web analytics
Connect with us

Opini

P3A; Pusat Pengetahuan dan Perubahan

Published

on

Dokumentasi pertemuan rutin P3A SEJOLI Punggelan Banjarnegara. Foto: FB P3A SEJOLI

Oleh Arif Sugeng Widodo

Perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh keadilan dan kesetaraan gender antara di pedesaan dan perkotaan tampaknya lebih terlihat di wilayah perkotaan. Hal tersebut tidak lepas dari masalah akses pengetahuan dan sebaran informasi yang lebih mudah didapat oleh warga kota. Pengetahuan menjadi modal penting dalam gerakan perubahan. Sejauh ini, pusat-pusat pengetahuan lebih banyak tersedia di kota. Tempat pendidikan, dari sekolah dasar sampai universitas dengan kualitas bagus lebih banyak tersedia di kota besar. Pembangunan yang tidak merata menyebabkan desa minim akses pengetahuan. Desa tersingkirkan dalam tata kelola pembangunan negara sedangkan kota dianggap pusat pembangunan dan peradaban. Sehingga menjadi “wajar” akses pengetahuan dan gerakan perubahan tumbuh subur di kota. Konsep pembangunan yang berpusat pada kota membuat desa kurang mendapat perhatian, akses terhadap pengetahuan juga tidak sebagus dan selengkap di kota.

Gerakan perubahan di desa terkesan lambat, sehingga menjadi penting membangun pusat pengetahuan yang mudah diakses oleh masyarakat. Di desa, pusat pengetahuan bisa dibangun oleh masyarakat desa dengan mandiri penuh semangat gotong royong. Salah satunya membentuk komunitas atau memaksimalkan komunitas atau organisasi yang sudah ada di desa sebagai motor penggerak perubahan dengan memproduksi, menyediakan, dan menyebarkan pengetahuan di desa. Sebagai contoh adalah Pusat Pembelajaran Perempuan dan Anak (P3A).

Hadirnya P3A di desa merupakan tempat bagi perempuan untuk belajar dan melakukan aktivitas yang berkaitan dengan persoalan perempuan dan anak. P3A, dibentuk oleh perempuan desa yang memiliki komitmen memajukan kaum perempuan. Mereka merasa perlu memiliki organisasi yang bisa menjadi tempat belajar dan mewadahi aspirasi mereka serta bisa melakukan kerja-kerja sosial yang memperjuangkan persoalan perempuan dan anak di desa mereka. Ada Sembilan (9) P3A di Kabupaten Kulon Progo dan empat (4) Kabupaten Banjarnegara. P3A di kabupaten tersebut memberikan gambaran bahwa perempuan mampu berpartisipasi aktif dalam pembangunan desa. Hal tersebut bisa menjawab keraguan bahwa desa sulit untuk maju karena warganya kurang aktif bergerak. Warga desa, dalam hal ini perempuan, memberikan pesan, saat mereka mempunyai akses terhadap berbagai aktifitas pembangunan desa mereka bisa melakukan yang terbaik. Namun, jika akses tersebut belum ada, mereka akan memperjuangkannya. Hal tersebut telah dilakukan oleh P3A.

Berbagai persoalan bisa dibahas di organisasi tersebut, dari persoalan kebutuhan hidup, hak-hak perempuan, perdagangan, pertanian, persoalan sosial dan kesehatan. Beberapa contoh komunitas atau organisasi desa yang bisa berperan menjadi tempat belajar bersama di desa adalah P3A (Pusat Pembelajaran Perempuan dan Anak) di Kabupaten Kulon Progo, D.I Yogyakarta dan Banjarnegara, Jawa Tengah. P3A di dua kabupaten tersebut bisa menjadi salah satu contoh gerakan perubahan yang dilakukan oleh perempuan.

Sebagai organisasi baru, P3A melakukan penyadaran warga dan pemnagku kepentingan tentang bentuk baru suatu organisasi perempuan desa. P3A memberikan gambaran bahwa organisasi perempuan desa tidak sekedar kumpulan arisan, namun lebih dari itu mampu melakukan berbagai macam aktifitas lainnya yang sebelumnya belum pernah dilakukan; dialog dengan pemerintah desa, membahas aturan hukum, workshop, diskusi tematik, pelatihan, outbond, juga advokasi (baik kasus maupun kebijakan di desa). Sebagian P3A bahkan ada yang menginisiasi terbentuknya TBM (Taman Bacaan Masyarakat). Sebagai contoh, di Kulon Progo P3A bekerjasama dengan Mitra Wacana menyelenggarakan OPSD (Omah Perempuan Sinau Desa). Hal ini sungguh luar biasa, tidak hanya bagi warga desa pada umumnya tapi juga bagi anggota P3A. Sebelumnya, mereka tidak membayangkan mampu melakukan berbagai macam aktifitas yang berkaitan dengan kesadaran terhadap pentingnya keadilan dan kesetaraan gender di desa.

Perhatian utama saat ini berupaya menjadikan P3A menjadi motor penggerak perubahan di desa. Ada dua kata penting yang perlu digaris bawahi yaitu “penggerak” dan “perubahan”. Perubahan seperti apa yang ingin diperjuangkan khususnya yang berkaitan dengan isu keadilan dan kesetaraan gender serta persoalan perempuan dan anak? Perubahan itu mengacu masih adanya berbagai persoalan yang ada di desa. Masing-masing desa punya kekhasan persoalannya sendiri. Namun, masih adanya dominasi laki-laki dalam lingkup domestik maupun publik hampir bisa ditemui di banyak desa. Kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), kekerasan seksual, perdagangan orang, dan masih dijumpai perlakuan diskriminatif terhadap perempuan merupakan persoalan yang sering ditemui.

Jika berbagai persoalan dibiarkan, maka akan dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Persoalan-persoalan tersebut menjadi kerja besar bagi masyarakat dan pemerintah, khususnya kelompok perempuan. Kenapa kelompok perempuan? karena tanpa ada perjuangan dari kelompok perempuan, tidak mudah mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Dalam hal ini kelompok perempuan seperti P3A bisa diandalkan menjadi motor penggerak perubahan di desa.

Motor penggerak ini berkaitan dengan peran P3A dalam “menghapus” budaya patriarki, yaitu budaya yang menempatkan laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Budaya patriarki saat ini masih kental. Budaya ini mengisyaratkan bahwa peran publik adalah milik laki-laki dan peran domestik adalah milik perempuan, yang mempengaruhi pola relasi dan komunikasi antara laki-laki dan perempuan. Perempuan akhirnya tidak terbiasa berdiskusi dan berdebat dalam ruang publik. Jika perempuan semakin pemalu maka akan dinilai “semakin perempuan” oleh masyarakat. Sehingga jika ada perempuan yang berani bicara dalam ruang-ruang publik maka lebih banyak dicibir dari pada dipuji. Mereka menilai perempuan yang gemar berbicara di ruang publik dianggap tidak pantas, karena ruang publik dianggap milik laki-laki. Dalam hal ini peran P3A menjadi sangat vital sebagai agen perubahan di desa, khususnya mengubah budaya patriarki yang merugikan perempuan.

Ketika awal berdiri, P3A di Kulon Progo dan Banjarnegara mendapatkan pendampingan dari Mitra Wacana. Namun perlu disadari bahwa berbagai pendampingan yang dilakukan oleh LSM, Ormas bahkan oleh pemerintah itu tidak berlangsung selamanya. Kemandirian dan keberlanjutan P3A sebagai organisasi independen di desa perlu didorong, agar kerja-kerja terhadap tema perempuan dan anak tetap berjalan. Menjaga semangat P3A sebagai rumah bersama, tempat belajar dan tempat  mengampanyekan nilai-nilai keadilan gender harus terus dilakukan. P3A adalah milik warga desa yang membantu kemajuan desa di masa kini dan masa depan.

Gerak aktivitas P3A juga tidak hanya sebatas di desa, tapi diharapkan juga bisa membangun jejaring lintas desa sehingga kerja-kerja advokasi yang dilakukan oleh P3A bisa lebih kuat. Hal tersebut sudah dilakukan oleh P3A di Banjarnegara yang membuat forum di tingkat kecamatan dan juga kabupaten. Sebagai contoh di Banjarnegara, Kecamatan Susukan terdapat Cawan Susu (Cahaya Wanita Susukan) dan di Kecamatan Punggelan ada Forum Perempuan Punggelan, sedangkan di tingkat kabupaten ada forum Cawan Bara (Cahaya Wanita Banjarnegara). Tentu, gerakan P3A di dua desa di kecamatan Susukan dan kecamatan Punggelan masih bagian kecil dari wilayah kabupaten Banjarnegara yang memiliki banyak kecamatan dan desa. Sehingga akan sangat bagus bila gerakan P3A di dua kecamatan tersebut bisa diadopsi oleh berbagai desa dan kecamatan di Banjarnegara. Hal yang dibutuhkan adalah adanya sosialisasi keberadaan dan kegiatan P3A. Jika ini dilakukan maka desa lain mengetahui manfaat belajar bersama P3A. Selanjutnya, pemerintah daerah perlu memfasilitasi dan mendorong keberadaan P3A di desa-desa di seluruh wilayah Banjarnegara. 

Saat ini, di Kulon Progo forum komunikasi antar P3A belum terwujud. Hal ini merupakan pekerjaan rumah bagi P3A yang berada di Kabupaten Kulon Progo memperluas pengaruh positif mereka di banyak desa melalui forum tingkat kecamatan dan kabupaten. Pada tingkat kabupaten sebenarnya sudah ada inisiasif, namun perlu dikawal hingga tuntas sehingga forum yang sudah direncanakan untuk bisa terwujud. Jika forum ditingkat kabupaten terbentuk, maka advokasi terhadap persoalan perempuan dan anak yang menjadi perhatian P3A bisa dilakukan lebih komprehensif.

Masih ada pekerjaan rumah yang dihadapi P3A, oleh karenanya perlu membangun sinergi dengan banyak elemen yang ada di desa. Hal tersebut merupakan keharusan  agar berbagai persoalan bisa terselesaikan. P3A perlu berinteraksi dengan pemerintah desa dan masyarakat pada umumnya. Persoalan perempuan dan anak dapat dimasukkan dalam kebijakan desa dan hal tersebut penting untuk dilakukan. P3A perlu mengawal perencanaan pembangunan desa melalui forum-forum desa seperti musdus (musyawarah dusun), musrenbangdes (musyawarah pengembangan desa) maupun musdes (musyawarah desa).

P3A juga bisa mengangkat isu perempuan dan anak dalam obrolan sehari-hari. Hal tersebut penting dilakukan agar persoalan yang ada benar-benar dibahas dan dicari solusinya. P3A bisa memainkan peran yang strategis, di satu sisi P3A bisa menjadi mitra strategis pemerintah desa tapi disisi lain bisa menjadi kritikus mengingatkan pemerintah desa jika kurang maksimal atau melakukan penyimpangan dalam menjalankan tugasnya. P3A bisa mendorong pemerintahan desa yang inklusif (terbuka) di desanya, sehingga kelompok masyarakat yang selama ini terpinggirkan bisa berpartisipasi dalam pembangunan desa. Salah satu bentuk pemerintahan yang inklusif tersebut adalah adanya ruang partisipasi kelompok miskin, disabilitas, perempuan kepala rumah tangga dalam pembangunan desa, dan kelompok lainnya. Tentu hal tersebut bisa dilakukan jika P3A kuat. Sehingga penting membangun P3A yang kuat baik dari segi sumber daya manusianya, pengetahuannya, dan juga pendanaannya.

Bisa dibayangkan, jika P3A ini bisa diadopsi oleh seluruh desa yang ada di Indonesia maka gerakan perempuan di tingkat desa menjadi gerakan masif dan P3A bisa menjadi motor perubahan dengan dampak luas karena dilakukan di seluruh desa di Indonesia. Tentu hal tersebut merupakan impian, akan tetapi tidak mustahil diwujudkan dengan upaya sistematis. Jika gerakan perempuan dilakukan secara merata di desa,  maka perjuangan perempuan untuk mewujudkan relasi yang adil dan setara dengan laki-laki optimis bisa terwujud. Tugas berat sudah menanti P3A untuk melahirkan perubahan yang lebih baik. Sebagai penutup, ada kutipan menarik dari bintang film Jim Carrey “Jika anda menyerah pada mimpi anda, apa yang tersisa?” Bersama P3A mari wujudkan masyarakat yang setara dan adil gender di Indonesia.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Peran Sastra Populer dalam Meningkatkan Literasi di Kalangan Remaja

Published

on

Penulis : Fatin Fashahah, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas

Sastra populer sering dipandang rendah, dianggap hanya untuk hiburan, dangkal, atau terlalu komersial. Sikap seperti ini muncul dari pendapat bahwa karya populer tak setara dengan karya-karya yang biasanya dipelajari di bangku perkuliahan. Padahal, bagi banyak remaja, sastra populer justru menjadi pintu pertama untuk mulai suka membaca. Mengabaikan atau mengecilkan peran sastra populer berarti menutup kesempatan bagi generasi muda untuk jatuh cinta pada dunia tulisan.

UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Fakta ini menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca rekreasi di banyak kelompok usia.

Namun, ketika pembaca terutama remaja diberi kebebasan memilih bacaan yang sesuai selera dan pengalaman mereka, minat membaca bisa saja meningkat. Dengan kata lain, relevansi isi buku terhadap kehidupan pembaca muda sangat menentukan apakah mereka akan terus membaca atau tidak. Sastra populer seperti buku young adult, novel roman remaja, dan cerita fantasi ringan sering kali menawarkan tema dan tokoh yang mudah dipahami remaja karena ceritanya seringkali dihubungkan dengan kehidupan remaja, sehingga mereka lebih tertarik untuk membaca.

Selain itu, sastra populer lebih mudah diakses lewat platform digital, cerita-cerita di aplikasi dan situs bacaan daring seperti Ipusnas, google play book, wattpad, karyakarsa dll. membuat remaja menemukan teks yang mereka suka kapan saja dengan mudah. Bentuk online juga mendorong interaksi pembaca bisa memberi komentar, berdiskusi, atau bahkan menulis kembali cerita mereka sendiri. Pengalaman berinteraksi seperti ini memberi dorongan kuat untuk terus membaca dan menulis. Beberapa karya yang awalnya populer di dunia maya kemudian diterbitkan secara cetak atau diadaptasi menjadi film dan serial menunjukkan bahwa bacaan populer punya peran penting dalam membangun ekosistem budaya yang lebih luas.

Penolakan terhadap sastra populer sering kali datang dari dua alasan utama. Pertama, alasan estetika, anggapan bahwa karya populer kurang bermutu secara sastra. Kedua, alasan moral atau konten bahwa beberapa cerita mengandung nilai yang dipertanyakan. Kritik seperti ini tidak salah jika tujuannya untuk memperbaiki kualitas karya. Namun, cara menanggapinya yang kurang tepat bisa membuat minat membaca remaja menjadi surut, seharusnya kita bukan melarang atau merendahkan bacaan tersebut. Akan lebih baik jika pembaca pemula diajarkan bagaimana cara membaca yang kritis. Dengan membimbing remaja membaca secara kritis, kita membantu mereka mengenali kekuatan dan kelemahan sebuah teks, sehingga pengalaman membaca menjadi lebih bermakna.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat membaca remaja diantaranya. Pertama, perpustakaan sekolah dan umum perlu menata koleksi yang seimbang baik karya klasik dan akademik berdampingan dengan bacaan populer. Pendekatan ini mengakui bahwa pembaca punya selera berbeda, dan memberi ruang bagi remaja yang sedang mencari gaya baca dan minat mereka. Kedua, guru dan pustakawan harus dilatih untuk memfasilitasi diskusi yang mengaitkan tema populer dengan konsep sastra dasar. Misalnya, dari sebuah novel populer, kita bisa mengajak pembaca membahas tokoh, alur, sudut pandang, atau pesan yang tersirat yanga terdapat di dalam novel tersebut. Langkah sederhana ini bisa mengubah bacaan ringan menjadi bahan belajar yang efektif.

Ketiga, adanya kegiatan klub baca dan lomba menulis berbasis minat yang bisa menghubungkan pembaca muda dengan mentor dan teman sebaya. Suasana komunitas yang saling mendukung membuat kegiatan membaca terasa lebih menyenangkan. Selain itu, adanya lomba menulis membuat remaja merasa diberi ruang kreatif untuk mengekspresikan dirinya. Keempat, harus ada kerja sama antara sekolah dengan platform digital. Hal ini penting untuk menyediakan akses yang aman dan terkurasi. Akses digital tanpa bimbingan bisa berisiko negatif dengan memperkenalkan konten yang kurang sesuai untuk pembaca dibawah umur. Oleh karena itu, peran pendidik dan orang tua tetap penting dalam menumbuhkan minat membaca terutama pembaca anak-anak dan remaja.

Secara budaya, sikap berhati-hati atau keraguan terhadap sastra populer sering kali membuat masyarakat melewatkan cerita-cerita yang sebenarnya dekat dengan kehidupan banyak orang, khususnya para remaja dari berbagai latar belakang. Karya populer dapat menjadi ruang untuk bereksperimen dengan bahasa, identitas, dan pengalaman sehari-hari. Ketika karya semacam ini dibahas di sekolah atau komunitas, karya tersebut berpotensi memperkaya imajinasi serta cara pandang masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Dengan demikian, sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari wacana budaya yang turut membentuk cara berpikir dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.

Kesimpulannya, alih-alih memandang sastra populer secara sebelah mata, akan lebih bermanfaat jika masyarakat mencoba melihat potensinya dalam meningkatkan minat baca dan memperkuat budaya literasi. Pendekatan yang inklusif dapat dimanfaatkan untuk menjadikan daya tarik sastra populer sebagai pintu masuk bagi pembaca pemula. Tentu saja, hal ini tetap perlu disertai dengan bimbingan dan adanya pengenalan terhadap keterampilan membaca kritis serta jenis bacaan yang lebih beragam. Dengan begitu, kebiasaan membaca tidak hanya meningkat, tetapi juga dapat mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa generasi muda.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending