web analytics
Connect with us

Rilis

FGD Mantan Buruh Migran di Kulon Progo

Published

on

focus group discussion
"FGD Mantan Buruh Migran di Galur Kulon Progo"

FGD Mantan Buruh Migran di Kulon Progo

 FGD (Focus Group Discussion) atau diskusi terfokus yang dilakukan Mitra Wacana WRC dalam rangka penguatan perempuan akar rumput melawan perdagangan orang di desa Nomporejo kecamatan Galur kabupaten Kulon Progo pada 12 Desember. Diawali informasi dari Bapak Sekretaris Desa, Bapak Sariman bahwa sekarang banyak perdagangan anak dan perempuan dengan modus mencarikan pekerjaan.

Banyak hal yang terjadi dari cerita mantan TKI. Dari hal yang posisitf seperti bisa membeli sawah, menebus tanah, membangun rumah, menyekolahkan ank, mendapat jodoh hingga mendapat hadiah dari majikan. Namun lebih banyak hal negative yang mungkin terjadi, seperti dipalsukan identitasnya, tidak boleh ibadah, dicaci maki jika melakukan kesalahan, dilecehkan, disakiti, diambil phaspornya hingga dibunuh.

Menurut Dalhar (65) yang sudah pernah menjadi buruh migrant, pengalamannya di penampungan sangat tidak manusiawi. Jika ada perempuan yang dikatakannya agak menarik, mendapat perlakuan tidak senonoh oleh para penjaga penampungan. Untuk yang lelaki, hukuman bagi yang melanggar peraturan adalah membersihkan got dan membuang sampah. Makanan yang disajikan juga tidak layak dimakan.

Lain halnya Supriyati yang sudah pengalaman 2 kalisebagai PRT (pekerja rumah tangga) di Arab Saudi. Supriyati berangkat tahun 2005 dengan biaya 30 ribu melalui Depnaker saat itu. Sebelum berangkat Supriyati dibawa ke penampungan di Gondangdia Jakarta selama 1 bulan untuk mengikuti training. Kondisi penampungan tidak jauh beda yang disampaikan Pak Dalhar.

Cerita Supartinah lain lagi, dia berangkat ke Arab Saudi sebagai PRT melalui ‘calo’ mas Tugiran yang mengantarnya ke Jakarta engan kereta api. Setalah diterimakan pada bu Ida sebagai orang lanjutan Tugiran, Supartinah dibawa ke penampungan selama 1 bulan. Selama bekerja di Arab Saudi dengan upah sekitar 2,5 juta saat itu, dipotong oleh PJTKI selama 7 bulan untuk biaya pemberangkatan. Lagi-lagi hal ini tidak disampaikan di awal pemberangkatan, sehingga korban hanya menerima, karena tanpa pilihan.

Mantan tenaga buruh migrant yang lain, Supartiyah menceritakan keberangkatannya melalui sekolahnya saat itu, yaitu SMK dengan membayar uang pendaftaran sebanyak 2 juta. Supartiyah diberangkatkan melalui PJTKI Bantul kemudian dilimpahkan ke PJTKI Tempel dan selanjutnya ke PJTKI Ponorogo. Supartiyah merasa diombang ambingkan oleh PJTKI.. Dia diberangkatkan ke Malaysia menggunakan kapal laut melalui Tanjung Pinang. Sesampai di Malaysia, ada test fisik (dengan foto tanpa jilbab) yang dilakukan oleh ‘user’. Supartiyah termasuk tidak lulus.

Entah apa yang terjadi terhadap teman-temannya yang lulus tes fisik tersebut. Supartiyah beserta teman-teman yang tidak lulus, menunggu ‘user’ lain. Saat menunggu ( 6 bulan) Supartiyah tinggal di penampungan yang nota bene tidak layak huni karena ukuran 3×4 dihuni 30 orang. Di penampungan para calon buruh migrant juga diperkerjakan untuk mengurus rumah tangga yang menjaga penampungan, dari bersih-bersih, mencuci, menyetrika hingga memasak. Jika melanggar atau menolak perintah, maka dikenakan hukuman. Karena uang saku terbatas, Supartiyah dan kawan-kawan berinisiatif berjualan keperluan sehari-hari pada rekan sesame calon buruh migrant di penampungan. Ada juga perlakuan eksploitasi seksual oleh orang yang dipercaya menjaga penampungan. Ada korban yang harus melayani nafsu syahwatnya, meskipun dengan cara sembunyi-sembunyi.

Seorang lelaki yang sudah pengalaman kerja di Arab Saudi, Bowo menceritakan yang sebenarnya yang mendorong para buruh migrant adalah factor ekonomi. Suasana penampungan sangat tidak layak karena ruangan berukuran 6×9 meter persegi digunakan untuk menampung 500 orang. Menggunakan kamar mandi 4-5 sekaligus. Itu terjadi di PJTKI MB di Gondangdia Jakarta. Mengenai perlakuan di Malaysia dimana majikan menahan phaspor, itu berarti hak kewarganegaraannya dihilangkan, katanya.

Rindang sebagai fasilitator juga menambahkan bahwa buruh migrant sangat rentan kekerasan karena adanya kendala bahasa sehingga komunkasi sering salah tafsir. Kekerasan yang terjadi bisa dibentak, dicaci maki, dimarahi, tidak boleh keluar bahkan tidak dibayar. Pak Dukuh ikut menyarankan adanya informasi yang jelas bagi calon buruh migrant tentang PJTKI, agen-1gen penyalur TKI, hal-hal tentang trafficking dan memaksimalkan Disnsosnakertrans yang ada di daerah tingkat II untuk mengelola tenaga kerja Indonesia.

Dari diskusi yang dipandu oleh Diana dan Septi ini disepakati :

1. Perlu informasi untuk TKI yang melalui PJTKI legal
2. Pemerintah perlu tertibkan agen penyalur tenaga kerja
3. Perlu informasi lebih tentang perdagangan orang bagi aparat desa
4. Dinsosnakertrans tidak maksimal dalam perekrutan buruh migrant.
5. Suami jangan memberi ijin istri yang akan bekerja di luar.
6. Suami bertanggung jawab terhadap keluarga.

Selain itu, para anggota diskusi berkomitmen melakukan hal sebagai berikut :

1. Informasi lebih tentang UU Anti Perdagangan Manusia untuk disosialisasikan pada seluruh masyarakat, terutama di desa Nomporejo, galur Kulon Progo. Ibu ketua PKK membantu sosialisasikan pada ajajarannya.
2. Mensosialisasikan tentang perdagangan orang kepada yang lain, minimal pada anaknya.
3. Semua anggota keluarga saling menjaga pemenuhan kebutuhan baik di luar negeri maupun di tempat kita

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Publikasi

Sinau Sareng Mitra Wacana: Menakar Ulang Mitigasi Bencana yang Inklusif bagi Kelompok Rentan

Published

on

Jumat, 2 Mei 2025 Mitra Wacana berkolaborasi dengan peserta magang YKPI mengadakan diskusi bersama dalam Program Sinau Sareng. Kegiatan yang berlangsung dalam suasana akrab ini mengangkat tema penting dan sering luput dari pembahasan publik: Mitigasi Bencana terhadap Kelompok Rentan yang Inklusif. Diskusi ini menghadirkan narasumber Alfi Ramadhani, Koordinator Divisi Pendidikan dan Pengorganisasian Mitra Wacana, yang membagikan wawasan mendalam tentang pentingnya pendekatan inklusif dalam penanganan kebencanaan.

Diskusi dimulai dengan penjelasan mendasar mengenai klasifikasi bencana. Kak Alfi, sapaan akrab narasumber, menguraikan tiga jenis bencana utama. Pertama adalah bencana alam seperti banjir, tsunami, tanah longsor, gunung meletus, dan angin topan. Kedua, bencana antropogenik yang bersumber dari ulah manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti kecelakaan industri dan konflik peperangan. Ketiga, bencana kompleks, yang merupakan kombinasi dari faktor alam dan manusia, seperti kelaparan, ketimpangan sosial, dan konflik politik.

Menariknya, data menunjukkan bahwa di Indonesia, bencana paling banyak disebabkan oleh faktor hidrometeorologi seperti banjir dan cuaca ekstrem—menyumbang sekitar 90% dari total kejadian. Sementara itu, bencana geologi dan antropogenik masing-masing hanya menyumbang sekitar 7% dan 3%. Perbandingan dengan kondisi di belahan dunia lain, seperti di Palestina, menunjukkan kompleksitas yang lebih tinggi. Di sana, faktor antropogenik seperti konflik bersenjata, krisis politik, dan kemanusiaan memperparah dampak bencana. Bahkan perubahan iklim ekstrem turut menyumbang pada kelangkaan air bersih, yang berdampak luas pada kesehatan, ketahanan pangan, dan kondisi psikologis masyarakat Gaza.

Dari paparan tersebut, semakin jelas bahwa bencana tidak hanya soal alam yang murka. Cara manusia dan sistem sosial menanggapi bencana juga menentukan siapa yang selamat, siapa yang tertinggal. Dalam konteks ini, penanganan bencana yang inklusif menjadi keharusan moral sekaligus strategis.

Sayangnya, dalam praktiknya, kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, penyandang disabilitas, perempuan, masyarakat miskin, kelompok minoritas, dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) masih sering diabaikan. Mereka kesulitan dalam mengakses bantuan, proses evakuasi, maupun pemulihan pasca-bencana. Kebutuhan spesifik mereka seringkali tak terlihat dalam sistem yang seragam dan tidak responsif terhadap keragaman.

Lebih jauh, orang-orang dengan identitas gender non-normatif kerap mengalami diskriminasi ganda. Selain terdampak bencana, mereka juga menghadapi stigma sosial, keraguan dari pihak berwenang, bahkan penolakan untuk mengakses hak dasar. Infrastruktur yang tidak ramah disabilitas, informasi yang tidak aksesibel, serta layanan yang bias gender menunjukkan bahwa sistem kita masih jauh dari inklusif.

Permasalahan lain yang tak kalah serius adalah minimnya pelibatan kelompok rentan dalam perencanaan mitigasi bencana. Padahal, mereka memiliki pengalaman hidup dan perspektif yang berharga untuk merancang sistem penanggulangan yang lebih adil dan efektif. Ketimpangan dalam distribusi logistik dan layanan hanya akan terus terjadi jika kelompok yang paling terdampak justru tidak dilibatkan sejak awal.

Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah perlu mengambil langkah yang lebih berani dan berpihak. Tidak cukup hanya dengan memberi bantuan, pemerintah harus memastikan akses yang setara bagi semua, termasuk kelompok rentan. Pelibatan aktif mereka dalam proses perencanaan hingga evaluasi kebijakan kebencanaan sangat penting untuk menciptakan sistem yang benar-benar adil. Pemerintah juga harus memastikan bahwa program penanggulangan bencana tidak hanya menjangkau, tetapi juga memberikan manfaat nyata yang setara bagi semua golongan.

Diskusi ini menjadi pengingat bahwa mitigasi bencana bukan hanya soal teknis dan logistik, melainkan juga tentang keadilan sosial. Saat kita bicara tentang inklusi, kita sedang bicara tentang siapa yang dianggap penting dalam sistem, dan siapa yang selama ini dikesampingkan. Maka, mari kita dorong semua pihak untuk menjadikan inklusivitas sebagai fondasi dalam setiap langkah penanggulangan bencana—bukan sebagai tambahan, melainkan sebagai prinsip utama.

Penulis : Thoha Ulul A.

Continue Reading

Trending