Publikasi
Talitha Kum & Mitra Wacana Suarakan “Call to Action: Stop Human Trafficking”
Published
3 months agoon
By
Mitra Wacana
Bantul, 10 Agustus 2025 – Suasana hangat namun penuh semangat terasa di aula Hellen Keller, Sedayu, Bantul, Yogyakarta pada Minggu pagi. Puluhan peserta dari berbagai kalangan berkumpul untuk mengikuti acara “Call to Action: Stop Human Trafficking”, sebuah inisiatif kolaboratif antara jaringan Talitha Kum Jaringan Yogyakarta dan Mitra Wacana.
Acara ini digelar dalam rangka memperingati Hari Anti Perdagangan Internasional, dengan tujuan mengajak masyarakat memahami dan terlibat aktif dalam upaya menghentikan praktik perdagangan manusia yang masih marak terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Isu Lintas Batas: Krisis Iklim, Kesetaraan Gender, dan Migrasi Aman
Tidak sekadar membahas perdagangan orang secara umum, diskusi ini memperluas perspektif peserta dengan mengaitkan diskusi perdagangan orang denga isu-isu besar lain seperti krisis iklim, kesetaraan gender, dan migrasi aman yang dimoderatori oleh FR. Tyas SCJ.
Dalam kesempatan ini, para narasumber seperti FR. Bambang, SCJ memberikan materi tentang bahaya perdagangan orang, Muazim (Mitra Wacana) mengupas tentang migrasi aman, Yunia Nur Andini (Mitra Wacana) menjelaskan tentang kesetaraan gender, dan Albertus Cristianto menjelaskan bahwa krisis iklim. Kondisi Krisis iklik ini kerap memaksa masyarakat di wilayah rentan untuk berpindah tempat tinggal, dalam situasi migrasi terpaksa, individu—terutama perempuan dan anak sering menjadi target mudah bagi jaringan perdagangan manusia. Kemudian ketidaksetaraan gender memperparah keadaan, karena perempuan kerap memiliki akses terbatas pada informasi, perlindungan hukum, dan sumber daya ekonomi.
“Perubahan iklim memiliki hubungan erat dengan perdagangan orang. Perubahan iklim adalah akar struktural yang membuat kelompok rentan semakin tertekan, sehingga membuka celah bagi eksploitasi. Kita perlu keadilan ekologi dan aksi nyata, sekecil apa pun, untuk melindungi bumi sekaligus melindungi manusia. Perdagangan orang bukan hanya soal kejahatan terorganisir, tapi juga hasil dari sistem yang gagal melindungi kelompok rentan. Krisis iklim dan ketidaksetaraan gender memperbesar risiko itu,” ujar Albertus Cristianto (Talitha Kum).
Kolaborasi dan Aksi Nyata
Acara ini tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga mendorong aksi nyata. Peserta diajak berdialog, berbagi pengalaman, dan mencari solusi kolaboratif untuk mengatasi masalah perdagangan manusia. Dalam diskusi ini perwakilan sekaligus ketua dewan pengurus Mitra Wacana Wahyu Tanoto menegaskan pentingnya pendidikan publik:
“Setelah pulang, kami berharap kalian menjadi agen perubahan yang mempromosikan pencegahan perdagangan orang, baik di lingkungan sekitar maupun di media sosial. Generasi kalian lebih melek teknologi dibanding generasi saya dulu, yang bahkan belum mengenal media sosial. Zaman saya paling banter cuma pakai Yahoo Messenger—itu pun sudah hebat sekali kala itu. Sekarang ada TikTok, Instagram, dan lain sebagainya yang jangkauannya luar biasa. Semoga apa yang kita lakukan hari ini bisa terdengar oleh seluruh dunia supaya masalah gender, kekerasan, perubahan iklim, dan perdagangan orang tidak hanya jadi pemanis bibir, tapi diwujudkan dalam aksi nyata untuk menghentikan perdagangan manusia. Saya percaya kalian semua adalah kaum muda yang peduli terhadap isu ini. Kita perlu memastikan setiap orang memiliki akses pada informasi yang benar tentang migrasi aman, hak-hak pekerja migran, dan bagaimana melindungi diri dari modus perdagangan manusia.”
Diskusi ini diharapkan menjadi wadah untuk menyebarkan informasi yang benar dan mudah diakses tentang perdagangan manusia, mendorong kebijakan publik yang melindungi hak-hak kelompok rentan, menguatkan solidaritas lintas komunitas untuk memutus mata rantai perdagangan orang.
Menggaungkan Pesan di Tingkat Lokal dan Global
Dengan adanya acara ini, Talitha Kum dan Mitra Wacana berharap pesan “Stop Human Trafficking” dapat menggema tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga menjadi bagian dari gerakan global yang menuntut perlindungan martabat manusia. Perjuangan melawan perdagangan manusia memang panjang, namun melalui pendidikan, kolaborasi lintas sektor, dan kesadaran publik, langkah kecil hari ini di Hellen Keller, Sedayu, bisa menjadi bagian dari perubahan besar di masa depan. (Yngvi)
You may like
Berita
PAMERAN ARSIP KERTAS 2025: SETARA – MEREKAM PEREMPUAN DALAM RUANG DEMOKRASI
Published
3 days agoon
10 November 2025By
Mitra Wacana
Yogyakarta – Pameran arsip tahunan KERTAS kembali digelar di Gedung Iso Reksohadiprojo, Departemen Bahasa Seni dan Manajemen Budaya, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Madah (UGM). Pameran KERTAS 2025 berlangsung dari 8 November hingga 15 November 2025 dan teruka untuk umum serta dapat dikunjungi secara gratits. Tahun ini, pameran berjudul “Setara: Merekam Perempuan dalam Ruang Demokrasi”, menghadirkan refleksi tentang jejak perjuangan, partisipasi, dan representasi perempuan dalam sistem demokrasi Indonesia.
Lebih dari 260 arsip dalam bentuk foto, teks, data, dan audio-visual diolah menjadi infografis interaktif. Melalui arsip-arsip ini, mahasiswa program studi Kearsipan, Sekolah Vokasi, UGM mengajak public menelusuri dinamika perempuan dalam ruang demokrasi, mulai dari partisipasi politik, represi sosial, serta bentuk resistensi di tengah ketimpangan ini.
PIC Kegiatan, Irfan Rizky Darajat, S.I.P., M.A., menjelaskan bahwa pameran ini tidak hanya menjadi ruang dokumentasi, tetapi juga forum diskusi sosial. “Pameran ini dapat membantu dalam melihat cara pandang yang lain bagaimana pameran arsip bisa dijadikan sebagai diskusi tentang wacana sosial,” ujarnya.

Pameran ini dibagi menjadi ruang utama, yaitu partisipasi, represi, dan resistensi. Ruang partisipasi menyoroti keterlibatan perempuan dalam Trias Politika, mulai dari tokoh-tokoh pionir seperti Maria Ulfah, S.K. Trimurti, Sri Widoyati, Siti Sukaptinah, dan Supeni Pudjobuntoro, hingga peta perwakilan perempuan di DPR, Pilkada, dan lembaga Yudikatif, dari sebelum reformasi hingga sesudah reformasi. Selain itu, dalam ruangan ini juga menghadirkan peran dari Non-Governmental Organization (NGO) yang mendampingi dan melayani masyarakat secara umum maupun perempuan secara khusus, seperti Mitra Wacana, Mama Aleta Fund, Beranda Migran, SP Kinasih, dan organisasi lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia.
Mitra Wacana, salah satu organisasi pemberdayaan perempuan yang berdiri pada 2 April 1996 dengan nama awal Pusat Layanan Informasi Perempuan (PLIP) Mitra Wacana. Sejak berdiri, organisasi ini berfokus pada penyediaan layanan informasi tentang keadilan dan kesetaraan gender, serta pemberdayaan perempuan dan anak. Saat ini, Mitra Wacana memiliki delapan fokus isu utama, yakni penghapusan kekerasan seksual, pencegahan perkawinan anak, pendidikan politik perempuan, pencegahan perdagangan manusia, pencegahan Intoleransi, Radikalisme, Extremisme, dan Terorisme (IRET), perempuan dan anti korupsi, serta perempuan dan kebencanaan.
Dalam menjalankan kegiatannya, Mitra Wacana mengusung strategi pengorganisasian dan advokasi langsung di masyarakat, antara lain melalui pendirian Pusat Pembelajaran Perempuan dan Anak (P3A) di berbagai wilayah dampingan, pendampingan kader perempuan, advokasi kebijakan publik ramah gender, serta produksi materi edukatif seperti buku, modul, film, dan komik bertema kesetaraan gender. Kehadiran Mitra Wacana di pameran ini memperluas pemahaman tentang bagaimana advokasi gender dijalankan secara konkret dan berkelanjutan di tingkat masyarakat.
Ruang kedua menelusuri berbagai bentuk represi terhadap perempuan, baik dalam ranah sosial dan politik. Arsip-arsip di ruang ini menyoroti berbagai bentuk praktik diskriminasi, mulai dari kekerasan seksual, femisida, diskriminasi, polemik politik, perampasan tanah adat, hingga domestikasi peran perempuan. Salah satu sorotan pentingnya adalah kisah Mama Aleta Baun, aktivis tenun dari Nusa Tenggara Timur (NTT), yang pernah memimpin perlawanan terhadap tambang marmer di melalui menenun bersama di lokasi tambang.
Ruang terakhir menampilkan ketahanan dan solidaritas perempuan melalui empat bentuk ekspresi budaya dan aktivisme, yaitu aksi unjuk rasa, tulisan, aktivisme digital, dan karya seni. Pameran ini menegaskan bahwa resistensi bukan hanya tindakan politik, melainkan juga keberanian perempuan untuk terus bersuara dan mengarsipkan pengalamannya sendiri.
Sebagai bagian dari upaya membuka akses publik yang lebih luas, panitia juga menyediakan guide book digital yang dapat diundung langsung melalui situs resmi https://pameranarsip.sv.ugm.ac.id/koleksi/. Panduan ini berisi kurasi tema, penjelasan tiap raung, dan koleksi-koleksi yang memudahkan pengunjung menjelajahi pameran, baik secara luring maupun daring.









