Opini
“GAYA HIDUP ZERO WASTE STYLE : FENOMENA TUMBLER DI ERA GENERASI Z”
Published
12 months agoon
By
Mitra Wacana

Hikmah Mahasiswa Prodi Sosiologi Universitas Airlangga
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, generasi Z kini muncul dengan semangat baru. Salah satu simbol dari gerakan ini adalah penggunaan tumbler, yang tidak hanya berfungsi sebagai wadah minuman, tetapi juga sebagai lambang dari kesadaran lingkungan yang tinggi. Di antara model-model wadah praktis yang mereka pilih, tumbler berdiri sebagai ikon utama. Setiap kali mereka mengisi tumbler dengan minuman, mereka bukan hanya menjaga diri tetap terhidrasi, tetapi juga mengirimkan pesan kuat; perubahan dimulai dari hal kecil.
Lebih dari wadah praktis, tumbler kini menjadi cerminan kreativitas dan nilai yang dijunjung tinggi oleh generasi ini. Mulai dari desain yang unik hingga ornamen personalisasi, tumbler juga mencerminkan kepribadian individu. Dalam perjalanan ini, generasi Z menunjukkan bahwa dengan tindakan kecil, mereka bisa menciptakan gelombang perubahan yang besar, menginspirasi orang lain untuk bergabung dalam misi menyelamatkan bumi tercinta kita.
Dalam beberapa tahun terakhir, generasi Z menunjukkan komitmen yang kuat terhadap keberlanjutan, dan salah satu alat utama dalam perjuangan ini adalah tumbler. Menurut data dari World Economic Forum, lebih dari 1 juta botol plastik digunakan setiap menit di seluruh dunia, menciptakan krisis limbah yang mendesak. Sebuah survei menunjukkan bahwa sekitar 70% anak muda merasa lebih baik saat menggunakan produk ramah lingkungan, termasuk tumbler, karena mereka merasa menjadi bagian dari solusi.
Pada kehidupan manusia di lingkungan memang tidak terlepas dengan penggunaan plastik dan sampah. Setiap hari bahkan setiap tahun tingkat pengeluaran sampah semakin bertambah seiring dengan pola kebutuhan pada manusia itu sendiri, yang dampak buruknya tidak hanya pada manusia saja, tetapi juga pada lingkungan. Sampah merupakan barang atau bahan yang sudah tidak lagi dibutuhkan atau digunakan oleh manusia. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan 30,97 juta ton timbulan sampah pada tahun 2023 (Adi Ahdiat:2024). Berkaitan dalam hal tersebut mengenai penangan sampah di Indonesia pada saat ini memiliki urgensi yang tinggi, dikarenakan masih banyaknya masyarakat Indonesia yang masih menganggap sampah tidak akan berarti terhadap kehidupannya yang pada kenyataannya permasalahan sampah dapat mengakibatkan bencana alam yang akan mengakibatkan efek buruk terhadap proses kehidupan manusia itu sendiri.
Generasi Z terbiasa menggunakan teknologi dan sosial media dalam kesehariannya karena sudah memiliki akses yang lebih baik sehingga mereka juga dikenal sebagai generasi yang peduli dengan isu-isu lingkungan, sosial, serta memiliki pandangan yang lebih terbuka dan global. Sejalan dengan hal tersebut bahwa generasi Z lebih memilih produk ramah lingkungan agar lingkungan sekitar mereka terhindar dari kerusakan dan lebih aman. Mahasiswa merupakan salah satu yang termasuk ke dalam generasi Z.
Penggunaan tumbler di kalangan mahasiswa generasi Z mencerminkan kesadaran lingkungan yang tinggi dan komitmen terhadap keberlanjutan didukung pula oleh pihak universitas menjadi bukti upaya mengurangi limbah plastik dengan menghindari penggunaan botol sekali pakai yang mengakibatkan pencemaran. Selain itu, meski terdapat biaya awal untuk membeli tumbler tetapi digunakan dalam jangka panjang, seharusnya mahasiswa dapat menghemat uang melalui diskon atau keringanan uang yang ditawarkan oleh toko untuk pelanggan yang membawa wadah sendiri seperti yang kita lihat secara nyata ketika kita berbelanja di beberapa minimarket disarankan untuk membawa tas belanja sendiri.
Di samping itu tumbler mendorong pola hidup sehat dengan memungkinkan mahasiswa untuk mengisi ulang minuman yang sehat, seperti air putih atau jus, alih-alih minuman manis yang sering dijual dalam kemasan plastik. Tumbler pula menjadi sarana ekspresi diri, dimana memungkinkan mahasiswa dapat memilih desain yang mencerminkan kepribadian mereka, menjadikannya lebih dari sekadar alat minum. Penggunaan tumbler menjadi inspirasi bagi orang lain di sekitar mereka untuk ikut serta dalam gaya hidup berkelanjutan. Ketika satu orang membawa tumbler, memungkinkan memicu teman-temannya untuk melakukan hal yang sama, menciptakan gelombang positif.
Fenomena tumbler di kalangan generasi Z bukanlah sekedar pilihan gaya hidup melainkan panggilan untuk gerakan yang mendesak dan penuh makna untuk kesejahteraan masyarakat dan lingkungan. Dengan setiap gelas yang terisi, kita bukan hanya mengurangi limbah plastik, tetapi juga berinvestasi dalam masa depan yang lebih sehat. Mari kita ambil langkah kecil namun signifikan dengan bergabung dalam gerakan zero waste yang sedang berkembang. Dengan membawa tumbler, kita menunjukkan bahwa kita peduli dan berkomitmen untuk menjadi agen perubahan. Mari bersama sama menjadi bagian dari gerakan ini, setiap tetes yang kita hemat adalah langkah menuju dunia yang lebih baik. Bergabunglah sekarang, dan jadilah inspirasi bagi orang lain untuk ikut serta dalam perjalanan menuju kehidupan keberlanjutan.
Opini
Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya
Published
1 week agoon
8 December 2025By
Mitra Wacana

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2
Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.
Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.
Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.
Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.
Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip.
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.
Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.
Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Mitra Wacana Hadiri Rapat Koordinasi Organisasi Kemasyarakatan Kabupaten Bantul

Mitra Wacana Ikuti Orasi Budaya Hari HAM FISB UII








