap raung, dan koleksi-koleksi yang memudahkan pengunjung menjelajahi pameran, baik secara luring maupun daring.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending