web analytics
Connect with us

Opini

Jihad Melawan Kekerasan Seksual

Published

on

stop violence-geralt
Wahyu Tanoto

Wahyu Tanoto

Oleh Wahyu Tanoto

Masih segar dalam ingatan kita peristiwa kekerasan seksual di Jakarta International School (JIS), negeri ini kembali dibuat gempar dengan peristiwa serupa. Namun, kali ini peristiwa tersebut terjadi di daerah; tepatnya di kabupaten Banyumas dengan terduga pelaku adalah penjual cilok keliling bernama Dedi Santoso (25) dengan korban yang mencapai 28 anak, dengan rentang usia antara 10 hingga 14 tahun, seperti dilansir harianterbit.com (6/6).

Peristiwa ini semakin mendesakkan kepada kita; orangtua, praktisi pendidikan, praktisi kesehatan, praktisi hukum, aktivis LSM, instansi pemerintah serta masyarakat umum, betapa pentingnya pendidikan kewaspadaan sejak dini untuk selalu mengingatkan kepada kita selalu mawas dan mengindahkan kejadian sekecil apapun di lingkungan sekitar.

Pengalaman telah memberikan pelajarn berharga, bahwa pada beberapa peristiwa kekerasan seksual, biasanya korban cenderung sulit bahkan sama sekali tidak dapat melapor; tidak bersedia melapor, tidak mengerti proses pelaporan, takut, malu, diancam, diintimidasi, di stigma atau bahkan upaya mencari informasi tentang akses terhadap proses-proses peradilan hukum yang belum dipahami secara lengkap, dapat menyebabkan semakin bertambahnya tantangan dalam upaya penyelesaian berbagai persoalan kekerasan, terutama berkaitan dengan kekerasan seksual terhadap anak.

Masih lemahnya keamanan, penjagaan bagi anak-anak yang berada di ruang publik, minimnya akses peradilan hukum yang terjangkau bagi korban untuk menuntut, serta kondisi sosial-ekonomi-budaya masyarakat menjadi tantangan-tantangan besar bagi anak-anak yang seolah terus mengiringinya. Lebih miris lagi masih adanya stigma yang kerap menjadi julukan baru bagi korban kekerasan seksual, mau tidak mau semakin menjadi beban psikis yang mesti ditanggung selama hidup.

Perlakuan yang mensudutkan, mencaci/mengejek, merendahkan, menggunjing bahkan mensalahkan korban tidak jarang dapat kita saksikan dengan jelas serta tergambar melalui pemberitaan di pelbagai media. Korban kekerasan seksual terhadap anak dalam konteks ini, mau tidak mau harus melalui proses yang begitu rumit, melelahkan ditambah lagi sistem penanganan yang masih belum ramah, terlebih pengetahuan mengenai issu seksualitas relatif belum lengkap dan benar serta tepat, dianggap tabu, atau bahkan tertutup sama sekali untuk di perbincangkan karena masih dianggap “aib” yang harus ditutupi meskipun di tengah masyarakat yang “mengaku” sudah demokratis.

Persoalan tersebut, semakin mengemuka dan kompleks manakala informasi mengenai kesehatan seksual dan Reproduksi (KSR) bagi anak, remaja/pelajar sekolah menengah yang belum berkelanjutan sehingga masyarakat dan anak muda pada umumnya harus mencari sendiri informasi tentang kesehatan seksual dan reproduksi Reproduksi (KSR) melalui teman sebaya, melalui media online/internet yang relative mudah di capai dengan catatan tingkat keakuratannya perlu diperhatikan dan informasi yang tersedia belum komprehensif.

Oleh karenanya, minimal dibutuhkan dua hal untuk mensikapi peristiwa kekerasan sekual terhadap anak yang terus terulang. Pertama dalam level konseptual, Negara melalui pemerintah dan jajarannya perlu mensediakan lebih banyak lagi infrastruktur pendukung untuk melakukan pencegahan, penanganan serta pemulihan survivor (korban) kekerasan seksual yang lebih sesuai dengan standar perlindungan bagi korban.

Dalam konteks ini keberadaan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2ATP2A) di setiap daerah perlu di optimalkan kembali. Jika diperlukan, keberadaan P2TP2A ini ada di setiap desa bahkan RT, dengan beranggotakan masyarakat setempat yang diperkuat dukungan anggaran dari pemerintah desa atau sekurang-kurangnya setiap P2TP2A di daerah memiliki rencana strategis atau road map (peta jalan) dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang memiliki kewenangan khusus melakukan perlindungan. Lebih lanjut, program nasional mengenai kota layak anak perlu dipercepat untuk pembangunan infrastruktur pendukungnya; baik aturan ataupun aparatnya.

Sedangkan di level nasional melalui Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan, sudah seharusnya memastikan aturan dan pelaksanaan pendidikan gender, HAM, hak kesehatan seksual dan reproduksi (kespro) bagi guru maupun siswa muali dari tingkat dasar hingga Perguruan Tinggi, demi menciptakan generasi yang sadar dan adil gender serta memahami persoalan kesehatan seksual dan reproduksi sebagai cikal bakal pembangunan manusia yang anti kekerasan dan lebih luas lagi sesungguhnya sebagai upaya untuk mengeliminasi angka kekerasan seksual yang cenderung meningkat.

Kedua, dalam level operasional perlu melakukan kerjasama dengan masyarakat sipil dan organisasi/lembaga pendampingan korban, dengan aparat hukum dan kepolisian bagi perlindungan dan keamanan yang lengkap bagi anak-anak yang berada di ruang publik. Selanjutnya perlu memperbesar dan memperkuat dukungan terhadap lembaga-lembaga yang selama ini telah melakukan kerja pendampingan dan pengorganisasian di tingkat masyarakat (komunitas), baik dengan cara memperkuat kerjasama pelaksanaan agenda program, maupun dukungan financial mengingat begitu kompleksitas dan kecenderungan terulangnya peristiwa kekerasan seksual.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

RUU PPRT dan Eksploitasi Pekerja Rumah Tangga (Analisis Feminis)

Published

on

Fadhel Fikri Co-Founder di Sophia Insitute dan pegian filsafat dan Sains. Dan pembisnis di Sabda Literasi Palu

Fadhel Fikri Co-Founder di Sophia Insitute dan pegian filsafat dan Sains. Dan pembisnis di Sabda Literasi Palu

Di balik gemerlapnya kehidupan perkotaan dan kemewahan yang dipamerkan oleh sebagian besar keluarga Indonesia, ada satu sektor yang sering terabaikan dan dibiarkan terjerat dalam eksploitasi pekerja rumah tangga (PRT). Bukan hanya pekerjaan yang tidak dihargai, tetapi juga kelompok pekerja ini sering diperlakukan tanpa keadilan. 

Mereka adalah perempuan-perempuan yang menjadi korban dari sistem patriarki dan ketidakpedulian negara, berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan kondisi yang lebih mirip perbudakan modern daripada pekerjaan yang dihargai. Bayangkan, selama lebih dari dua dekade, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang seharusnya memberikan perlindungan bagi mereka, masih diperdebatkan dan tertunda pengesahannya. 

Mengapa? Apakah kita, sebagai masyarakat, begitu terbuai dengan kenyamanan dan kemewahan yang didapat dari eksploitasi kerja mereka hingga tak mampu melihat kesengsaraan di baliknya? 

Saya di sini aakan mencoba membongkar realita pahit di balik pekerjaan rumah tangga berdasarkan data-data yang ada, mengungkap bagaimana ideologi feminis menawarkan jalan keluar, dan mengapa pengesahan RUU PPRT adalah langkah mendesak untuk menciptakan keadilan sosial yang sesungguhnya.

Perspektif feminis sangat relevan dalam memahami isu ini, mengingat mayoritas PRT adalah perempuan. Pekerjaan domestik, yang secara tradisional dianggap sebagai “kerja perempuan,” sering kali tidak dihargai dan dilindungi. 

Eksploitasi PRT dan Perspektif Feminisme

Dalam masyarakat patriarkal, pekerjaan rumah tangga sering kali dipandang sebagai tugas alami perempuan. Hal ini menciptakan stigma bahwa pekerjaan domestik, termasuk yang dilakukan oleh PRT, tidak memiliki nilai ekonomi yang signifikan. 

Perspektif feminis menekankan bahwa pekerjaan domestik adalah elemen penting dalam mendukung aktivitas ekonomi keluarga, terutama bagi kelas menengah dan atas.

Bell hooks, dalam bukunya Feminism is for Everybody, menekankan bahwa feminisme harus mencakup perjuangan untuk keadilan bagi perempuan pekerja dari kelas bawah. Ia mengkritik bagaimana kapitalisme dan patriarki berkontribusi pada marginalisasi pekerjaan domestik, yang mayoritas dilakukan oleh perempuan dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu.

Hooks menegaskan bahwa pekerjaan domestik tidak boleh diremehkan atau dieksploitasi​.

Sebagian besar PRT di Indonesia berasal dari pedesaan dan memiliki tingkat pendidikan rendah. Ketimpangan kelas ini memperburuk kerentanan mereka terhadap eksploitasi. 

Banyak PRT yang bekerja lebih dari 12 jam sehari tanpa jaminan sosial atau perlindungan hukum. Ketiadaan regulasi memperparah ketimpangan ini, membuat mereka mudah dieksploitasi oleh pemberi kerja yang tidak bertanggung jawab.

Gambaran Eksploitasi PRT

Salah satu kasus paling menonjol yang menggambarkan pentingnya perlindungan hukum bagi PRT adalah kasus Erwiana Sulistyaningsih. Erwiana adalah PRT asal Indonesia yang bekerja di Hong Kong. 

Selama bekerja, ia mengalami kekerasan fisik dan mental yang parah dari majikannya. Erwiana dipaksa bekerja tanpa istirahat, menerima upah yang sangat minim, dan tidak diberikan akses layanan kesehatan saat ia sakit.

Kasus Erwiana menarik perhatian internasional dan menjadi simbol perjuangan hak PRT. Meskipun terjadi di luar negeri, kasus ini mencerminkan kondisi yang serupa dialami oleh banyak PRT di Indonesia. Tanpa regulasi seperti RUU PPRT, pelanggaran hak terhadap PRT cenderung terus terjadi tanpa ada sanksi tegas bagi pelaku​.

RUU PPRT: Solusi untuk Perlindungan PRT

RUU PPRT muncul sebagai jawaban atas kebutuhan mendesak untuk melindungi pekerja rumah tangga yang selama ini sering kali terabaikan dan dieksploitasi. Rancangan Undang-Undang ini dirancang untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih komprehensif, dengan berbagai poin penting yang dapat mengubah nasib para pekerja rumah tangga.

Salah satunya adalah pengaturan mengenai hak atas kontrak kerja formal, yang selama ini menjadi hal yang langka bagi sebagian besar PRT. Tanpa kontrak yang jelas, mereka sering kali dirugikan dalam hal upah, jam kerja, dan hak-hak lainnya.

Selain itu, RUU PPRT juga menetapkan jam kerja yang wajar, sebuah langkah krusial untuk memastikan bahwa PRT tidak dipaksa bekerja tanpa henti, tanpa waktu istirahat yang cukup.

Tidak hanya itu, RUU ini juga menjamin bahwa para pekerja rumah tangga akan mendapatkan upah minimum yang sesuai dengan standar yang berlaku, memberikan mereka hak yang sama untuk mendapatkan penghasilan yang layak.

Pentingnya jaminan sosial dan kesehatan juga diatur dalam RUU ini, memastikan bahwa PRT tidak hanya diakui sebagai pekerja, tetapi juga diberikan perlindungan atas kesehatan mereka yang sering kali terabaikan.

Untuk mendukung hal tersebut, mekanisme pengaduan yang jelas juga disediakan bagi PRT yang menghadapi pelanggaran hak, membuka pintu untuk keadilan yang lebih cepat dan aksesibilitas bagi mereka yang membutuhkan perlindungan.

Namun, lebih dari sekadar perlindungan hukum, RUU PPRT juga bertujuan untuk menghapus stigma terhadap pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan ini, yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan “tidak penting” dan hanya layak dilakukan oleh perempuan dari lapisan masyarakat bawah, kini akan diakui sebagai sektor formal yang memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian negara.

Dengan demikian, RUU PPRT tidak hanya melindungi hak-hak PRT, tetapi juga mengangkat martabat mereka sebagai pekerja yang berharga dalam struktur sosial dan ekonomi.

Namun, pengesahan RUU PPRT menghadapi berbagai tantangan, mulai dari resistensi politik hingga kurangnya kesadaran publik akan pentingnya regulasi ini. Beberapa pihak berargumen bahwa regulasi ini akan memberatkan pemberi kerja. 

Namun, perspektif feminis menekankan bahwa perlindungan hak PRT bukan hanya tentang kepentingan individu, tetapi juga tentang keadilan sosial dan pengakuan atas kontribusi ekonomi mereka​.

Mengapa Perspektif Feminisme Penting dalam Perjuangan RUU PPRT?

Feminisme menekankan bahwa pekerjaan domestik harus diakui sebagai pekerjaan formal yang memiliki nilai ekonomi dan sosial. Pengesahan RUU PPRT akan menjadi langkah penting dalam menghapus stigma bahwa pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan “tidak penting.” 

Hal tersebut juga akan memberikan pengakuan yang layak bagi perempuan yang selama ini terjebak dalam lingkaran eksploitasi karena pekerjaan mereka tidak dihargai secara formal.

Selain itu, eksploitasi terhadap PRT adalah bagian dari masalah yang lebih besar dalam budaya patriarki yang menganggap pekerjaan perempuan sebagai sesuatu yang dapat dieksploitasi tanpa konsekuensi. 

Pengesahan RUU PPRT tidak hanya akan memberikan perlindungan hukum, tetapi juga membantu mengubah cara pandang masyarakat terhadap pekerjaan domestik, sehingga menciptakan lingkungan yang lebih setara dan adil​.

Dengan demikian, pekerja rumah tangga adalah kelompok yang sangat rentan terhadap eksploitasi dan pelanggaran hak di Indonesia. Perspektif feminis, seperti yang diusung oleh bell hooks, menyoroti pentingnya melawan ketidakadilan ini dengan mengakui pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan formal yang layak dihargai dan dilindungi.

Kasus Erwiana Sulistyaningsih menunjukkan bagaimana kekerasan dan eksploitasi dapat terjadi dalam ketiadaan perlindungan hukum.

Pengesahan RUU PPRT adalah langkah penting untuk memastikan keadilan sosial dan kesetaraan gender. RUU ini akan memberikan perlindungan hukum bagi PRT, meningkatkan kondisi kerja mereka, dan menghapus stigma negatif terhadap pekerjaan domestik.

Dengan demikian, perjuangan untuk pengesahan RUU ini harus menjadi prioritas dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.

Referensi

  1. hooks, bell. Feminism is for Everybody: Passionate Politics. South End Press, 2000.
  2. Komnas Perempuan. Satu Suara Wujudkan Cita-Cita untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, 2024. https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-peringatan-26-tahun-komnas-perempuan

JALA PRT. Statistik Pelanggaran Hak PRT di Indonesia, 2023.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending