web analytics
Connect with us

Opini

Toilet sebagai Kanvas: Estetika Subversif dalam Cerpen “Corat-coret di Toilet” Karya Eka Kurniawan

Published

on

 

Resti Anggraini mahasiswa Sastra Indonesia,Universitas Andalas

Sastra memiliki keterkaitan dengan kehidupan manusia,baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Karya karya sastra menggambarkan keadaan dan mencerminkan realitas yang ada di lingkungan manusia. Topik yang dibahas oleh pengarang dalam karyanya merupakan hasil pikiran terhadap situasi sosial tertentu. Karyanya menggambarkan keadaan yang terjadi di masyarakat.

Sebagai salah satu jenis karya sastra cerpen hanya menceritakan satu kehidupan saja atau tidak memiliki konflik yang banyak dan berlarut larut. Cerpen merupakan cerita yang padat hal ini membuat cerpen menjadi suatu penceritaan yang dangkal. Seperti cerpen Corat coret di Toilet kumpulan cerpen karya Eka Kurniawan.

Cerpen “Corat-coret di Toilet” ini salah satu karya sastra Indonesia kontemporer yang secara cemerlang menggabungkan unsur estetika dengan kritik sosial. Melalui ruang toilet yang tampaknya remeh, dianggap tempat pembuangan, cerpen ini menyuarakan keresahan kolektif masyarakat yang hidup dalam represi dan ketidakadilan. Coretan-coretan anonim di dinding toilet menjadi media alternatif bagi suara-suara yang tidak mendapat tempat di ruang publik yang resmi. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana unsur estetika dalam cerpen tersebut tidak hanya berfungsi sebagai keindahan semata, tetapi juga sebagai bentuk perlawanan sebuah estetika subversif yang lahir dari pinggiran.

Secara teoritis, tulisan ini menggunakan pendekatan estetika sosial, yaitu pandangan bahwa karya sastra selalu berhubungan erat dengan struktur sosial tempat ia dilahirkan. Estetika sosial memandang bahwa keindahan karya tidak berdiri sendiri, tetapi membawa misi sosial yang melekat dalam bahasa, gaya, dan simbol yang digunakan. Toilet sebagai latar utama cerpen menjadi simbol ruang marjinal, tempat di mana suara-suara terpinggirkan bisa muncul secara bebas meski dalam bayang-bayang ketersembunyian.

Toilet bukan sekadar latar fisik, melainkan menjelma menjadi simbol kekotoran baik secara harfiah maupun metaforis. Kekotoran ini tidak hanya merujuk pada kondisi fisik ruangannya yang jorok dan kumuh, tetapi juga merepresentasikan kekacauan sosial, kebusukan moral, dan kemacetan berpikir dalam sistem pendidikan dan politik. Toilet menjadi ruang pembuangan, tempat hal-hal yang dianggap menjijikkan dan tidak layak ditampilkan ditumpuk dan disembunyikan. Namun justru di ruang itulah muncul bentuk-bentuk ekspresi paling jujur dari mahasiswa: protes, keluhan, dan kritik sosial. 

Toilet dalam cerpen ini berfungsi sebagai ruang subaltern, yaitu ruang yang dihuni oleh kelompok yang tidak memiliki kekuasaan untuk berbicara dalam struktur dominan. Dalam struktur sosial yang menindas, toilet menjadi tempat yang jujur dan bebas. Coretan di toilet bukan sekadar vandalisme, tetapi ekspresi politik yang muncul karena tidak adanya saluran komunikasi yang resmi dan aman. Ketika mahasiswa dalam cerpen mulai membaca dan mencermati isi toilet, mereka menemukan bahwa dinding tersebut menyimpan kegelisahan kolektif yang tidak bisa mereka temukan dalam forum-forum formal. Melalui  simbolisasi toilet sebagai ruang kotor, Eka Kurniawan menyampaikan bahwa dalam masyarakat yang menindas kebebasan berpikir, suara-suara kebenaran hanya dapat muncul dari pinggiran, dari tempattempat yang dibuang dan dianggap tidak penting. Dengan demikian, toilet menjadi metafora kuat bagi kondisi sosial yang membusuk, sekaligus ruang subversif tempat resistensi terhadap kemapanan bisa lahir.

Estetika subversif dalam cerpen ini tampak jelas pada pemilihan simbol, gaya bahasa, dan ironi. Coretan di toilet, dengan segala keburukannya, menyimpan kejujuran dan keberanian. Narasi cerpen disampaikan dengan gaya yang satiris dan ironis, memperlihatkan ketegangan antara yang resmi dan yang liar, yang sopan dan yang jujur. Dengan cara ini, Eka Kurniawan menghadirkan estetika yang tidak hanya memanjakan keindahan kata, tetapi juga menggugah kesadaran sosial pembaca. Coretan seperti “jangan percaya dosen!” atau “kampus ini busuk!” bukanlah ekspresi tanpa makna, melainkan bentuk perlawanan dari mereka yang tidak punya suara di ruang akademik yang otoriter.

Gaya bahasa cerpen yang lugas namun penuh ironi membuat pesan sosialnya semakin kuat. Eka tidak menggurui, tetapi membiarkan pembaca menyelami makna simbolik dari coretan-coretan liar itu. Ironi muncul ketika justru toilet tempat yang dianggap kotor dan privat menjadi sumber kebenaran, sementara ruang kelas dan dewan kampus hanya menyebarkan kepalsuan dan ketakutan. Di sinilah letak kekuatan estetika subversif ia hadir dalam bentuk yang tidak terduga, dalam ruang yang marginal, dan dengan suara yang tidak bernama.

Cerpen ini juga menggambarkan bagaimana bahasa bisa menjadi alat resistensi. Bahasa dalam coretan tidak tunduk pada aturan gramatika atau sensor moral, ia mengalir liar, kasar, dan penuh emosi. Namun justru karena itu ia jujur. Bahasa seperti ini menolak menjadi indah dalam pengertian klasik, tetapi menjadi indah dalam konteks estetika sosial karena mampu mewakili jeritan yang terbungkam. Pembaca tidak hanya menikmati cerita, tetapi juga didorong untuk berpikir tentang relasi kuasa, ruang publik, dan hak atas kebebasan berpendapat.  

Dengan pendekatan estetika sosial, “Corat-coret di Toilet” terbukti tidak sekadar menawarkan cerita, tetapi juga refleksi kritis terhadap masyarakat. Toilet sebagai latar bukan pilihan estetis semata, tetapi simbol dari kondisi sosial-politik yang menindas ekspresi. Melalui simbol toilet dan coretan, Eka Kurniawan menghadirkan kanvas alternatif bagi mereka yang tak memiliki galeri untuk bersuara. Dalam dunia yang terlalu terkontrol, toilet menjadi ruang demokrasi yang tak terduga.

Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa cerpen ini menunjukkan bagaimana ruang-ruang marjinal bisa menjadi sumber kekuatan estetik dan politis. Estetika subversif yang ditawarkan oleh “Corat-coret di Toilet”  adalah sebuah ajakan untuk mendengar suara dari tempat-tempat yang tidak biasa. Dalam dunia yang sarat dengan sensor dan penindasan, sastra mampu menghadirkan bentuk-bentuk keindahan yang menggugah dan membebaskan.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya

Published

on

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2

Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.

Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.

Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.

Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.

Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip. 

Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.

Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.

Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending