web analytics
Connect with us

Opini

Fenomena Kehamilan Tidak Dikehendaki

Published

on

Ilustrasi KTD
Purwanti

Purwanti

Oleh Purwanti

HAMPIR semua orang sepakat, pernikahan adalah sebuah impian bagi setiap pasangan dengan tujuan untuk membina keluarga yang sakinah (penuh ketenangan), mawaddah (penuh cinta), wa-rahmah (penuh kasih sayang).

Secara teologis, menikah merupakan satu dari sekian banyak perintah agama. Tidak terlalu berlebihan apabila menikah adalah mekanisme-proses melahirkan keturunan yang lebih baik. Sementara secara sosiologis dan biologis manusia membutuhkan kelompok atau grup sebagai bentuk eksistensi, yaitu dimulai dari lingkungan terkecil yang lazim disebut keluarga.

Yang menjadi persoalan, pernikahan akibat dari Kehamilan Tidak Dikehendaki (KTD). Tentu saja hal ini menjadi persoalan serius di tengah masyarakat. Anak perempuan yang mengalami kehamilan biasanya akan ‘dipaksa’ menikah oleh keluarga terdekatnya. Dengan alasan yang kerapkali dibuat-buat sebagai alat untuk melegitimasi seperti dengan menaikkan status umur.

Secara global menurut Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) ada sekitar 16 juta remaja di dunia yang hamil di luar nikah setiap tahun. Sementara di Indonesia, menurut hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) 2012, kehamilan pada remaja usia 15-19 tahun mencapai 48 dari 1.000 kehamilan.

Tingginya angka kehamilan remaja merupakan penyumbang jumlah kematian ibu dan bayi di tanah air. Pada tahun 2013, jumlahnya meningkat drastis. Selama 2013, tercatat anak-anak usia 10-11 tahun yang mengalami kehamilan di luar nikah mencapai 600 ribu kasus. Remaja usia 15-19 tahun yang hamil di luar nikah mencapai 2, 2 juta.

Kita semua mafhum, jumlah remaja di Indonesia berdasarkan proyeksi penduduk 2014 mencapai 65 juta jiwa atau sekitar 25 persen dari total penduduk. Artinya ada sekian juta remaja yang terancam atau bahkan berisiko mengalami kehamilan tidak diinginkan.

Menurut saya, persoalan kehamilan remaja seperti fenomena gunung es di tengah lautan. Kehamilan di luar nikah bukanlah hal yang aneh-salah, bahkan secara kasat mata dapat kita saksikan betapa seringnya menjumpai persoalan itu. Memang benar belum ditemukan sebab pasti makin meluasnya kehamilan di luar nikah. Entah karena keadaan zaman yang makin liberal, demoralisasi, atau bahkan karena adanya pergeseran budaya yang menganggap jika hamil di luar nikah merupakan peristiwa ‘biasa’ saja. Atau boleh jadi karena sudah menjadi gaya hidup. Lalu pertanyaan yang muncul dalam benak kita adalah ketika jumlah kehamilan di luar nikah makin bertambah, siapakah yang bertanggung jawab?

Sementara ini, ada pendapat yang tengah berkembang di sebagian masyarakat yaitu zaman siki nek ra metengi disit ya ora gaul, mengko ora mbojo-mbojo (zaman sekarang kalau tidak hamil duluan tidak gaul, nanti sulit menikah).

Menurut saya, pendapat ini merupakan ungkapan ketidakberdayaan-keputusasaan yang tidak bisa kita benarkan. Bayangkan, bagaimana bila kehamilan tersebut karena kasus perkosaan atau perbuatan lain yang tidak bisa dibenarkan? Bukankah tidak adil rasanya menggeneralisir setiap kehamilan di luar nikah?

Saya khawatir merebaknya kehamilan remaja di luar nikah telah menjadi tanda-tanda ketidak-berkahan dalam masyarakat. Dengan kata lain telah mulai muncul benih-benih permisivisme. Tentu saja adanya pendapat yang menyatakan remaja memiliki karakter khas yaitu ingin mencoba sesuatu yang baru. Namun bukan berarti kita akan memaklumi apabila tindakan yang dilakukan oleh remaja tersebut jauh dari kata benar atau merugikan orang lain.

Dalam kacamata sosiologis ada beberapa faktor yang mendorong meningkatnya jumlah kehamilan di luar nikah di kalangan remaja. Pertama, pengetahuan kesehatan reproduksi yang tidak benar dan komprehensif. Kita tahu, remaja biasanya lebih terbuka, senang bertanya dengan teman sebayanya karena merasa lebih nyaman meskipun belum tentu informasi yang didapatkan benar.

Kedua, remaja belum dibiasakan untuk berperilaku asertif oleh orang tua. Kita semua mafhum sebagian besar orang tua masih menganggap tabu membicarakan seputar pubertas. Ketiga makin mudahnya akses teknologi informasi. Teknologi ibarat dua sisi mata uang yang apabila digunakan secara positif maka akan menambah pengetahuan. Sebaliknya, bila kita gunakan untuk mengakses informasi yang berbau pornografi, saya khawatir hal tersebut akan menstimulus melakukan tindakan-tindakan yang tidak bertanggungjawab. Keempat adalah pergaulan bebas (gonta-ganti pasangan) yang seolah tengah menjadi ‘tren’, tidak hanya di kalangan remaja namun juga dewasa.

Tidak ada jalan keluar lain untuk mengurangi atau setidaknya merespon supaya tidak main merebaknya kehamilan remaja di luar nikah, yaitu dengan terus-menerus meningkatkan pengetahuan yang cukup untuk ilmu kesehatan seksual dan reproduksi. Supaya kelak di masa yang akan datang, remaja semakin paham bagaiamana dan apa risiko kehamilan di luar nikah serta risiko pernikahan dini yang saat ini tengah menjadi ‘momok’ menakutkan terutama bagi orangtua, penggiat kemanusiaan,dan praktisi kesehatan. Saya meyakini apapun alasannya kehamilan di luar nikah pasti berdampak besar bagi perkembangan-pertumbuhan remaja. (*)

opini ini pernah dimuat di https://satelitnews.co/berita-fenomena-kehamilan-tidak-dikehendaki.html

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya

Published

on

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2

Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.

Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.

Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.

Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.

Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip. 

Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.

Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.

Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending