web analytics
Connect with us

Opini

Toleransi di Belanda: Antara Progresivitas dan Ambiguitas Moral

Published

on

Penulis : Sabrina Yasmine Azzahra

Dilihat secara geografis, Belanda merupakan salah satu negara terkecil di Eropa Barat yang besarnya hanya sekitar satu perdelapan Pulau Kalimantan di Indonesia. Meskipun begitu, negara kecil padat penduduk tersebut berpengaruh signifikan terhadap perkembangan isu-isu sosial seperti soft-drugs, aborsi, prostitusi, serta perkawinan sejenis. Mengapa hal itu bisa terjadi? Roney (2009) mengungkapkan bahwa Belanda memiliki sejarah yang panjang terkait keragaman etnis, agama, dan daerah. Misalnya, kebijakan verzuiling atau pilarisasi yang mengatur agar kelompok-kelompok dengan latar belakang berbeda dapat hidup berdampingan tanpa adanya bentrok konflik. Keragaman tersebut membuat fondasi masyarakat Belanda didasarkan pada prinsip toleransi. Pada dasarnya, prinsip ini bukan lagi menjadi hal khusus, tetapi toleransi di Belanda sering dipandang sebagai salah satu nilai utama yang membentuk identitas nasional negara tanah rendah ini. Buruma (2007) menerangkan bahwa toleransi di Belanda bukan hanya terkait permasalahan moral, tetapi juga mengenai kemampuan masyarakat untuk hidup berdampingan dengan masyarakat yang memiliki beragam latar belakang. Masyarakat Belanda digambarkan memiliki kecenderungan untuk melihat konflik secara rasional dengan mengutamakan pendekatan pragmatis untuk menjaga keharmonian sosial dari prasangka-prasangka maupun emosi yang akan memengaruhi interaksi sehari-hari. Praktik toleransi ini melahirkan legalisasi isu-isu di area kontroversial seperti nederwiet, aborsi, prostitusi, dan perkawinan sejenis serta regulasi yang mengatur batasan ‘’legal’’ praktik tersebut.

Meskipun begitu, dalam pandangan sebagian orang toleransi dalam masyarakat Belanda dianggap sebagai ambiguitas moral. Ketegangan mulai muncul ketika batas-batas toleransi tersebut dilangkahi yang mengakibatkan meningkatnya kekhawatiran publik hingga menyangkut pautkan penegakkan hukum. Kasus-kasus seperti ekstremisme, kekerasan seksual, penyalahgunaan obat-obatan, serta diskriminasi kelompok marjinal membuat batasan tersebut kian terkikis. Belanda mungkin memang menerapkan gedogen sebagai asas kemasyarakatan mereka, tetapi dengan berkembangnya popularitas politisi kontroversial seperti Pim Fortuyn dan Geert Wilders, tidak menutup kemungkinan bahwa akan terjadi pendekatan yang berbeda terhadap toleransi ini. Tokoh-tokoh politik populis seperti PVV yang dipimpin oleh WIlders telah mendorong batas toleransi dengan menekankan perlunya mempertahankan budaya Belanda “asli”. Hal ini menciptakan pecahnya dinamika toleransi terhadap keberagaman yang didukung lebih lanjut dengan radikalisme serta protes yang berkelanjutan. Theo van Gogh menjadi salah satu contoh melangkahi batas toleransi dengan film-nya Submission yang mengantarkan van Gogh ke pintu maut. Film yang ditujukan sebagai kritik terhadap budaya Islam dalam memperlakukan perempuan tidak diterima dengan baik oleh masyarakat muslim di Belanda. Van Gogh dan Hirsi Ali yang merupakan penulis skrip film tersebut sekaligus anggota dari parlemen Belanda pada saat itu mendapat kecaman tajam atas representasi muslim di film Submission dengan tuduhan penistaan agama di mana ayat kitab suci al-Quran tertulis di badan mayat-mayat perempuan. Kasus tersebut sering dibahas sebagai peristiwa yang menunjukkan bahwa toleransi masyarakat Belanda dalam posisi terancam. Selain itu, hal tersebut juga menunjukkan perubahan kepekaan masyarakat post-modern dalam menghadapi batas-batas multikulturalisme.

Namun jika dilihat dari penelitian Barendregt (2011), hingga saat ini praktik gedogen masih menjadi hal yang diturunkan dari generasi ke generasi di Belanda dan dilakukan dimanapun dan kapanpun oleh masyarakat Belanda, walaupun beberapa beralasan dengan syarat tidak merugikan orang lain. Belanda secara keseluruhan merupakan negara progresif yang mengedepankan inklusivitas masyarakat dan kebebasan individual. Dengan catatan bahwa toleransi bukan berarti kebebasan tanpa batas, melainkan ada batasan di mana hak-hak tersebut diatur sedemikian rupa agar mencapai kesejahteraan bersama.

 

 

REFERENSI

Barendregt, W. (2011). Gedogen: the psychological aspects of Dutch tolerance. Twente University. https://essay.utwente.nl/61190/1/Barendregt%2C_W._-_s0184667_%28verslag%29.pdf

Buruma, Y. (2007). Dutch Tolerance: On Drugs, Prostitution, and Euthanasia. Crime and Justice in the Netherlands, 35(1), 73-113. https://www.jstor.org/stable/10.1086/650185

Roney, J. B. (2009). Culture and Customs of the Netherlands. Bloomsbury Academic.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Pantangan Dalam Budaya Mayarakat Minangkabau

Published

on

Sumber foto: goodnewsfromindonesia

Annisa Aulia Amanda
Mahasiswi Sastra Indonesia di Universitas Andalas

Dalam budaya kemasyarakatan, bahasa telah lama berfungsi sebagai saluran utama untuk bertukar informasi, sebelum munculnya bahasa tertulis. Melalui perkataan yang diucapkan, individu memiliki kapasitas untuk menyebarkan adat istiadat dan praktik dalam kelompoknya masing-masing, yang pada akhirnya membentuk identitas dan perilaku khas komunitas tersebut. Bahasa dan budaya saling mempengaruhi dan berkaitan satu dengan yang lain. Hal ini sesuai dengan pandangan Sibarani bahwa bahasa dan budaya perlu dipelajari bersama-sama untuk memahami berbagai aspek kehidupan manusia (Maulana, Rafiq dan Septiani 2024).

Kebudayaan bahasa ini, yang pada dasarnya merupakan landasan kebudayaan, bertahan dalam beberapa kurun waktu karena diwariskan dari generasi ke generasi, khususnya bahasa lisan. Evolusi budaya lisan tradisional yang sudah berlangsung lama mengambil berbagai bentuk, baik melalui sastra lisan atau dalam bentuk folklor. Istilah folklor berasal dari bahasa Inggris yaitu folklore, istilah ini diciptakan oleh William John Thomas pada tahun 1846 (Dundes, 1965). Beliau menjelaskan bahwa Folklore adalah gabungan dari dua kata yaitu folk dan lore; folk mengacu pada sekelompok masyarakat tertentu, sedangkan lore mewakili adat istiadat, tradisi, dan pengetahuan budaya yang diwariskan dalam komunitas tersebut. Kolektif masyarakat ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, antara lain suku, agama, pendidikan, dan letak geografis yang penting kolektif ini memiliki satu faktor yang sama.

Bisa dikatakan bahwa folklor adalah bagian dari kebudayaan suatu masyarakat daerah tertentu yang tersebar dan diwariskan—sedikitnya 2 generasi (130-150 tahun)—di antara kolektif masyarakat tertentu, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (Danandjaja, 1985). Salah satu kategori folklor adalah ungkapan kepercayaan yang hidup dalam suatu kelompok bermasyarakat. Kepercayaan rakyat atau takhayul menyangkut terhadap kepercayaan dan praktik (Danandjaja, 1985). Praktik ini mencerminkan nilai-nilai, tradisi, dan praktik spiritual dalam kolektif kebudayaan. Setiap budaya memiliki kepercayaannya masing-masing, salah bentuknya berupa ungkapan larangan.

Di Minangkabau, berbagai daerah terdapat ungkapan larangan yang disebut dengan “pantangan”. Pantangan bukanlah sekadar candaan untuk menakut-nakuti seseorang. Dalam Budaya Minangkabau hal itu menjadi sebuah didikan oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda. Pantangan menjadi salah bentuk bahasa yang mencerminkan nilai budaya masyarakat, khususnya masyarakat Minangkabau yang sering ungkapan larangan ini pada anak-anak, remaja, atau pada seseorang yang mencoba hal baru.

Pantangan ini diturunkan dari generasi ke generasi namun sayangnya eksistensinya mulai terancam akibat turunnya kepercayaan masyarakat terhadap pantangan. Minangkabau adalah suku yang penuh dengan berbagai tradisi, namun pada tahun 1900-an mulai terjadi perubahan terhadap adat Minangkabau yang diakibatkan fenomena modernisasi (Koentjaraningrat, 1985). Secara perlahan perkembangan teknologi dunia digital mempengaruhi perkembangan tradisi dan kebudayaan tradisional. Masyarakat lupa atau bahkan tidak mengenal lagi pantangan yang pernah ada di Minangkabau.

Berikut beberapa pantangan yang ditemukan dan makna kulturalnya;

 

Jan manyapu tangah malam, tasapu razaki beko.

“Jangan menyapu di malam hari, atau rezekimu akan tersapu.”

Secara leksikal, data di atas bermakna larangan untuk tidak menyapu di malam hari, atau rezekinya akan hilang. Menurut logika hal ini tak dapat diterima. Namun secara kultural, menyapu di malam hari akan membuat rezeki akan ikut tersapu. Hal ini adalah didikan agar seseorang tidak menyapu di malam hari karena dapat mengganggu istirahat orang lain.

 

Padusi jan acok-acok malala, ndak laku beko do.

“Perempuan jangan suka berkeliaran, nanti tidak ada lelaki yang mau menikahi.”

Secara leksikal, data di tas bermakna larangan untuk perempuan untuk berkeliaran (atau pergi bukan untuk hal yang penting) karena nantinya tidak akan ada lelaki yang ingin menikahinya. Memang secara logika tidak ada kaitan antara kedua hal tersebut. Namun secara kultural, pantangan ini adalah didikan untuk perempuan Minangkabau. Hal ini bermaksud untuk menjaga dan melindungi perempuan dari hal-hal yang buruk yang dapat terjadi di luar rumah.

 

Jan mandi lamo-lamo, di sapo beko.

“Jangan mandi terlalu lama, atau kamu akan kesurupan.”

Secara leksikal, data di atas bermakna larangan untuk tidak mandi terlalu lama atau orang tersebut akan kesurupan. Secara kultural, data di atas bermakna bahwa kamar mandi merupakan tempat membersihkan diri sehingga tak boleh terlalu lama di dalamnya. Jika dilanggar, akibatnya akan mengalami kesurupan. Pantangan ini sebenarnya adalah didikan untuk anak-anak agar tidak bermain-main di kamar mandi, karena dapat terjatuh, kedinginan atau mengalami hal buruk lainnya.

 

Jan lalok magrib-magrib, taimpik hantu beko.

“Jangan tidur ketika menjelang malam, atau kamu akan ditindih hantu.”

Secara leksikal, data di atas bermakna larangan untuk tidur ketika jadwal salat Magrib, atau orang itu akan mengalami ketindihan hantu.  Secara kultural, waktu Magrib menjadi waktu yang sakral bagi masyarakat Minangkabau yang umumnya beragama Islam. Waktu salat Magrib adalah jadwal untuk menunaikan salat. Karena hal itu, pantangan ini menjadi nasihat agar seseorang segera melaksanakan kewajibannya yaitu salat Magrib.

 

Jan mangaluh wakatu kadai rami, langang beko.

“Jangan mengeluh ketika toko sedang ramai, nanti sepi.”

Secara leksikal, data di atas bermakna larangan untuk pedagang agar tidak mengeluh ketika dagangannya ramai atau akibatnya dagangannya akan sepi. Secara kultural, masyarakat Minangkabau menganggap mengeluh ketika dagangan ramai sama saja tidak bersyukur atas hal yang telah diberikan Tuhan. Pantangan ini menjadi didikan untuk seseorang agar tidak seseorang agar tidak mengeluh atas apa yang telah terjadi dan tak lupa bersyukur atas berkah yang diberikan Tuhan.

 

Jan makak-makak wakatu malam, berang setan beko.

“Jangan berisik di malam hari, nanti setan marah.”

Secara leksikal, data di atas bermakna larangan untuk tidak berisik di malam hari, atau nanti setan marah. Secara kultural, malam menjadi waktu bagi orang-orang untuk beristirahat. Penggunaan kata “setan” dilakukan untuk menakuti orang-orang agar menghargai waktu orang lain yang ingin istirahat di malam hari. Pantangan ini adalah didikan untuk seseorang agar tidak mengganggu waktu istirahat orang lain

 

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pantangan di masyarakat Minangkabau merupakan cerminan nilai, adab, sosial, dan kepercayaan masyarakat Minangkabau yang diwariskan turun-temurun. Pantangan ini berfungsi sebagai pendidikan, peringatan, dan nasihat bagi generasi yang lebih muda. Meskipun tidak memiliki dasar ilmiah, bahkan tidak rasional, pantangan memiliki fungsi penting dalam masyarakat Minangkabau.

Di masa sekarang, pantangan Minangkabau dianggap tidak lagi relevan dan mulai dilupakan hingga tak diketahui keberadaannya oleh generasi muda. Padahal keberadaan pantangan penting karena merupakan warisan budaya yang kaya dan berharga. Pantangan memberikan wawasan bagaimana masyarakat Minangkabau dulunya memandang suatu hal dan bagaimana berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Pantangan menjadi aturan tak tertulis yang memberikan pendidikan kepada generasi muda.

 

 

 

Padang, 10 Maret 2025

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending