Opini
Toilet sebagai Kanvas: Estetika Subversif dalam Cerpen “Corat-coret di Toilet” Karya Eka Kurniawan
Published
5 months agoon
By
Mitra Wacana

Resti Anggraini mahasiswa Sastra Indonesia,Universitas Andalas
Sastra memiliki keterkaitan dengan kehidupan manusia,baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Karya karya sastra menggambarkan keadaan dan mencerminkan realitas yang ada di lingkungan manusia. Topik yang dibahas oleh pengarang dalam karyanya merupakan hasil pikiran terhadap situasi sosial tertentu. Karyanya menggambarkan keadaan yang terjadi di masyarakat.
Sebagai salah satu jenis karya sastra cerpen hanya menceritakan satu kehidupan saja atau tidak memiliki konflik yang banyak dan berlarut larut. Cerpen merupakan cerita yang padat hal ini membuat cerpen menjadi suatu penceritaan yang dangkal. Seperti cerpen Corat coret di Toilet kumpulan cerpen karya Eka Kurniawan.
Cerpen “Corat-coret di Toilet” ini salah satu karya sastra Indonesia kontemporer yang secara cemerlang menggabungkan unsur estetika dengan kritik sosial. Melalui ruang toilet yang tampaknya remeh, dianggap tempat pembuangan, cerpen ini menyuarakan keresahan kolektif masyarakat yang hidup dalam represi dan ketidakadilan. Coretan-coretan anonim di dinding toilet menjadi media alternatif bagi suara-suara yang tidak mendapat tempat di ruang publik yang resmi. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana unsur estetika dalam cerpen tersebut tidak hanya berfungsi sebagai keindahan semata, tetapi juga sebagai bentuk perlawanan sebuah estetika subversif yang lahir dari pinggiran.
Secara teoritis, tulisan ini menggunakan pendekatan estetika sosial, yaitu pandangan bahwa karya sastra selalu berhubungan erat dengan struktur sosial tempat ia dilahirkan. Estetika sosial memandang bahwa keindahan karya tidak berdiri sendiri, tetapi membawa misi sosial yang melekat dalam bahasa, gaya, dan simbol yang digunakan. Toilet sebagai latar utama cerpen menjadi simbol ruang marjinal, tempat di mana suara-suara terpinggirkan bisa muncul secara bebas meski dalam bayang-bayang ketersembunyian.
Toilet bukan sekadar latar fisik, melainkan menjelma menjadi simbol kekotoran baik secara harfiah maupun metaforis. Kekotoran ini tidak hanya merujuk pada kondisi fisik ruangannya yang jorok dan kumuh, tetapi juga merepresentasikan kekacauan sosial, kebusukan moral, dan kemacetan berpikir dalam sistem pendidikan dan politik. Toilet menjadi ruang pembuangan, tempat hal-hal yang dianggap menjijikkan dan tidak layak ditampilkan ditumpuk dan disembunyikan. Namun justru di ruang itulah muncul bentuk-bentuk ekspresi paling jujur dari mahasiswa: protes, keluhan, dan kritik sosial.
Toilet dalam cerpen ini berfungsi sebagai ruang subaltern, yaitu ruang yang dihuni oleh kelompok yang tidak memiliki kekuasaan untuk berbicara dalam struktur dominan. Dalam struktur sosial yang menindas, toilet menjadi tempat yang jujur dan bebas. Coretan di toilet bukan sekadar vandalisme, tetapi ekspresi politik yang muncul karena tidak adanya saluran komunikasi yang resmi dan aman. Ketika mahasiswa dalam cerpen mulai membaca dan mencermati isi toilet, mereka menemukan bahwa dinding tersebut menyimpan kegelisahan kolektif yang tidak bisa mereka temukan dalam forum-forum formal. Melalui simbolisasi toilet sebagai ruang kotor, Eka Kurniawan menyampaikan bahwa dalam masyarakat yang menindas kebebasan berpikir, suara-suara kebenaran hanya dapat muncul dari pinggiran, dari tempattempat yang dibuang dan dianggap tidak penting. Dengan demikian, toilet menjadi metafora kuat bagi kondisi sosial yang membusuk, sekaligus ruang subversif tempat resistensi terhadap kemapanan bisa lahir.
Estetika subversif dalam cerpen ini tampak jelas pada pemilihan simbol, gaya bahasa, dan ironi. Coretan di toilet, dengan segala keburukannya, menyimpan kejujuran dan keberanian. Narasi cerpen disampaikan dengan gaya yang satiris dan ironis, memperlihatkan ketegangan antara yang resmi dan yang liar, yang sopan dan yang jujur. Dengan cara ini, Eka Kurniawan menghadirkan estetika yang tidak hanya memanjakan keindahan kata, tetapi juga menggugah kesadaran sosial pembaca. Coretan seperti “jangan percaya dosen!” atau “kampus ini busuk!” bukanlah ekspresi tanpa makna, melainkan bentuk perlawanan dari mereka yang tidak punya suara di ruang akademik yang otoriter.
Gaya bahasa cerpen yang lugas namun penuh ironi membuat pesan sosialnya semakin kuat. Eka tidak menggurui, tetapi membiarkan pembaca menyelami makna simbolik dari coretan-coretan liar itu. Ironi muncul ketika justru toilet tempat yang dianggap kotor dan privat menjadi sumber kebenaran, sementara ruang kelas dan dewan kampus hanya menyebarkan kepalsuan dan ketakutan. Di sinilah letak kekuatan estetika subversif ia hadir dalam bentuk yang tidak terduga, dalam ruang yang marginal, dan dengan suara yang tidak bernama.
Cerpen ini juga menggambarkan bagaimana bahasa bisa menjadi alat resistensi. Bahasa dalam coretan tidak tunduk pada aturan gramatika atau sensor moral, ia mengalir liar, kasar, dan penuh emosi. Namun justru karena itu ia jujur. Bahasa seperti ini menolak menjadi indah dalam pengertian klasik, tetapi menjadi indah dalam konteks estetika sosial karena mampu mewakili jeritan yang terbungkam. Pembaca tidak hanya menikmati cerita, tetapi juga didorong untuk berpikir tentang relasi kuasa, ruang publik, dan hak atas kebebasan berpendapat.
Dengan pendekatan estetika sosial, “Corat-coret di Toilet” terbukti tidak sekadar menawarkan cerita, tetapi juga refleksi kritis terhadap masyarakat. Toilet sebagai latar bukan pilihan estetis semata, tetapi simbol dari kondisi sosial-politik yang menindas ekspresi. Melalui simbol toilet dan coretan, Eka Kurniawan menghadirkan kanvas alternatif bagi mereka yang tak memiliki galeri untuk bersuara. Dalam dunia yang terlalu terkontrol, toilet menjadi ruang demokrasi yang tak terduga.
Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa cerpen ini menunjukkan bagaimana ruang-ruang marjinal bisa menjadi sumber kekuatan estetik dan politis. Estetika subversif yang ditawarkan oleh “Corat-coret di Toilet” adalah sebuah ajakan untuk mendengar suara dari tempat-tempat yang tidak biasa. Dalam dunia yang sarat dengan sensor dan penindasan, sastra mampu menghadirkan bentuk-bentuk keindahan yang menggugah dan membebaskan.
Opini
Peran Sastra Populer dalam Meningkatkan Literasi di Kalangan Remaja
Published
1 week agoon
7 November 2025By
Mitra Wacana

Penulis : Fatin Fashahah, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas
Sastra populer sering dipandang rendah, dianggap hanya untuk hiburan, dangkal, atau terlalu komersial. Sikap seperti ini muncul dari pendapat bahwa karya populer tak setara dengan karya-karya yang biasanya dipelajari di bangku perkuliahan. Padahal, bagi banyak remaja, sastra populer justru menjadi pintu pertama untuk mulai suka membaca. Mengabaikan atau mengecilkan peran sastra populer berarti menutup kesempatan bagi generasi muda untuk jatuh cinta pada dunia tulisan.
UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Fakta ini menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca rekreasi di banyak kelompok usia.
Namun, ketika pembaca terutama remaja diberi kebebasan memilih bacaan yang sesuai selera dan pengalaman mereka, minat membaca bisa saja meningkat. Dengan kata lain, relevansi isi buku terhadap kehidupan pembaca muda sangat menentukan apakah mereka akan terus membaca atau tidak. Sastra populer seperti buku young adult, novel roman remaja, dan cerita fantasi ringan sering kali menawarkan tema dan tokoh yang mudah dipahami remaja karena ceritanya seringkali dihubungkan dengan kehidupan remaja, sehingga mereka lebih tertarik untuk membaca.
Selain itu, sastra populer lebih mudah diakses lewat platform digital, cerita-cerita di aplikasi dan situs bacaan daring seperti Ipusnas, google play book, wattpad, karyakarsa dll. membuat remaja menemukan teks yang mereka suka kapan saja dengan mudah. Bentuk online juga mendorong interaksi pembaca bisa memberi komentar, berdiskusi, atau bahkan menulis kembali cerita mereka sendiri. Pengalaman berinteraksi seperti ini memberi dorongan kuat untuk terus membaca dan menulis. Beberapa karya yang awalnya populer di dunia maya kemudian diterbitkan secara cetak atau diadaptasi menjadi film dan serial menunjukkan bahwa bacaan populer punya peran penting dalam membangun ekosistem budaya yang lebih luas.
Penolakan terhadap sastra populer sering kali datang dari dua alasan utama. Pertama, alasan estetika, anggapan bahwa karya populer kurang bermutu secara sastra. Kedua, alasan moral atau konten bahwa beberapa cerita mengandung nilai yang dipertanyakan. Kritik seperti ini tidak salah jika tujuannya untuk memperbaiki kualitas karya. Namun, cara menanggapinya yang kurang tepat bisa membuat minat membaca remaja menjadi surut, seharusnya kita bukan melarang atau merendahkan bacaan tersebut. Akan lebih baik jika pembaca pemula diajarkan bagaimana cara membaca yang kritis. Dengan membimbing remaja membaca secara kritis, kita membantu mereka mengenali kekuatan dan kelemahan sebuah teks, sehingga pengalaman membaca menjadi lebih bermakna.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat membaca remaja diantaranya. Pertama, perpustakaan sekolah dan umum perlu menata koleksi yang seimbang baik karya klasik dan akademik berdampingan dengan bacaan populer. Pendekatan ini mengakui bahwa pembaca punya selera berbeda, dan memberi ruang bagi remaja yang sedang mencari gaya baca dan minat mereka. Kedua, guru dan pustakawan harus dilatih untuk memfasilitasi diskusi yang mengaitkan tema populer dengan konsep sastra dasar. Misalnya, dari sebuah novel populer, kita bisa mengajak pembaca membahas tokoh, alur, sudut pandang, atau pesan yang tersirat yanga terdapat di dalam novel tersebut. Langkah sederhana ini bisa mengubah bacaan ringan menjadi bahan belajar yang efektif.
Ketiga, adanya kegiatan klub baca dan lomba menulis berbasis minat yang bisa menghubungkan pembaca muda dengan mentor dan teman sebaya. Suasana komunitas yang saling mendukung membuat kegiatan membaca terasa lebih menyenangkan. Selain itu, adanya lomba menulis membuat remaja merasa diberi ruang kreatif untuk mengekspresikan dirinya. Keempat, harus ada kerja sama antara sekolah dengan platform digital. Hal ini penting untuk menyediakan akses yang aman dan terkurasi. Akses digital tanpa bimbingan bisa berisiko negatif dengan memperkenalkan konten yang kurang sesuai untuk pembaca dibawah umur. Oleh karena itu, peran pendidik dan orang tua tetap penting dalam menumbuhkan minat membaca terutama pembaca anak-anak dan remaja.
Secara budaya, sikap berhati-hati atau keraguan terhadap sastra populer sering kali membuat masyarakat melewatkan cerita-cerita yang sebenarnya dekat dengan kehidupan banyak orang, khususnya para remaja dari berbagai latar belakang. Karya populer dapat menjadi ruang untuk bereksperimen dengan bahasa, identitas, dan pengalaman sehari-hari. Ketika karya semacam ini dibahas di sekolah atau komunitas, karya tersebut berpotensi memperkaya imajinasi serta cara pandang masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Dengan demikian, sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari wacana budaya yang turut membentuk cara berpikir dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.
Kesimpulannya, alih-alih memandang sastra populer secara sebelah mata, akan lebih bermanfaat jika masyarakat mencoba melihat potensinya dalam meningkatkan minat baca dan memperkuat budaya literasi. Pendekatan yang inklusif dapat dimanfaatkan untuk menjadikan daya tarik sastra populer sebagai pintu masuk bagi pembaca pemula. Tentu saja, hal ini tetap perlu disertai dengan bimbingan dan adanya pengenalan terhadap keterampilan membaca kritis serta jenis bacaan yang lebih beragam. Dengan begitu, kebiasaan membaca tidak hanya meningkat, tetapi juga dapat mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa generasi muda.










