Rilis
Mempromosikan Pedoman Perlindungan Anak

Published
8 years agoon
By
Mitra Wacana
Oleh Rindang Farihah (Direktur Mitra Wacana WRC)
Mitra Wacana Women Resource Center (WRC) adalahLembaga Swadaya Masyarakat yang terdiri dari para individu yang memiliki visi sama terkait dengan terwujudnya masyarakat yang adil gender, pluralis, demokratis. Dalam kerja-kerja pemberdayaan informasi di masyarakat, Mitra Wacana WRC menemukan beberapa bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ada di masyarakat. Mulai dari pelecehan (verbal dan non verbal) hingga perkosaan. Mitra Wacana WRC memiliki komitmen terhadap perlindungan anak dari berbagai macam bentuk kekerasan yang dituangkan dalam bentuk pedoman perilaku perlindungan anak (Code of conduct Children Protection Policy) yang berlaku bagi seluruh penggiat Mitra Wacana WRC.
Panduan perilaku (code of conduct) berisi tentang tatacara dalam bergaul, berbaur dan memperlakukan anak. Dalam hal ini, posisi anak sebagai penerima manfaat program Mitra Wacana WRC atau anak–anak lain yang dijumpai dalam pergaulan sehari-hari. Ruang lingkup panduan perilaku sebagai berikut:
1) Memperlakukan anak secara setara tanpa memandang segala bentuk perbedaan, baik suku, budaya, agama/keyakinan, warna kulit, bahasa, disabilitas.
2) Memastikan bahwa setiap kegiatan yang melibatkan anak didampingi oleh orang dewasa dengan perbandingan berimbang.
3) Mendampingi pihak luar yang berkunjung ke komunitas, khususnya kelompok anak. Kunjungan ini harus diketahui dan disetujui oleh anak dan orangtua/wali.
4) Memastikan para penerima manfaat program dan pengunjung bisa mengakses ruang bermain untuk anak ketika melakukan kegiatan di kantor Mitra Wacana WRC.
5) Tidak boleh berada dalam ruangan sendirian bersama anak tanpa pendampingan dari orangtua atau orang dewasa lainnya. Untuk kegiatan seperti konseling, maka staff harus memastikan bahwa orangtua/wali dan atau staff lain mengetahui keberadaan anda dan bisa melihat kegiatan yang dilakukan di dalam ruangan tersebut.
6) Tidak boleh memberikan data pribadi anak kepada orang lain tanpa seizin orangtua/wali dan atau direktur Mitra Wacana WRC.
7) Tidak boleh memberikan hadiah kecuali untuk tujuan meningkatkan prestasi anak. Terkait memberikan hadiah kepada anak harus diketahui oleh manajer program dan atau direktur Mitra Wacana WRC.
8) Tidakboleh memanggil atau memberikan julukan yang mempengaruhi anak secara psikologis.
9) Tidak boleh meminta dan atau memberikan identitas pribadi seperti nomor ponsel dan akun sosial media kepada anak.
10) Tidak bolehmerokok ketika berkegiatan bersama anak, termasuk mengajarkan dan atau menawarkan kepada anak.
11) Tidak boleh membawa dan memakai benda mewah ketika berkegiatan bersama anak dan masyarakat.
12) Tidak boleh mempekerjakan anak atau meminta anak melakukan sesuatu diluar kemampuan fisik anak.
13) Tidak boleh memberikan hukuman kepada anak baik secara fisik juga psikis.
14) Tidak boleh menginformasikan data pribadi termasuk lokasi tempat tinggal anak dan keluarganya ketika mempublikasikan foto dan atau video.
15) Tidak boleh melibatkan anak dalam melakukan aksi di jalanan seperti demonstrasi.
CPP juga membatasi aktifitas dalam hal penggunaan media, antara lain;
1) Foto dan atau video yang diambil tidak boleh memperlihatkan anak sebagai korban atau berada dalam kondisi rentan termasuk mengeksploitasi kondisi-kondisi tertentu lainnya seperti kondisi kesehatan dan disabilitas. Ambillah gambar anak-anak yang menunjukkan aspek positif.
2) Memastikan bahwa foto/gambar yang diambil tidak dapat diinterpretasi sebagai gambar seksual atau sebagai pengampuan terhadap situasi kekerasan lainnya oleh pihak lain.
3) Anggota, Staff dan atau relawan harus meminta izin kepada anak dan orangtua/walinya sebelum mengambil foto atau video serta menjelaskan tujuan dan proses pengambilang gambar tersebut.
4) Tidak menginformasikan data pribadi termasuk lokasi tempat tinggal anak dan keluarganya ketika mempublikasikan foto dan atau video
Demi mendukung kebijakan perlindungan anak (children protection policy) Mitra Wacana melaksanakan edukasi/pendidikan kepada staff dan relawan, sebagai berikut:
1) Setiap anggota, staff dan atau relawan baru akan menerima orientasi tentang kebijakan perlindungan anak Mitra Wacana WRC
2) Staff dan atau relawan yang berinteraksi dengan anak akan mendapatkan pelatihan tentang perlindungan anak, termasuk Hak Anak, Permasalahan-permasalahan yang dihadapi anak, dan kebijakan negara tentang perlindungan anak ( UU PKDRT, UU Anti Traffiking dan UU Perlindungan Anak)
3) Divisi Media dan Perpustakaan Mitra Wacana WRC menyediakan informasi terkait isu-isu kebijakan dan Perlindungan Anak yang bisa diakses oleh anggota, staff, relawan dan masyarakat dampingan
4) Mitra Wacana WRC mengadakan diskusi-diskusi kelompok secara reguler, dan talkshow di radio untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan pemangku kepentingan dalam perlindungan anak
Jika terjadi kasus, Mitra Wacana memiliki tata cara penyelesainnya yang kami tuangkan di dalam kebijakan perlindungan anak, yaitu:
A. Jika pelaku adalah Anggota, Staff dan atau Relawan Mitra Wacana WRC
a) Segala bentuk pelanggaran, insiden maupun kekhawatiran yang dilakukan oleh anggota, staff dan atau relawan harus dilaporkan kepada Dewan Etik Mitra Wacana WRC.
b) Dewan Etik akan membentuk tim ad hoc untuk melakukan investigasi terkait laporan yang disampaikan
c) Hasil investigasi tim ad hoc akan digunakan oleh direktur untuk mengambil keputusan dan konsekuensi bagi pelaku. Untuk kasus yang berkonflik dengan hukum, maka direktur akan melaporkan insiden dan atau pelanggaran tersebut kepada pihak yang berwajib untuk ditindaklanjuti.
B. Jika Pelaku adalah Anggota Masyarakat
a) Laporan akan disampaikan kepada Dewan Etik. Dewan Etik akan membentuk tim ad hoc(sementara) untuk mendampingi dan melakukan investigasi insiden tersebut.
b) Tim ad hoc akan merujuk korban dan pelaku ke pihak lain untuk mendapatkan layanan medis, hukum dan konseling.
c) Jika dibutuhkan, Mitra Wacana WRC akan menyediakan satu orang yang menemani untuk korban selama proses hukum dan atau konseling
Di dalam Pedoman Perilaku Perlindungan Anak Mitra Wacana WRC, tidak hanya berisi aturan dan pedoman berperilaku terhadap anak, namun juga mengatur tentang tata cara secara kelembagaan dalam proses merekrut staff, pelaksana program dan mekanisme pengaduan atau pelaporan jika ada tanda-tanda terjadi kekerasan terhadap anak.
Bagi Mitra Wacana WRC, pedoman perilaku perlindungan anak ini sebagai upaya melindungi anak dari segala bentuk perilaku yang berpotensi membahayakan; secara fisik, psikis, ekonomi, seksual dan sosial. Selain itu pedoman perilaku anak ingin memastikan bahwa anak-anak memperoleh hak rasa aman.

legal status of proviron in countries
Foto: WahyuTntra ” width=”1024″ height=”685″> Pemutaran film karya remaja di Banjarnega. Foto: WahyuTntPublikasi
Sinau Sareng Mitra Wacana: Menakar Ulang Mitigasi Bencana yang Inklusif bagi Kelompok Rentan

Published
6 days agoon
15 May 2025By
Mitra Wacana
Jumat, 2 Mei 2025 Mitra Wacana berkolaborasi dengan peserta magang YKPI mengadakan diskusi bersama dalam Program Sinau Sareng. Kegiatan yang berlangsung dalam suasana akrab ini mengangkat tema penting dan sering luput dari pembahasan publik: Mitigasi Bencana terhadap Kelompok Rentan yang Inklusif. Diskusi ini menghadirkan narasumber Alfi Ramadhani, Koordinator Divisi Pendidikan dan Pengorganisasian Mitra Wacana, yang membagikan wawasan mendalam tentang pentingnya pendekatan inklusif dalam penanganan kebencanaan.
Diskusi dimulai dengan penjelasan mendasar mengenai klasifikasi bencana. Kak Alfi, sapaan akrab narasumber, menguraikan tiga jenis bencana utama. Pertama adalah bencana alam seperti banjir, tsunami, tanah longsor, gunung meletus, dan angin topan. Kedua, bencana antropogenik yang bersumber dari ulah manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti kecelakaan industri dan konflik peperangan. Ketiga, bencana kompleks, yang merupakan kombinasi dari faktor alam dan manusia, seperti kelaparan, ketimpangan sosial, dan konflik politik.
Menariknya, data menunjukkan bahwa di Indonesia, bencana paling banyak disebabkan oleh faktor hidrometeorologi seperti banjir dan cuaca ekstrem—menyumbang sekitar 90% dari total kejadian. Sementara itu, bencana geologi dan antropogenik masing-masing hanya menyumbang sekitar 7% dan 3%. Perbandingan dengan kondisi di belahan dunia lain, seperti di Palestina, menunjukkan kompleksitas yang lebih tinggi. Di sana, faktor antropogenik seperti konflik bersenjata, krisis politik, dan kemanusiaan memperparah dampak bencana. Bahkan perubahan iklim ekstrem turut menyumbang pada kelangkaan air bersih, yang berdampak luas pada kesehatan, ketahanan pangan, dan kondisi psikologis masyarakat Gaza.
Dari paparan tersebut, semakin jelas bahwa bencana tidak hanya soal alam yang murka. Cara manusia dan sistem sosial menanggapi bencana juga menentukan siapa yang selamat, siapa yang tertinggal. Dalam konteks ini, penanganan bencana yang inklusif menjadi keharusan moral sekaligus strategis.
Sayangnya, dalam praktiknya, kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, penyandang disabilitas, perempuan, masyarakat miskin, kelompok minoritas, dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) masih sering diabaikan. Mereka kesulitan dalam mengakses bantuan, proses evakuasi, maupun pemulihan pasca-bencana. Kebutuhan spesifik mereka seringkali tak terlihat dalam sistem yang seragam dan tidak responsif terhadap keragaman.
Lebih jauh, orang-orang dengan identitas gender non-normatif kerap mengalami diskriminasi ganda. Selain terdampak bencana, mereka juga menghadapi stigma sosial, keraguan dari pihak berwenang, bahkan penolakan untuk mengakses hak dasar. Infrastruktur yang tidak ramah disabilitas, informasi yang tidak aksesibel, serta layanan yang bias gender menunjukkan bahwa sistem kita masih jauh dari inklusif.
Permasalahan lain yang tak kalah serius adalah minimnya pelibatan kelompok rentan dalam perencanaan mitigasi bencana. Padahal, mereka memiliki pengalaman hidup dan perspektif yang berharga untuk merancang sistem penanggulangan yang lebih adil dan efektif. Ketimpangan dalam distribusi logistik dan layanan hanya akan terus terjadi jika kelompok yang paling terdampak justru tidak dilibatkan sejak awal.
Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah perlu mengambil langkah yang lebih berani dan berpihak. Tidak cukup hanya dengan memberi bantuan, pemerintah harus memastikan akses yang setara bagi semua, termasuk kelompok rentan. Pelibatan aktif mereka dalam proses perencanaan hingga evaluasi kebijakan kebencanaan sangat penting untuk menciptakan sistem yang benar-benar adil. Pemerintah juga harus memastikan bahwa program penanggulangan bencana tidak hanya menjangkau, tetapi juga memberikan manfaat nyata yang setara bagi semua golongan.
Diskusi ini menjadi pengingat bahwa mitigasi bencana bukan hanya soal teknis dan logistik, melainkan juga tentang keadilan sosial. Saat kita bicara tentang inklusi, kita sedang bicara tentang siapa yang dianggap penting dalam sistem, dan siapa yang selama ini dikesampingkan. Maka, mari kita dorong semua pihak untuk menjadikan inklusivitas sebagai fondasi dalam setiap langkah penanggulangan bencana—bukan sebagai tambahan, melainkan sebagai prinsip utama.
Penulis : Thoha Ulul A.

Mewaspadai Radikalisme Digital: Mencegah Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme di Era Media Sosial

Sinau Sareng Mitra Wacana: Menakar Ulang Mitigasi Bencana yang Inklusif bagi Kelompok Rentan
