Opini
Catatan Pendampingan Perempuan dan Anak di Banjarnegara

Published
10 years agoon
By
Mitra Wacana

Enik Maslahah
Oleh Enik Maslahah
Saya ucapkan selamat kepada anak-anak kami dapat mendirikan organisasi agar menjadikan desa ini menjadi desa yang lebih baik, dan kami ucapkan juga selamat kepada organisasi perempuan, dengan organisasi ini ibu-ibu mendapatkan aktifitas selain aktifitas di ruma. Saya mengharapkan kerja pemerintah daerah) Banjarnegara untuk mengapresiasi keberadaan organisasi perempuan dan anak di desa. Organisasi untuk perempuan di tingkat desa hanya didominasi oleh PKK yang dibentuk oleh pemerintah pada zaman orde baru. Sedangkan, organisasi perempuan mandiri yang berbasis pada kebutuhan komunitas hampir tidak ada, kecuali organisasi masyarakat (ormas) keagamaan. Misalnya, Fatayat NU, Aisyiah, Perempuan Sarikat Islam, dan sebagainya.
Fenomena di atas diakibatkan oleh rezim pemerintah Suharto selama tiga dasawarsa, yang tidak memberikan kekebebasan berorganisasi bagi rakyatnya. Dalam tulisan ini, kami ingin berbagi pengalaman singkat tentang pendampingan masyarakat terutama bagi perempuan dan anak. Tujuan dari pendampingan adalah menguatkan kelompok perempuan dan anak untuk menjadi bagian dari masyarakat sipil dalam mewujudkan strutur sosial yang kuat di masyarakat. Kedua, peran penting organisasi perempuan dan anak sebagai bagian dari struktur sosial di masyarakat desa. Ketiga, respon pemerintah desa terhadap keberadaan organisasi perempuan dan anak.
Belajar Bersama,Titik awal penguatan perempuan dan anak
Awal dari proses belajar bersama perempuan dan anak dengan Mitra Wacana WRC mendasarkan pada temuan hasil baseline Mitra Wacana WRC tentang kesadaran masyarakat mengenai perlindungan anak dari kekerasan seksual. Berdasarkan data kuantitatif dari pemerintah daerah menunjukkan jumlah kasus kekerasan seksual tertinggi di Banjarnegara berada di kecamatan Susukan dan Punggelan. Kondisi ini signifikan dengan hasil baseline yang dilakukan oleh Mitra Wacana WRC yang memperlihatkan kecenderungan kesadaran masyarakat masih kurang dalam hal perlindungan anak dari kekerasan seksual. Hasil Baseline tersebut yaitu Pertama, presentase rata-rata nilai kesadaran perempuan mengenai hak perlindungan dari kekerasan seksual terhadap anak di dua kecamatan sebesar 57 %, sedangkan anak-anak (41%) lebih rendah dibandingkan perempuan. Kedua, di level pemerintah desa, Polindes dan Puskesmas di dapat presentase rata-rata kesadaran pemerintah desa dalam pelayanan publik atas hak perlindungan kekerasan seksual terhadap anak, sebesar 52 %.
Dari data di atas, Mitra Wacana WRC menganalisis bagaimana cara melakukan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak di tingkat desa. Pertama, analisis terhadap akar persoalan yang melingkari kekerasan seksual terhadap anak. Menurut Galtung, ada beberapa persoalan berkaitan isu perempuan diantaranya; persoalan budaya patriarki yang memojokkan perempuan, mengakibatkan ketimpangan hubungan, pemahaman kesehatan reproduksi yang masih menjadi tabu di masyarakat, dan mitos-mitos di sekitar kekerasan seksual itu sendiri yang menguatkan kewajaran adanya tindak kekerasan seksual yang dialami oleh anak terutama anak perempuan.
Kedua, belajar mengorganisir baik untuk diri sendiri maupun masyarakat sebagai upaya bentuk proses dari langkah tahu menuju kesadaran untuk bergerak. Kesadaran perlunya melangkah bersama sebagai suatu gerakan menjadi syarat pokok dalam melakukan kerja advokasi. Bagaiaman perempuan secara individu ataupun kelompok mengajak komunitasnya untuk bersama-sama memahami dan sadar untuk melakukan perubahan dalam hal perlindungan anak dari kekerasan seksual. Upaya ini mengintegrasikan proses-proses kesadaran kritis, life skill, dan pengorganisasian perempuan dan anak di komunitas untuk menggalang dukungan demi terwujudnya masyarakat sipil yang kuat. Pada akhirnya kelompok perempuan dan anak yang dianggap masyarakat marginal, memiliki pemahaman yang baik terhadap hak-haknya, dan dapat melakukan pengwasan dan kontrol teradap pemerintah desa dalam pemenuhan hak-hak anak.
Inilah empat organisasi perempuan yang kami inisiasi; Lentera Hati (Berta, Susukan), Women Care ( Karangjati, Susukan), SEJOLI (Serikat Bondolharjo Peduli) Bondolharjo, Punggelan dan PWP (Pelita Wanita Petuguran), Petuguran, Punggelan. Sedangkan untuk organisasi anak yaitu; BERLIAN (Berta Indah Lingkungan Aman), Kacang Tanah (Karangjati Canggih Tangguh dan Ramah), Susukan. KARBON (Komunitas Anak Bondolharjo) dan BABORAN (Bareng Bocah Petuguran), Punggelan.
You may like
Opini
Pantangan Dalam Budaya Mayarakat Minangkabau

Published
1 hour agoon
25 March 2025By
Mitra Wacana

Annisa Aulia Amanda
Mahasiswi Sastra Indonesia di Universitas Andalas
Dalam budaya kemasyarakatan, bahasa telah lama berfungsi sebagai saluran utama untuk bertukar informasi, sebelum munculnya bahasa tertulis. Melalui perkataan yang diucapkan, individu memiliki kapasitas untuk menyebarkan adat istiadat dan praktik dalam kelompoknya masing-masing, yang pada akhirnya membentuk identitas dan perilaku khas komunitas tersebut. Bahasa dan budaya saling mempengaruhi dan berkaitan satu dengan yang lain. Hal ini sesuai dengan pandangan Sibarani bahwa bahasa dan budaya perlu dipelajari bersama-sama untuk memahami berbagai aspek kehidupan manusia (Maulana, Rafiq dan Septiani 2024).
Kebudayaan bahasa ini, yang pada dasarnya merupakan landasan kebudayaan, bertahan dalam beberapa kurun waktu karena diwariskan dari generasi ke generasi, khususnya bahasa lisan. Evolusi budaya lisan tradisional yang sudah berlangsung lama mengambil berbagai bentuk, baik melalui sastra lisan atau dalam bentuk folklor. Istilah folklor berasal dari bahasa Inggris yaitu folklore, istilah ini diciptakan oleh William John Thomas pada tahun 1846 (Dundes, 1965). Beliau menjelaskan bahwa Folklore adalah gabungan dari dua kata yaitu folk dan lore; folk mengacu pada sekelompok masyarakat tertentu, sedangkan lore mewakili adat istiadat, tradisi, dan pengetahuan budaya yang diwariskan dalam komunitas tersebut. Kolektif masyarakat ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, antara lain suku, agama, pendidikan, dan letak geografis yang penting kolektif ini memiliki satu faktor yang sama.
Bisa dikatakan bahwa folklor adalah bagian dari kebudayaan suatu masyarakat daerah tertentu yang tersebar dan diwariskan—sedikitnya 2 generasi (130-150 tahun)—di antara kolektif masyarakat tertentu, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (Danandjaja, 1985). Salah satu kategori folklor adalah ungkapan kepercayaan yang hidup dalam suatu kelompok bermasyarakat. Kepercayaan rakyat atau takhayul menyangkut terhadap kepercayaan dan praktik (Danandjaja, 1985). Praktik ini mencerminkan nilai-nilai, tradisi, dan praktik spiritual dalam kolektif kebudayaan. Setiap budaya memiliki kepercayaannya masing-masing, salah bentuknya berupa ungkapan larangan.
Di Minangkabau, berbagai daerah terdapat ungkapan larangan yang disebut dengan “pantangan”. Pantangan bukanlah sekadar candaan untuk menakut-nakuti seseorang. Dalam Budaya Minangkabau hal itu menjadi sebuah didikan oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda. Pantangan menjadi salah bentuk bahasa yang mencerminkan nilai budaya masyarakat, khususnya masyarakat Minangkabau yang sering ungkapan larangan ini pada anak-anak, remaja, atau pada seseorang yang mencoba hal baru.
Pantangan ini diturunkan dari generasi ke generasi namun sayangnya eksistensinya mulai terancam akibat turunnya kepercayaan masyarakat terhadap pantangan. Minangkabau adalah suku yang penuh dengan berbagai tradisi, namun pada tahun 1900-an mulai terjadi perubahan terhadap adat Minangkabau yang diakibatkan fenomena modernisasi (Koentjaraningrat, 1985). Secara perlahan perkembangan teknologi dunia digital mempengaruhi perkembangan tradisi dan kebudayaan tradisional. Masyarakat lupa atau bahkan tidak mengenal lagi pantangan yang pernah ada di Minangkabau.
Berikut beberapa pantangan yang ditemukan dan makna kulturalnya;
Jan manyapu tangah malam, tasapu razaki beko.
“Jangan menyapu di malam hari, atau rezekimu akan tersapu.”
Secara leksikal, data di atas bermakna larangan untuk tidak menyapu di malam hari, atau rezekinya akan hilang. Menurut logika hal ini tak dapat diterima. Namun secara kultural, menyapu di malam hari akan membuat rezeki akan ikut tersapu. Hal ini adalah didikan agar seseorang tidak menyapu di malam hari karena dapat mengganggu istirahat orang lain.
Padusi jan acok-acok malala, ndak laku beko do.
“Perempuan jangan suka berkeliaran, nanti tidak ada lelaki yang mau menikahi.”
Secara leksikal, data di tas bermakna larangan untuk perempuan untuk berkeliaran (atau pergi bukan untuk hal yang penting) karena nantinya tidak akan ada lelaki yang ingin menikahinya. Memang secara logika tidak ada kaitan antara kedua hal tersebut. Namun secara kultural, pantangan ini adalah didikan untuk perempuan Minangkabau. Hal ini bermaksud untuk menjaga dan melindungi perempuan dari hal-hal yang buruk yang dapat terjadi di luar rumah.
Jan mandi lamo-lamo, di sapo beko.
“Jangan mandi terlalu lama, atau kamu akan kesurupan.”
Secara leksikal, data di atas bermakna larangan untuk tidak mandi terlalu lama atau orang tersebut akan kesurupan. Secara kultural, data di atas bermakna bahwa kamar mandi merupakan tempat membersihkan diri sehingga tak boleh terlalu lama di dalamnya. Jika dilanggar, akibatnya akan mengalami kesurupan. Pantangan ini sebenarnya adalah didikan untuk anak-anak agar tidak bermain-main di kamar mandi, karena dapat terjatuh, kedinginan atau mengalami hal buruk lainnya.
Jan lalok magrib-magrib, taimpik hantu beko.
“Jangan tidur ketika menjelang malam, atau kamu akan ditindih hantu.”
Secara leksikal, data di atas bermakna larangan untuk tidur ketika jadwal salat Magrib, atau orang itu akan mengalami ketindihan hantu. Secara kultural, waktu Magrib menjadi waktu yang sakral bagi masyarakat Minangkabau yang umumnya beragama Islam. Waktu salat Magrib adalah jadwal untuk menunaikan salat. Karena hal itu, pantangan ini menjadi nasihat agar seseorang segera melaksanakan kewajibannya yaitu salat Magrib.
Jan mangaluh wakatu kadai rami, langang beko.
“Jangan mengeluh ketika toko sedang ramai, nanti sepi.”
Secara leksikal, data di atas bermakna larangan untuk pedagang agar tidak mengeluh ketika dagangannya ramai atau akibatnya dagangannya akan sepi. Secara kultural, masyarakat Minangkabau menganggap mengeluh ketika dagangan ramai sama saja tidak bersyukur atas hal yang telah diberikan Tuhan. Pantangan ini menjadi didikan untuk seseorang agar tidak seseorang agar tidak mengeluh atas apa yang telah terjadi dan tak lupa bersyukur atas berkah yang diberikan Tuhan.
Jan makak-makak wakatu malam, berang setan beko.
“Jangan berisik di malam hari, nanti setan marah.”
Secara leksikal, data di atas bermakna larangan untuk tidak berisik di malam hari, atau nanti setan marah. Secara kultural, malam menjadi waktu bagi orang-orang untuk beristirahat. Penggunaan kata “setan” dilakukan untuk menakuti orang-orang agar menghargai waktu orang lain yang ingin istirahat di malam hari. Pantangan ini adalah didikan untuk seseorang agar tidak mengganggu waktu istirahat orang lain
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pantangan di masyarakat Minangkabau merupakan cerminan nilai, adab, sosial, dan kepercayaan masyarakat Minangkabau yang diwariskan turun-temurun. Pantangan ini berfungsi sebagai pendidikan, peringatan, dan nasihat bagi generasi yang lebih muda. Meskipun tidak memiliki dasar ilmiah, bahkan tidak rasional, pantangan memiliki fungsi penting dalam masyarakat Minangkabau.
Di masa sekarang, pantangan Minangkabau dianggap tidak lagi relevan dan mulai dilupakan hingga tak diketahui keberadaannya oleh generasi muda. Padahal keberadaan pantangan penting karena merupakan warisan budaya yang kaya dan berharga. Pantangan memberikan wawasan bagaimana masyarakat Minangkabau dulunya memandang suatu hal dan bagaimana berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Pantangan menjadi aturan tak tertulis yang memberikan pendidikan kepada generasi muda.
Padang, 10 Maret 2025
2 Comments