web analytics
Connect with us

Opini

Bahasa Bias Jender dalam Relasi Kuasa Budaya Patriarkhi

Published

on

banyak pilihan

Oleh Arif Sugeng Widodo

Manusia dalam berinteraksi memakai bahasa, baik laki-laki, perempuan, anak-anak, orang tua. Dalam berinteraksi bahasa tidak sekedar sebagai alat komunikasi tapi juga menggambarkan apa yang ada dalam pikiran masing-masing orang. Dalam kehidupan sehari hari kadang ada bahasa yang dianggap tidak pantas diucapkan oleh seseorang atau pantas diucapkan seseorang tapi tidak untuk orang-orang tertentu. Dalam hal ini akan dikaji bahasa yang bias jender yang ada dalam kehidupan sehari-hari . Bahasa yang bias jender adalah bahasa yang dipakai atau digunakan dengan mendiskriditkan jenis kelamin tertentu dalam pemakaian suatu bahasa di masyarakat. Bahasa yang bias jender ini masih sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, tidak saja didalam keluarga tapi juga di pasar-pasar, pengajian, bahkan lembaga pendidikan. Bahasa yang bias jender ini sangat berhubungan dengan budaya patriarki yang tertanam kuat di masyarakat.

Dalam budaya Jawa atau bahkan mungkin di beberapa budaya yang lain ditemui bahasa-bahasa yang mendiskriditkan perempuan atau anak perempuan. Beberapa pernyataan yang muncul misalnya; anak perempuan jangan pake celana panjang tidak pantas, anak perempuan jangan bermain pistol-pistolan, anak perempuan jangan main bola gak pantas, anak laki-laki jangan main boneka gak pantas, perempuan itu pantasnya mengurus masalah dapur, sumur dan dapur saja, perempuan pakai rok mini sih pantas diperkosa, perempuan itu tidak usah sekolah tinggi-tinggi toh nantinya ikut suami juga, perempuan itu kalau bicara yang halus jangan bicara yang kasar gak pantas, perempuan itu jangan makan banyak-banyak gak pantas. Laki-laki itu harus tegas biar perempuan tunduk, laki-laki itu harus kasar pada perempuan baru keliatan macho, laki-laki kok nangis kayak perempuan saja, berkelahi itu baru jantan jangan kayak anak perempuan adu mulut aja, dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya yang sebenarnya ada dalam kehidupan sehari-hari.

Bahasa yang bias jender tersebut terasa tidak salah karena sering sekali di dengar dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dianggap wajar dan benar adanya. Tapi kalau dilihat lebih dalam betapa bahasa yang bias jender tersebut merendahkan kedudukan perempuan dalam relasinya dengan laki-laki. Bahasa yang bias jender tersebut menunjukkan betapa pandangan terhadap perempuan yang subordinat tersebut masih ada. Bahasa tersebut terus direproduksi dari generasi ke generasi sehingga pengaruh budaya patriarki itu diturunkan juga melalui bahasa selain dalam tindakan-tindakan sosial. Dalam beberapa kasus bahasa yang bias jender kadang dijadikan bahan candaan atau bahkan iklan produk tertentu. Sudut pandang bahwa laki-laki adalah makhluk yang serba baik, benar, kuat dll masih mucul dalam bahasa. Menarik apa yang diungkapkan oleh Brooks; “Grosz menunjukkan bagaimana usaha lacan mengenai seksualitas menyoroti peran krusial permainan bahasa di dalam konstruksi identitas personal. “identitas maskulin dan feminine tidaklah ‘alamiah’, namun hasil retakan retakan di dalam tatanan alamiah, jurang dimana bahasa menyindir dirinya sendiri. Sebagai penanda utama dari yang simbolik, alat kelamin menandai tubuh dan seksualitas laki-laki dan perempuan dalam berbagai cara”(ibid). implikasinya bagi teori feminis adalah penting karena, sebagaimana Grosz mencatat, hal tersebut menyoroti ‘berakhirnya universalis,atau humanis, model seksual netral tentang subjektivitas. Model yang demikian dapat dipandang sebagai alat kelamin sentries, penggunaan kuasa pada representasi dan otoritas bagi model laki-laki’(ibid.). ( Brooks, 2009: 110).

Penggunaan bahasa akan menunjukkan apa yang dipikirkan seseorang dan sejauh mana pengetahuan seseorang. Pikiran manusia juga tidak lepas dari pengetahuan yang didapatnya, pengetahuan itu itupun bisa dikomunikasikan lewat bahasa. Ada cuplikan menarik dari Pinker; “Having a language, of course, is part of what it means to be human, so it is natural to be curious. But having hands that are not occupied in locomotion is even more important to being human, and chances are you would never have made it to the last chapter of a book about the human hand. People are more than curious about language; they are passionate. The reason is obvious . language is the most accessible part of the mind. People want to know about language because they hope this knowledge will lead to insight about human nature”. (Pinker,2011: 419).

Menarik apa yang diungkapkan oleh Kaelan, selain sebagai alat komunikasi bahasa juga berperan dalam menyertai proses berpikir manusia dalam usaha memahami dunia luar, baik secara objektif maupun secara imajinatif. Bahasa juga punya fungsi kognitif dan emotif selain fungsi komunikatif. Bahasa dapat mengantarkan informasi dengan menunjuk sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas mental selain menunjuk pada struktur kebahasaan itu sendiri. Hubungan antara bahasa dan pikiran sudah menjadi bahan kajian para filsuf bahkan sejak Aristoteles. (Kaelan, 2002: 290) Senanda dengan Kaelan, Djojosuroto juga mengungkapkan bahwa bahasa adalah alat atau instrument dari proses berpikir. Bahasa juga bukan alat mati dari pikiran, bahasa mempunyai peran lain dalam kehidupan manusia selain logika. (Djojosuroto, 2006:122)

Kalau dilihat pemakaian bahasa yang bias jender menunjukkan cerminan dari orang yang menggunakannya. Dengan menggunakan bahasa-bahasa yang bias jender maka akan terlihat bagaimana pemikiran dan pengetahuan seseorang tentang relasi kuasa. Apa yang dikatakan itulah apa yang dipikirkan dan apa yang dipikirkan itulah merupakan pengetahuan yang selama ini diperoleh. orang-orang masih banyak yang menggunakan bahasa bias jender karena selama ini bahasa tersebut beredar di masyarakat dan dianggap wajar. Karena dianggap wajar bahasa yang bias jender tersebut dianggap sesuatu yang benar, karena dianggap sesuatu yang benar bahasa tersebut direproduksi sedemikan rupa dan dipakai di dalam berinteraksi dengan orang lain. Adanya pernyataan “perempuan jangan main bola tidak pantas” misalnya menunjukkan bahwa yang pantas dan memang layak main bola adalah laki-laki. Jika ada perempuan main bola berarti hal tersebut sudah mengusik suatu nilai-nilai kepantasan dalam masyarakat. Pada saat sebuah tindakan itu mengusik suatu “tatanan” maka akan ada penilaian lewat pemakaian bahasa, hal tersebutlah yang menyebabkan bahasa yang bias jender itu selalu saja muncul secara berulang. Pemakaian bahasa yang bias jender juga berkaitan dengan tabu, perempuan dianggap tabu melakukan sesuatu jika dianggap di luar nilai-nilai tertentu.

“Karena tabu tidak hanya menyangkut ketakutan terhadap roh gaib, melainkan juga berkaitan dengan sopan santun dan tata karma pergaulan sosial, orang yang tidak ingin dianggap “tidak sopan” akan menghindarkan penggunaan kata-kata tertentu. Dalam masyarakat Indonesia, terutama dalam bahasa daerah, sering dikatakan wanita lebih banyak menghindari penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan alat kelamin atau kata-kata “kotor” yang lain. Kata-kata ini seolah-olah ditabukan oleh wanita, atau seolah-olah menjadi monopoli pria.” (Sumarsono dan partana, 2002: 106-107).

Penggunaan kata-kata yang bias jender tidak lepas dari makna apa yang muncul. Sehingga menggunakan suatu kata-kata haruslah hati-hati apakah mengandung unsur-unsur yang merendahkan, melecehkan atau mendiskriminasikan terhadap sesuatu hal. Di kelompok tertentu bisa jadi pemakaian suatu bahasa yang bias jender bisa dimaklumi tapi di kelompok yang lain pemakaian bahasa bias jender bisa dianggap sebagai penghinaan yang serius terhadapa suatu kelompok. Sehingga penting untuk memperhatikan dimana suatu kata itu dipergunakan dan untuk apa digunakan, apakah berdampak secara sosial apa tidak? Karena pemakaian bahasa yang tidak tepat bisa mengacaukan situasi sosial di suatu masyarakat yang pada akhirnya bisa menimbulkan konflik berkepanjangan gara-gara sebuah pernyataan.

Pemakaian bahasa yang bias gender tidak lepas dari relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Hal tersebut juga mempengaruhi pola bahasa yang dipakai saat terjadi relasi antara laki-laki dan perempuan. Sehingga menarik untuk sedikit menyinggung mengenai dominasi maskulin dalam kehidupan sehari-hari. Karena hal tersebut berkaitan erat dengan pemakaian bahasa yang bias jender. Pemakaian bahasa yang bias jender tidak saja terjadi di satu atau dua wilayah tapi terhadi hampir di semua wilayah yang sistem patriarkinya cukup kental. Adanya analisis antropologis yang dilakukan oleh Pierre Bourdieu mengenai dominasi maskulin sedikit banyak akan membantu memberikan gambaran bagaimana bahasa yang bias jender itu terbentuk di dalam masyarakat.

Referensi
Brooks, Ann, 2009, Posfeminisme and Cultural Studies (Sebuah Pengantar Paling Komprehensif), Jalasutra, Yogyakarta.
Djojosuroto, kinayati, 2006, Filsafat Bahasa, Penerbit pustaka, Yogyakarta.
Kaelan, 2002, Filsafat bahasa (masalah dan perkembangannya), paradigma, Yogyakarta.
Pinker, Steven, 2011, The Language Instinct, HerperCollins Publishers, New York.
Sumarsono dan Partana, 2002, Sosiolinguistik, Sabda, Yogyakarta.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Peran Sastra Populer dalam Meningkatkan Literasi di Kalangan Remaja

Published

on

Penulis : Fatin Fashahah, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas

Sastra populer sering dipandang rendah, dianggap hanya untuk hiburan, dangkal, atau terlalu komersial. Sikap seperti ini muncul dari pendapat bahwa karya populer tak setara dengan karya-karya yang biasanya dipelajari di bangku perkuliahan. Padahal, bagi banyak remaja, sastra populer justru menjadi pintu pertama untuk mulai suka membaca. Mengabaikan atau mengecilkan peran sastra populer berarti menutup kesempatan bagi generasi muda untuk jatuh cinta pada dunia tulisan.

UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Fakta ini menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca rekreasi di banyak kelompok usia.

Namun, ketika pembaca terutama remaja diberi kebebasan memilih bacaan yang sesuai selera dan pengalaman mereka, minat membaca bisa saja meningkat. Dengan kata lain, relevansi isi buku terhadap kehidupan pembaca muda sangat menentukan apakah mereka akan terus membaca atau tidak. Sastra populer seperti buku young adult, novel roman remaja, dan cerita fantasi ringan sering kali menawarkan tema dan tokoh yang mudah dipahami remaja karena ceritanya seringkali dihubungkan dengan kehidupan remaja, sehingga mereka lebih tertarik untuk membaca.

Selain itu, sastra populer lebih mudah diakses lewat platform digital, cerita-cerita di aplikasi dan situs bacaan daring seperti Ipusnas, google play book, wattpad, karyakarsa dll. membuat remaja menemukan teks yang mereka suka kapan saja dengan mudah. Bentuk online juga mendorong interaksi pembaca bisa memberi komentar, berdiskusi, atau bahkan menulis kembali cerita mereka sendiri. Pengalaman berinteraksi seperti ini memberi dorongan kuat untuk terus membaca dan menulis. Beberapa karya yang awalnya populer di dunia maya kemudian diterbitkan secara cetak atau diadaptasi menjadi film dan serial menunjukkan bahwa bacaan populer punya peran penting dalam membangun ekosistem budaya yang lebih luas.

Penolakan terhadap sastra populer sering kali datang dari dua alasan utama. Pertama, alasan estetika, anggapan bahwa karya populer kurang bermutu secara sastra. Kedua, alasan moral atau konten bahwa beberapa cerita mengandung nilai yang dipertanyakan. Kritik seperti ini tidak salah jika tujuannya untuk memperbaiki kualitas karya. Namun, cara menanggapinya yang kurang tepat bisa membuat minat membaca remaja menjadi surut, seharusnya kita bukan melarang atau merendahkan bacaan tersebut. Akan lebih baik jika pembaca pemula diajarkan bagaimana cara membaca yang kritis. Dengan membimbing remaja membaca secara kritis, kita membantu mereka mengenali kekuatan dan kelemahan sebuah teks, sehingga pengalaman membaca menjadi lebih bermakna.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat membaca remaja diantaranya. Pertama, perpustakaan sekolah dan umum perlu menata koleksi yang seimbang baik karya klasik dan akademik berdampingan dengan bacaan populer. Pendekatan ini mengakui bahwa pembaca punya selera berbeda, dan memberi ruang bagi remaja yang sedang mencari gaya baca dan minat mereka. Kedua, guru dan pustakawan harus dilatih untuk memfasilitasi diskusi yang mengaitkan tema populer dengan konsep sastra dasar. Misalnya, dari sebuah novel populer, kita bisa mengajak pembaca membahas tokoh, alur, sudut pandang, atau pesan yang tersirat yanga terdapat di dalam novel tersebut. Langkah sederhana ini bisa mengubah bacaan ringan menjadi bahan belajar yang efektif.

Ketiga, adanya kegiatan klub baca dan lomba menulis berbasis minat yang bisa menghubungkan pembaca muda dengan mentor dan teman sebaya. Suasana komunitas yang saling mendukung membuat kegiatan membaca terasa lebih menyenangkan. Selain itu, adanya lomba menulis membuat remaja merasa diberi ruang kreatif untuk mengekspresikan dirinya. Keempat, harus ada kerja sama antara sekolah dengan platform digital. Hal ini penting untuk menyediakan akses yang aman dan terkurasi. Akses digital tanpa bimbingan bisa berisiko negatif dengan memperkenalkan konten yang kurang sesuai untuk pembaca dibawah umur. Oleh karena itu, peran pendidik dan orang tua tetap penting dalam menumbuhkan minat membaca terutama pembaca anak-anak dan remaja.

Secara budaya, sikap berhati-hati atau keraguan terhadap sastra populer sering kali membuat masyarakat melewatkan cerita-cerita yang sebenarnya dekat dengan kehidupan banyak orang, khususnya para remaja dari berbagai latar belakang. Karya populer dapat menjadi ruang untuk bereksperimen dengan bahasa, identitas, dan pengalaman sehari-hari. Ketika karya semacam ini dibahas di sekolah atau komunitas, karya tersebut berpotensi memperkaya imajinasi serta cara pandang masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Dengan demikian, sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari wacana budaya yang turut membentuk cara berpikir dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.

Kesimpulannya, alih-alih memandang sastra populer secara sebelah mata, akan lebih bermanfaat jika masyarakat mencoba melihat potensinya dalam meningkatkan minat baca dan memperkuat budaya literasi. Pendekatan yang inklusif dapat dimanfaatkan untuk menjadikan daya tarik sastra populer sebagai pintu masuk bagi pembaca pemula. Tentu saja, hal ini tetap perlu disertai dengan bimbingan dan adanya pengenalan terhadap keterampilan membaca kritis serta jenis bacaan yang lebih beragam. Dengan begitu, kebiasaan membaca tidak hanya meningkat, tetapi juga dapat mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa generasi muda.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending