web analytics
Connect with us

Opini

Catatan Mantan Buruh Migran (Berdasarkan Wawancara)

Published

on

Hak-hak buruh. Gambar: https://www.tes.com
Umiasih

Umiasih

Oleh Umiasih (CO Kulon Progo)

Waktu itu sekitar tahun 90an, kejadian ini dialami oleh seorang perempuan berinisial BN (saat ini usianya sekitar 45 tahun) mendapatkan tawaran kerja di luar negeri. Waktu itu, BN baru saja bercerai dari suaminya, memiliki satu orang anak. Disaat BN kebingungan, datanglah tawaran pekerjaan menggiurkan dari seseorang yang menjanjikan kesuksesan secara materi. Dengan harapan bisa menjamin masa depan anak, akhirnya BN menerima tawaran tersebut.

Persyaratannya tidak rumit, yang penting memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Seingat BN, waktu itu diantar oleh kepala dukuh ke PT (PJTKI) di sekitar terminal Umbulharjo Yogya (sekarang terminal pindah di Giwangan). Saat ini PT tersebut sudah tutup. Dengan persiapan seadanya, BN berangkat menggunakan bus ke Batam. Sesampainya di tempat tujuan, BN dibawa ke penampungan di sebuah rumah sederhana yang dikelilingi oleh tembok (seperti penjara). Selama Kurang lebih enam bulan di penampungan, BN diberangkatkan ke Malaysia sebagai pekerja rumah tangga.

Selama bekerja, BN dilarang berbicara dengan teman kerjanya, BN juga mendapat kekerasan fisik seperti tamparan dan pukulan dari majikan. Selama BN bekerja, tidak pernah mendapatkan gaji. Kondisi tersebut semakin membulatkan tekadnya untuk melarikan diri keluar dari Malaysia dan kembali ke Indonesia meskipun banyak hambatan dan resiko. Percobaan pertama gagal, BN ketahuan majikannya dan dipukuli hingga babak belur.

Namun BN pantang menyerah. Percobaan kabur kedua BN bertemu dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL). Dengan harapan mendapatkan bantuan, sebaliknya BN dipukuli dan di tendang dengan sepatu. BN ditangkap dan dikembalikan kepada majikannya.

BN pasrah, empat tahun kemudian BN mencoba melarikan diri kembali. Bersama seorang teman, BN nekat merangkai lima sprei dijadikan tali untuk turun melelui jendela rumah. BN berhasil tiba di pelabuhan. Saat itu pukul 2 dini hari. Sementara temannya gagal karena jatuh di rumah orang, BN bertemu dengan seorang nelayan yang akhirnya menolongnya menyeberang menggunakan kapal tongkang. BN diseberangkan sampai di pangkal Pinang.

Sesampainya di perairan Indonesia, BN ditolong pemilik kedai tempatnya berteduh. Namanya Sri, orang Bantul, Jogja. Selama tinggal di rumah Sri, BN membantu berjualan di warung. Suatu ketika anak Sri datang berkunjung. Dengan bantuan anak Sri, BN menitipkan foto untuk keluarga di rumah, karena BN sudah lama merantau BN khawatir keluarga tidak mengenalinya. Dibantu Sri, BN berhasil pulang dan berjumpa dengan keluarga.

Setelah 10 tahun dirumah, BN mendapat ajakan dari Mitra Wacana WRC untuk menghadiri pertemuan rutin P3A. Lantaran pertemuan rutin, BN memperoleh informasi pencegahan perdagangan orang. Selain itu, P3A bisa dijadikan tempat belajar dan bertukar pengalaman. Sebelum menjadi anggota P3A, BN belum pernah tergabung dalam suatu organisasi.Berkat sering mengikuti pertemuan rutin P3A, BN baru menyadari termasuk korban perdagangan orang. Hingga saat ini, BN rajin mengikuti pertemuan. Menurut BN, jika kerap mengadiri pertemuan pasti memperoleh pengetahuan baru, seperti kesetaran gender, PKDRT, menggali potensi Desa, kesehatan reproduksi dan yang terbaru pertemuan OPSD.

Dalam OPSD, peserta memperoleh ilmu tentang pentingnya partisipasi dalam pembangun. Perempuan mampu turut serta dalam pembangunan, karena sebenarnya perempuan lebih tahu kebutuhan dirinya. Misalnya, anak perempun tahu kebutuhan anak, hal-hal yang membahayakan anak dan merawat kesehatan reproduksinya. Berbeda dengan laki-laki, kebanyakan yang pikirkan kebutuhan fisiknya saja tanpa memperhatikan psikisnya.

Selama mengikuti OPSD, BN memperoleh pengetahuan tentang keterlibatan perempuan dalam pembangunan di desa. Bagi BN, OPSD menjadi tempat bagi perempuan desa untuk belajar tentang gender, UU Desa, pencegahan perdagangan orang, dan pemenuhan hak perempuan.

Banyak pengalaman berharga yang diperoleh BN. Menjadi lebih percaya diri ketika berbaur dengan masyarakat serta terlibat dalam musyawarah pedusunan. Sebagai contoh, dalam suatu kesempatan BN mengusulkan pentingnya sosialisasi pencegahan perdagangan orang. Harapannya agar tidak ada korban perdagangan orang di desanya, cukup dirinya saja yang menjadi korban.

Selama mengikuti proses OPSD, BN merasa tidak puas karena belum banyak peserta dari unsur pemerintah desa yang mengikuti kegiatan tersebut. Menurut BN, jika dalam proses OPSD dihadiri oleh lebih banyak parat desa atau orang – orang “penting”, maka akan semakin banyak anggota masyarakat yang menyuarakan anti perdagangan orang.

*Tulisan ini juga dimuat di buletin Mitra Media edisi 4, September 2017

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Peran Sastra Populer dalam Meningkatkan Literasi di Kalangan Remaja

Published

on

Penulis : Fatin Fashahah, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas

Sastra populer sering dipandang rendah, dianggap hanya untuk hiburan, dangkal, atau terlalu komersial. Sikap seperti ini muncul dari pendapat bahwa karya populer tak setara dengan karya-karya yang biasanya dipelajari di bangku perkuliahan. Padahal, bagi banyak remaja, sastra populer justru menjadi pintu pertama untuk mulai suka membaca. Mengabaikan atau mengecilkan peran sastra populer berarti menutup kesempatan bagi generasi muda untuk jatuh cinta pada dunia tulisan.

UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Fakta ini menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca rekreasi di banyak kelompok usia.

Namun, ketika pembaca terutama remaja diberi kebebasan memilih bacaan yang sesuai selera dan pengalaman mereka, minat membaca bisa saja meningkat. Dengan kata lain, relevansi isi buku terhadap kehidupan pembaca muda sangat menentukan apakah mereka akan terus membaca atau tidak. Sastra populer seperti buku young adult, novel roman remaja, dan cerita fantasi ringan sering kali menawarkan tema dan tokoh yang mudah dipahami remaja karena ceritanya seringkali dihubungkan dengan kehidupan remaja, sehingga mereka lebih tertarik untuk membaca.

Selain itu, sastra populer lebih mudah diakses lewat platform digital, cerita-cerita di aplikasi dan situs bacaan daring seperti Ipusnas, google play book, wattpad, karyakarsa dll. membuat remaja menemukan teks yang mereka suka kapan saja dengan mudah. Bentuk online juga mendorong interaksi pembaca bisa memberi komentar, berdiskusi, atau bahkan menulis kembali cerita mereka sendiri. Pengalaman berinteraksi seperti ini memberi dorongan kuat untuk terus membaca dan menulis. Beberapa karya yang awalnya populer di dunia maya kemudian diterbitkan secara cetak atau diadaptasi menjadi film dan serial menunjukkan bahwa bacaan populer punya peran penting dalam membangun ekosistem budaya yang lebih luas.

Penolakan terhadap sastra populer sering kali datang dari dua alasan utama. Pertama, alasan estetika, anggapan bahwa karya populer kurang bermutu secara sastra. Kedua, alasan moral atau konten bahwa beberapa cerita mengandung nilai yang dipertanyakan. Kritik seperti ini tidak salah jika tujuannya untuk memperbaiki kualitas karya. Namun, cara menanggapinya yang kurang tepat bisa membuat minat membaca remaja menjadi surut, seharusnya kita bukan melarang atau merendahkan bacaan tersebut. Akan lebih baik jika pembaca pemula diajarkan bagaimana cara membaca yang kritis. Dengan membimbing remaja membaca secara kritis, kita membantu mereka mengenali kekuatan dan kelemahan sebuah teks, sehingga pengalaman membaca menjadi lebih bermakna.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat membaca remaja diantaranya. Pertama, perpustakaan sekolah dan umum perlu menata koleksi yang seimbang baik karya klasik dan akademik berdampingan dengan bacaan populer. Pendekatan ini mengakui bahwa pembaca punya selera berbeda, dan memberi ruang bagi remaja yang sedang mencari gaya baca dan minat mereka. Kedua, guru dan pustakawan harus dilatih untuk memfasilitasi diskusi yang mengaitkan tema populer dengan konsep sastra dasar. Misalnya, dari sebuah novel populer, kita bisa mengajak pembaca membahas tokoh, alur, sudut pandang, atau pesan yang tersirat yanga terdapat di dalam novel tersebut. Langkah sederhana ini bisa mengubah bacaan ringan menjadi bahan belajar yang efektif.

Ketiga, adanya kegiatan klub baca dan lomba menulis berbasis minat yang bisa menghubungkan pembaca muda dengan mentor dan teman sebaya. Suasana komunitas yang saling mendukung membuat kegiatan membaca terasa lebih menyenangkan. Selain itu, adanya lomba menulis membuat remaja merasa diberi ruang kreatif untuk mengekspresikan dirinya. Keempat, harus ada kerja sama antara sekolah dengan platform digital. Hal ini penting untuk menyediakan akses yang aman dan terkurasi. Akses digital tanpa bimbingan bisa berisiko negatif dengan memperkenalkan konten yang kurang sesuai untuk pembaca dibawah umur. Oleh karena itu, peran pendidik dan orang tua tetap penting dalam menumbuhkan minat membaca terutama pembaca anak-anak dan remaja.

Secara budaya, sikap berhati-hati atau keraguan terhadap sastra populer sering kali membuat masyarakat melewatkan cerita-cerita yang sebenarnya dekat dengan kehidupan banyak orang, khususnya para remaja dari berbagai latar belakang. Karya populer dapat menjadi ruang untuk bereksperimen dengan bahasa, identitas, dan pengalaman sehari-hari. Ketika karya semacam ini dibahas di sekolah atau komunitas, karya tersebut berpotensi memperkaya imajinasi serta cara pandang masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Dengan demikian, sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari wacana budaya yang turut membentuk cara berpikir dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.

Kesimpulannya, alih-alih memandang sastra populer secara sebelah mata, akan lebih bermanfaat jika masyarakat mencoba melihat potensinya dalam meningkatkan minat baca dan memperkuat budaya literasi. Pendekatan yang inklusif dapat dimanfaatkan untuk menjadikan daya tarik sastra populer sebagai pintu masuk bagi pembaca pemula. Tentu saja, hal ini tetap perlu disertai dengan bimbingan dan adanya pengenalan terhadap keterampilan membaca kritis serta jenis bacaan yang lebih beragam. Dengan begitu, kebiasaan membaca tidak hanya meningkat, tetapi juga dapat mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa generasi muda.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending