Opini
Belajar Menjadi lebih Baik
Published
7 years agoon
By
Mitra WacanaOleh Listiana Khasanah (Mahasiwi UIN Sunan Kalijaga)
Pernahkah kita merenung akan indahnya deburan ombak yang menerpa bebatuan karang tepi pantai ? Pernahkan kita merenung akan indahnya air terjun, kemilau air hujan dan gunung-gunung yang menjulang? Keindahan Alam adalah bukti keindahan Allah SWT. Keindahan alam juga wujud kasih-sayang Allah SWT, kepada seluruh makhluk, baik yang iman maupun yang kufur.
Islam adalah agama cinta, sementara sikap umat Islam adalah perwujudan ajarannya. Umat Islam harus mampu menjadi rahmatan lil’alamin (rahmat kepada seluruh alam), yang terus menyemaikan ajaran cinta ini, kapanpun dan dimanapun. Diceritakan di Kitab Hikam bahwa seseorang yang beriman kepada Allah SWT adalah orang yang asyikin, yakni; orang yang mampu memandang sifat keindahan Allah SWT, dengan cara merenungkan alam, serta terus memuji keindahan Allah SWT. Sehingga seorang Asyikin tidak akan mampu memilih alasan lain selain hanya cinta kepada Allah SWT, dan seluruh ciptaan-Nya (hablun minalloh wa hablnu minannas).
Pribadi berimanan dan keindahan harus selalu bersesuaian satu sama lain. Harmoni dan keindahan adalah manifestasi dari perbuatan (af’al) pribadi yang beriman. Seorang yang merasa dekat dengan Allah SWT, tidak mungkin menciderai cinta, baik kepada Allah SWT (al-kholiq) maupun kepada ciptaan-Nya (mahluq). Sangat tidak mungkin terbesit dalam hati dan pikiran (niat) orang beriman untuk menyakiti Allah SWT beserta ciptaan-Nya. Orang beriman selalu ingin menjadi yang terbaik, terutama dalam mencintai Allah SWT.
Dalam mencintai Allah SWT, pribadi berimanan sadar betul, jika dirinya adalah uswah hasanah (contoh yang baik) bagi umat lain. Maka, pribadi berimanan selalu memiliki sikap zuhud, wara’, tawadlu, qona’ah, sabar dalam menjalani hidup. Karena ia tahu, bahwa mencintai harus siap senang dan susah. Sebaliknya, pribadi berimanan tidak akan mem-fitnah, ghadap (marah), namimah (adu domba), karena tindakan ini adalah tindakan pengecut yang jauh dari sikap pecinta sejati.
Akhir-akhir ini, mudah sekali kita menyaksikan orang ber-mauidhah hasanah (mengajak kepada kebaikan) di media televisi dan media sosial (medsos). Saat sekarang ini, oleh media kita dibuat surplus mauidhah hasanah, dan sebaliknya mungkin minus uswah hasanah. Seorang yang beriman akan berhati-hati dalam memanfaatkan kemudahan peluang yang diberikan media ini, baik sebagai pendakwah (da’i) maupun sebagai pendengar (mustami’). Sebagai seorang yang berdakwah (da’i) harus berhati-hati dengan keterkenalan diri, jangan sampai seorang da’i menjadi riya’ bahkan sombong ketika sudah terkenal. Ibrahim bin Adhom dalam Kitab Hikam mengatakan bahwa,”tidak benar tujuan kepada Allah orang yang ingin terkenal”. Ayyub as-Asakhtiyani mengatakan bahwa “tidak ada orang-orang ikhlas kepada Allah, melainkan ia merasa senang dan bahagia jika ia tidak mengetahui kedudukannya.”
Berikutnya, sebagai pendengar harus lebih berhati-hati dalam memilih dan memilah ucapan seseorang dari media manapun . Pendengar seyogyanya memiliki sikap at-tawazuth (bersikap netral), at-tawazun (seimbang), at-tasamuh (toleransi). Bersikap netral artinya seorang pendengar yang baik adalah mereka yang tidak bersikap ekstrim baik kanan maupun kiri. Pendengar yang baik tidak mudah berpihak pada manapun sebelum diketahui kebenaran dari informasi yang diterima, atau ajaran yang diberikan. Pendengar yang baik juga mereka yang seimbang dalam menakar informasi, tidak cukup dengan satu informasi saja, melainkan haris mencari informasi lain, sekalipun berbeda demi mendapatkan informasi atau ajaran yang benar. Pendengar yang baik juga tidak mudah terprovokasi, tidak mudah menjustifikasi dan menghakimi pihak manapun.
Sikap tawadlu (mengakui kapasitas diri) seharusnya ada pada pendengar yang baik. Tidak sepantasnya, ahli di bidang ilmu kedokteran menyalahkan seorang arsitek, begitu pula sebaliknya. Seyogyanya seorang pendengar yang baik, lebih mengedepankan bertanya bukan menyalahkan seseorang yang memang ahli dibidangnya. Jawaban seorang ahli pasti dengan ilmu yang dikuasai. Boleh kita tidak sepakat, tetapi tidak pantas menyalahkan, mencemooh dan menyerang pribadi. Sadar akan kapasitas diri (Jawa: ngilo githok) wajib dimiliki semua orang. Bukan sebaliknya takabur (Jawa: gumedhe), karena itu bukan sikap pribadi beriman.
Keindahan tidak terletak pada pelbagai kerusakan, kerusuhan, atau bahkan pembunuhan. Pribadi yang beriman adalah pribadi yang indah dan menjunjung tinggi harkat dan martabat orang lain. Pribadi yang beriman juga pribadi yang cerdas, sikap dan tujuannya yang hanya kepada Allah SWT tidak mudah digoyahkan oleh kepentingan apapun, kecuali kepentingan untuk lebih berdekatan dengan yang dicintai, yakni; Allah SWT.
Biodata Penulis
Nama : Listiana Khasanah
Tempat, Tanggal/Lahir :Temanggung, 12 Juli
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : Saat ini kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Dakwah
You may like
Opini
RUU PPRT dan Eksploitasi Pekerja Rumah Tangga (Analisis Feminis)
Published
4 weeks agoon
8 November 2024By
Mitra WacanaDi balik gemerlapnya kehidupan perkotaan dan kemewahan yang dipamerkan oleh sebagian besar keluarga Indonesia, ada satu sektor yang sering terabaikan dan dibiarkan terjerat dalam eksploitasi pekerja rumah tangga (PRT). Bukan hanya pekerjaan yang tidak dihargai, tetapi juga kelompok pekerja ini sering diperlakukan tanpa keadilan.
Mereka adalah perempuan-perempuan yang menjadi korban dari sistem patriarki dan ketidakpedulian negara, berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan kondisi yang lebih mirip perbudakan modern daripada pekerjaan yang dihargai. Bayangkan, selama lebih dari dua dekade, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang seharusnya memberikan perlindungan bagi mereka, masih diperdebatkan dan tertunda pengesahannya.
Mengapa? Apakah kita, sebagai masyarakat, begitu terbuai dengan kenyamanan dan kemewahan yang didapat dari eksploitasi kerja mereka hingga tak mampu melihat kesengsaraan di baliknya?
Saya di sini aakan mencoba membongkar realita pahit di balik pekerjaan rumah tangga berdasarkan data-data yang ada, mengungkap bagaimana ideologi feminis menawarkan jalan keluar, dan mengapa pengesahan RUU PPRT adalah langkah mendesak untuk menciptakan keadilan sosial yang sesungguhnya.
Perspektif feminis sangat relevan dalam memahami isu ini, mengingat mayoritas PRT adalah perempuan. Pekerjaan domestik, yang secara tradisional dianggap sebagai “kerja perempuan,” sering kali tidak dihargai dan dilindungi.
Eksploitasi PRT dan Perspektif Feminisme
Dalam masyarakat patriarkal, pekerjaan rumah tangga sering kali dipandang sebagai tugas alami perempuan. Hal ini menciptakan stigma bahwa pekerjaan domestik, termasuk yang dilakukan oleh PRT, tidak memiliki nilai ekonomi yang signifikan.
Perspektif feminis menekankan bahwa pekerjaan domestik adalah elemen penting dalam mendukung aktivitas ekonomi keluarga, terutama bagi kelas menengah dan atas.
Bell hooks, dalam bukunya Feminism is for Everybody, menekankan bahwa feminisme harus mencakup perjuangan untuk keadilan bagi perempuan pekerja dari kelas bawah. Ia mengkritik bagaimana kapitalisme dan patriarki berkontribusi pada marginalisasi pekerjaan domestik, yang mayoritas dilakukan oleh perempuan dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu.
Hooks menegaskan bahwa pekerjaan domestik tidak boleh diremehkan atau dieksploitasi.
Sebagian besar PRT di Indonesia berasal dari pedesaan dan memiliki tingkat pendidikan rendah. Ketimpangan kelas ini memperburuk kerentanan mereka terhadap eksploitasi.
Banyak PRT yang bekerja lebih dari 12 jam sehari tanpa jaminan sosial atau perlindungan hukum. Ketiadaan regulasi memperparah ketimpangan ini, membuat mereka mudah dieksploitasi oleh pemberi kerja yang tidak bertanggung jawab.
Gambaran Eksploitasi PRT
Salah satu kasus paling menonjol yang menggambarkan pentingnya perlindungan hukum bagi PRT adalah kasus Erwiana Sulistyaningsih. Erwiana adalah PRT asal Indonesia yang bekerja di Hong Kong.
Selama bekerja, ia mengalami kekerasan fisik dan mental yang parah dari majikannya. Erwiana dipaksa bekerja tanpa istirahat, menerima upah yang sangat minim, dan tidak diberikan akses layanan kesehatan saat ia sakit.
Kasus Erwiana menarik perhatian internasional dan menjadi simbol perjuangan hak PRT. Meskipun terjadi di luar negeri, kasus ini mencerminkan kondisi yang serupa dialami oleh banyak PRT di Indonesia. Tanpa regulasi seperti RUU PPRT, pelanggaran hak terhadap PRT cenderung terus terjadi tanpa ada sanksi tegas bagi pelaku.
RUU PPRT: Solusi untuk Perlindungan PRT
RUU PPRT muncul sebagai jawaban atas kebutuhan mendesak untuk melindungi pekerja rumah tangga yang selama ini sering kali terabaikan dan dieksploitasi. Rancangan Undang-Undang ini dirancang untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih komprehensif, dengan berbagai poin penting yang dapat mengubah nasib para pekerja rumah tangga.
Salah satunya adalah pengaturan mengenai hak atas kontrak kerja formal, yang selama ini menjadi hal yang langka bagi sebagian besar PRT. Tanpa kontrak yang jelas, mereka sering kali dirugikan dalam hal upah, jam kerja, dan hak-hak lainnya.
Selain itu, RUU PPRT juga menetapkan jam kerja yang wajar, sebuah langkah krusial untuk memastikan bahwa PRT tidak dipaksa bekerja tanpa henti, tanpa waktu istirahat yang cukup.
Tidak hanya itu, RUU ini juga menjamin bahwa para pekerja rumah tangga akan mendapatkan upah minimum yang sesuai dengan standar yang berlaku, memberikan mereka hak yang sama untuk mendapatkan penghasilan yang layak.
Pentingnya jaminan sosial dan kesehatan juga diatur dalam RUU ini, memastikan bahwa PRT tidak hanya diakui sebagai pekerja, tetapi juga diberikan perlindungan atas kesehatan mereka yang sering kali terabaikan.
Untuk mendukung hal tersebut, mekanisme pengaduan yang jelas juga disediakan bagi PRT yang menghadapi pelanggaran hak, membuka pintu untuk keadilan yang lebih cepat dan aksesibilitas bagi mereka yang membutuhkan perlindungan.
Namun, lebih dari sekadar perlindungan hukum, RUU PPRT juga bertujuan untuk menghapus stigma terhadap pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan ini, yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan “tidak penting” dan hanya layak dilakukan oleh perempuan dari lapisan masyarakat bawah, kini akan diakui sebagai sektor formal yang memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian negara.
Dengan demikian, RUU PPRT tidak hanya melindungi hak-hak PRT, tetapi juga mengangkat martabat mereka sebagai pekerja yang berharga dalam struktur sosial dan ekonomi.
Namun, pengesahan RUU PPRT menghadapi berbagai tantangan, mulai dari resistensi politik hingga kurangnya kesadaran publik akan pentingnya regulasi ini. Beberapa pihak berargumen bahwa regulasi ini akan memberatkan pemberi kerja.
Namun, perspektif feminis menekankan bahwa perlindungan hak PRT bukan hanya tentang kepentingan individu, tetapi juga tentang keadilan sosial dan pengakuan atas kontribusi ekonomi mereka.
Mengapa Perspektif Feminisme Penting dalam Perjuangan RUU PPRT?
Feminisme menekankan bahwa pekerjaan domestik harus diakui sebagai pekerjaan formal yang memiliki nilai ekonomi dan sosial. Pengesahan RUU PPRT akan menjadi langkah penting dalam menghapus stigma bahwa pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan “tidak penting.”
Hal tersebut juga akan memberikan pengakuan yang layak bagi perempuan yang selama ini terjebak dalam lingkaran eksploitasi karena pekerjaan mereka tidak dihargai secara formal.
Selain itu, eksploitasi terhadap PRT adalah bagian dari masalah yang lebih besar dalam budaya patriarki yang menganggap pekerjaan perempuan sebagai sesuatu yang dapat dieksploitasi tanpa konsekuensi.
Pengesahan RUU PPRT tidak hanya akan memberikan perlindungan hukum, tetapi juga membantu mengubah cara pandang masyarakat terhadap pekerjaan domestik, sehingga menciptakan lingkungan yang lebih setara dan adil.
Dengan demikian, pekerja rumah tangga adalah kelompok yang sangat rentan terhadap eksploitasi dan pelanggaran hak di Indonesia. Perspektif feminis, seperti yang diusung oleh bell hooks, menyoroti pentingnya melawan ketidakadilan ini dengan mengakui pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan formal yang layak dihargai dan dilindungi.
Kasus Erwiana Sulistyaningsih menunjukkan bagaimana kekerasan dan eksploitasi dapat terjadi dalam ketiadaan perlindungan hukum.
Pengesahan RUU PPRT adalah langkah penting untuk memastikan keadilan sosial dan kesetaraan gender. RUU ini akan memberikan perlindungan hukum bagi PRT, meningkatkan kondisi kerja mereka, dan menghapus stigma negatif terhadap pekerjaan domestik.
Dengan demikian, perjuangan untuk pengesahan RUU ini harus menjadi prioritas dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.
Referensi
- hooks, bell. Feminism is for Everybody: Passionate Politics. South End Press, 2000.
- Komnas Perempuan. Satu Suara Wujudkan Cita-Cita untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, 2024. https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-peringatan-26-tahun-komnas-perempuan
JALA PRT. Statistik Pelanggaran Hak PRT di Indonesia, 2023.