web analytics
Connect with us

Opini

Melindungi Anak Dari Kekerasan Seksual

Published

on

umbrellas-carlmaxwelllewin

Rindang Farihah

Rindang Farihah

oleh Rindang Farihah

Akhir-akhir ini kita dicengangkan oleh kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di lingkungan lembaga pendidikan, yakni kasus yang menimpa salah seorang siswa JIS (Jakarta International School). Tentunya kasus ini menjadi tamparan bagi dunia pendidikan kita, karena terjadi di lingkungan pendidikan, dimana anak-anak kita seharusnya mendapatkan kenyamanan dan perlindungan sehingga bisa belajar dengan baik. Disisi lain, sekolah adalah rumah kedua bagi anak-anak kita dimana hampir setengah dari harinya dihabiskan selain di rumah.

Namun yang harus disadari oleh para orangtua, adalah kekerasan seksual terhadap anak ini bisa terjadi dimana saja. Di rumah, di jalan, di dalam alat transportasi umum, sampai pada lingkungan sekolah / lembaga pendidikan lainnya, seperti boarding school, pesantren dan semacamnya. Jika terjadi di rumah pelakunya biasanya orang terdekat korban, atau salah seorang anggota keluarga, atau bisa juga tetangga. Mengingat kasus kekerasan seksual terhadap anak bisa terjadi dimana saja, maka kewaspadaan harus selalu dibangun mengingat kekerasan seksual terhadap anak bisa terjadi di rumah sekali pun, yang notabene rumah sebagai tempat dimana anak mendapatkan perlindungan dan kenyamanan.

Beberapa catatan penting untuk orangtua agar anaknya terhindar dari kekerasan seksual :

1. Pengenalan tentang tubuhnya, khususnya alat reproduksinya serta fungsinya.

Dalam tahap ini anak diberi pemahaman, bahwa tubuh mereka adalah asset yang berharga, tidak boleh disentuh oranglain tanpa persetujuan mereka. Kemudian anak juga diberi pemahaman tentang sentuhan baik dan sentuhan buruk serta diajarkan untuk asertif, berkata tidak, ketika dia mendapat perlakuan/sentuhan yang tidak nyaman.

2. Pendidikan seksual sejak dini

Jadikan materi seksualitas menjadi obrolan santai, dan tradisi ini baik untuk anak karena tidak menjadi suatu hal yang tabu. Berikanlah pengetahuan seksualitas kepada anak-anak kita dengancara yang arif dan cara yang tepat. Lebih baik mereka mendapatkan pengetahuan itu dari kita (orangtuanya sendiri) dari pada mendapatkan dari orang lain, internet atau teman sebayanya. Dengan kebiasaan baik ini, maka anak dalam proses pertumbuhannya hingga dia dewasa, setiap dia menghadapi persoalan seputar seksualitas dan kesehatan reproduksi akan selalu berkonsultasi / merujuk kepada orangtuanya, bukan kepada yang lain.

3. Membangun hubungan yang kuat antara orangtua dan anak

Membangun relasi kedekatan sangat penting antara orangtua dan anak, rasa saling percaya dan tidak ada rahasia diantara orangtua dan anak. Terutama untuk anak korban kekerasan seksual, yang rata-rata menyisakan trauma dan menjadikan korban pendiam, karena tidak ingin ada orang lain mengetahui rahasianya. Komunikasi yang intens perlu dibangun untuk meminimalisir rasa ketakutan, kesedihan dan kerahasiaan.

4. Mengajarkan hak anak

Sejak dini anak harus dibekali pengetahuan dasar tentang hak-haknya. Terutama sebagai upaya untuk melindungi dirinya dari tindakan yang membahayakan dari orang lain. Misalnya, bahwa berhak untuk bahagia, berhak untuk melakukan sesuatu yang disukainya, sebaliknya berhak tidak suka akan hal-hal tertentu, berhak untuk menolak dan berkata tidak. Dan jika dia merasa terancam, diajarkan untuk mencari perlindungan, yaitu teman atau orang dewasa yang dipercayainya.

Langkah-langkah diatas adalah tips sederhana bagi kita para orangtua untuk menghindarkan anak-anak kita dari perilaku kekerasan seksual. Jangan sampai kasus M atau AK siswa JIS, atau kasus-kasus serupa menimpa buah hati kesayangan kita. Karena jika sampai terjadi kasus kekerasan seksual terhadap anak, yang menderita trauma bukan hanya anak saja namun orangtuanya juga. Tentunya tindakan pencegahan jauh lebih baik bukan ??

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya

Published

on

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2

Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.

Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.

Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.

Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.

Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip. 

Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.

Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.

Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending