web analytics
Connect with us

Opini

Catatan Pengalaman Kongres Ulama Perempuan Indonesia

Published

on

Kongres Ulama Perempuan. Sumber gambar: https://www.halallifestyle.id
Waktu dibaca: 6 menit
Rindang Farihah

Rindang Farihah

Oleh Rindang Farihah (Direktur Mitra Wacana WRC)

Apa yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini hanyalah catatan sederhana selama mengikuti Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang berlangsung beberapa waktu pada tanggal 25-27 April 2017. Dalam kongres ini, tampak hadir para ulama perempuan dari berbagai wilayah di Indonesia. Para ulama laki-laki pun banyak yang tertarik menghadiri perhelatan akbar ini.

Selama ini, masih ada pandangan di tengah masyarakat bahwa perempuan sebagai sumber masalah. Sehingga ada upaya dari pihak – pihak tertentu yang berusaha melakukan kontrol terhadap perempuan agar tidak menimbulkan masalah di masyarakat. Beberapa penafsiran agama yang belum sepenuhnya adil gender adalah salah satu faktor yang mengakibatkan penderitaan bagi kaum perempuan. Sebagai contoh, terungkapnya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan tidak bisa dibantah karena sumbangan dari penafsiran teks-teks agama yang tidak adil gender. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT); praktik poligami, pemukulan terhadap istri yang dianggap membangkang, serta upaya pembatasan ruang gerak perempuan (istri) – pembatasan baik dalam berbusana atau keluar rumah (aktif di wilayah publik) dikarenakan hanya dipandang sebagai perempuan dan perempuan sumber fitnah.

Sejak disahkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah dengan mudah dapat dijumpai peraturan daerah bernuansa syari’ah (Islam). Di era otonomi daerah di mana pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh dalam penyelenggaraan pemerintahan berskala lokal daerah. Dan, kewenangan ini mengakibatkan munculnya kebijakan-kebijakan baru di hampir semua daerah. Namun patut disayangkan beberapa pemerintah daerah tampak kehilangan orientasinya. Sebagai pemegang wewenang di wilayah daerah, pemerintah daerah memiliki kewajiban mewujudkan kesejahteraan sosial dengan pemenuhan kebutuhan dasar warganya. Mereka juga berkewajiban mengupayakan terwujudnya jaminan kebebasan dan perlindungan bagi warganya. Namun demikian, pemerintah justru membuat regulasi yang dapat dikatakan diskriminatif dan tidak adil. Hal ini bisa kita lihat adanya tren pengesahan perda syariah yang kemudian kita menyebutnya sebagai perda diskrimintif. Jika ditelisik, regulasi berskala lokal ini pada dasarnya merupakan upaya legalisasi negara atas tafsir keagamaan yang tidak adil terhadap kelompok minoritas keagamaan, namun yang paling utama terhadap perempuan.

Saya bisa sebut beberapa contohnya; peraturan daerah pelarangan pelacuran Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Pelarangan Pelacuran (yang bisa merestriksi perempuan keluar rumah di malam hari), perda pewajiban memakai jilbab di Bulukumba, qanun khalwat di Aceh dan lain-lain. Semua regulasi tersebut berdampak pada pembatasan ruang gerak perempuan. kasus salah tangkap terjadi ditangerang, menimpa seorang karyawati perempuan, lebih menyedihkan lagi adalah kasus di Aceh. Kasus khalwat (berdua di suatu tempat dimana tidak ada orang lain) yang mana seorang perempuan yang mengalami kekerasan seksual oleh sekelompok orang yang sebelumnya melakukan penggerebekan kepada pasangan yang diduga melakukan khalwat. Data ini menunjukkan, lagi-lagi, perempuan menjadi korban dari sebuah kebijakan.

Kekerasan terhadap perempuan juga menimpa perempuan yang hidup di wilayah konflik perebutan lahan. Konflik ini biasanya terjadi dengan pemodal yang ingin melakukan penambangan dan perusakan lingkungan dengan dalih eksplorasi untuk kesejahteraan rakyat. Peristiwa Kendeng di Jawa Tengah adalah contoh di mana para perempuannya dengan mati-matian melakukan perlawanan demi mempertahankan tanah miliknya agar tidak dirusak oleh para pemodal. Perlawanan mereka telah mengajarkan kepada kita pentingnya mempertahankan lahan, menjaga aset sumber daya alam agar terhindar bencana alam.

Sayangnya, perjuangan perempuan sadar lingkungan ini masih minim mendapatkan dukungan. Saya merasa, situasi seperti ini merupakan akibat dari kurang menggeloranya kesadaran masyarakat menyangkut persoalan sumber daya alam. Ditambah lagi, konflik lahan biasanya terjadi di daerah yang relatif terpencil, jauh dari akses media sehingga dukungan media sebagai upaya advokasi masih minim.

Persoalan – persoalan di atas hanyalah sejumput pasir di atas gurun. Saya percaya sejatinya masih banyak persoalan perempuan dan kelompok terpinggirkan lainnya yang belum terselesaikan namun perlu mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Tidak hanya negara namun juga tokoh agama dan tokoh masyarakat. Penting disadari bahwa persoalan perempuan adalah persoalan kemanusiaan dan keagamaan.

Harus jujur diakui, saat ini persoalan perempuan kerap berkaitan dengan kehidupan beragamanya. Ajaran agama yang mengajarkan untuk mengangkat derajat dan memuliakan manusia (baca: perempuan) sebagai kholifah fil ardh (pemakmur di muka bumi ini) justru membelenggu perempuan, dan menjadikannya sebagai obyek, terdiskriminasi dan tersubordinasi. Pandangan seperti ini sedang dan perlu terus menerus kita kampanyekan secara luas agar muncul kesadaranserta kepedulian dari semua pihak.

Meneguhkan kembali peran ulama perempuan

Hal yang patut membanggakan kita semua adalah KUPI dilakukan pertama kali dan dihadiri ulama-ulama perempuan yang berasal dari negara-negara di Asia. Saya melihat sekurang-kurangnya tujuh ratusan ulama berkumpul di sana, kebanyakan perempuan. Hal ini tentu menunjukkan bahwa banyak perempuan yang memiliki kapasitas keilmuan dan kesadaran – jika banyak persoalan umat yang membutuhkan jawaban. Agaknya KUPI menjawab situasi ini secara tepat melalui tema yang dipilih; meneguhkan kembali peran ulama perempuan. Karena peran mereka selama ini hampir tidak terlihat dan seakan tenggelam dalam arus peradaban.

Pada kongres ini pemikiran dan gagasan dipertemukan dan diperdebatkan dalam format pencarian solusi berbasis kebangsaan dan kemanusiaan. Meskipun, dalam forum ini sempat muncul perdebatan seputar definisi ulama. Tarik ulur tak bisa dielakkan oleh karena banyak peserta yang masih meragukan kapasitas masing-masing. Memang, selama ini kata ulama kerap merujuk pada kata ‘alim, yaitu seorang yang memiliki pengetahuan, ulama adalah orang yang dianggap menguasai ilmu-ilmu agama Islam. Sehingga wajar jika sempat terjadi kegalauan di antara para peserta terkait apakah mereka layak menjadi peserta dan disebut ulama? Karena, saya sendiri pada awalnya merasa tidak pantas menjadi peserta kongres, dan sempat ingin mendaftarkan diri sebagai peninjau seperti halnya teman-teman aktifis perempuan dan para ulama laki-laki yang menghadiri kegiatan kongres.

Dalam kongres ini, sempat muncul gagasan mendefinisikan ulang arti ulama (seseorang yang memiliki pengetahuan dan keahlian tertentu dan menggunakan keahlian tersebut untuk kemaslahatan umat). Akan tetapi bagi saya, merujuk pada fiqih sosial yang dikenalkan oleh al mukarrom alm. KH. Sahal Mahfudz. Beliau berpendapat, fiqh sebagai hukum islam sudah seharusnya mengalami reinterpretasi makna atas teks yang ada dan disesuaikan dengan konteks sosial. Fiqih menurutnya perlu dihadirkan sebagai panduan etika sosial kemasyarakatan. Fiqih sosial bahkan kadangkala hadir sebagai kritik dan kontrol atas penyimpangan yang terjadi akibat kemerosotan perilaku beragama.

Dari sinilah muncul istilah kesalehan individual dan kesalehan sosial. Ulama memiliki peran penting dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Selain itu, merujuk pada Imam As-subki bahwa orang yang melakukan ijtihad (usaha sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al- Quran maupun Hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang) tidak harus selalu laki-laki, boleh perempuan asal memiliki kualifikasi seorang mujtahid.

Desa dan ulama perempuan

Terdapat sembilan tema yang menjadi bahan untuk merumuskan pandangan keagamaan dan rekomendasi ulama dalam KUPI. Masing-masing peserta dipersilahkan memilih isu sesuai dengan konsen dan ketertarikannya. Saya sendiri memilih tema pemberdayaan perempuan untuk pembangunan desa yang berkeadilan: perspektif ulama perempuan. Bagi saya, persoalan-persoalan yang ada di desa merupakan cerminan dan cikal bakal persoalan yang dihadapi bangsa ini. Artinya, Jika negara merupakan hulu maka desa adalah hilirnya. Apabila persoalan bisa diselesaikan di tingkat desa maka persoalan dapat dicegah agar tidak membesar.

Sesuai dengan spirit disahkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa semua warga desa memiliki kewajiban untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan penganggaran pembangunan desa. Sayangnya selama ini, proses perencanaan penganggaran pembangunan desa banyak mengeksklusi banyak kelompok, dan bahkan tidak sedikit yang tertinggal dalam implementasi pembangunan desa.

Persoalan-persoalan di desa sama rumitnya dengan persoalan di level kenegaraan, hanya saja yang membedakan adalah skalanya, level desa harusnya lebih mudah untuk diselesaikan. Problem pelayanan kebutuhan dasar, pemenuhan hak kesehatan, pendidikan dan layanan administrasi kependudukan masih sulit di akses. Belum selesai persoalan pemenuhan kebutuhan dasar, kita dihadapkan pada persoalan radikalisme di desa. Pencegahan radikalisme ini juga harus menjadi prioritas ulama perempuan dari berbagai latar belakang organisasi keagamaan yang ada di desa.

Pertanyaannya adalah sejauh mana peran ulama perempuan di desa atau mungkin pertanyaan yang hampir sama yaitu sejauh mana eksistensi ulama perempuan di desa? Mampukah ulama perempuan menjadi garda terdepan dalam menangkal radikalisme di desa? Selain mendorong pemerintah desa melaksanakan pemerintahan desa yang inklusif dan akuntabel agar tidak ada warganya yang tertinggal dalam proses pembangunan desa.

Teknologi adalah kunci

Satu tema yang menurut saya penting dan belum menjadi fokus pembahasan dalam KUPI adalah mengenai pemanfaatkan teknologi informasi dalam berdakwah. Menurut saya jika boleh disebut sebagai jihad, maka jihad media ini merupakan kewajiban – sebagai tantangan dan juga peluang.

Kita perlu menyadari perang ide dan gagasan akhir-akhir ini terjadi media sosial. Jika media teknologi informasi melalui aplikasi dan media sosial menjadi arena pertarungan, maka kita perlu menyiapkan diri. Sebagai alat kampanye dan advokasi, media penting dan genting bisa kita manfaatkan, agar tidak dikontrol pihak-pihak yang berseberangan ideologi dengan apa yang diperjuangan ulama perempuan Indonesia.

Akhir kata, saya ucapkan selamat dan sukses kepada Rahima Rumah Bersama, Alimat, Yayasan Fahmina sebagai penyelenggara dan Pondok Pesantren Kebon Jambu Al islamiy selaku tuan rumah. KUPI tidak hanya ajang berbagi ilmu dan pengalaman, mempertemukan ide dan gagasan, akan tetapi telah berhasil mempertemukan para ulama perempuan dengan latar belakang organisasi keagamaan yang beragam namun dengan tekad dan ikrar yang satu yaitu membebaskan umat manusia dari segala bentuk ketidak adilan atas dasar agama, ras, bangsa, termasuk jenis kelamin.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Bentuk-Bentuk Kekerasan di Tempat Kerja

Published

on

Sumber: Freepik
Waktu dibaca: 2 menit

Oleh Wahyu Tanoto

Menurut studi yang dilakukan oleh Equal Employment Opportunity Commission (EEOC) pada 2016 di Amerika Serikat, sekitar 75% orang yang mengalami pelecehan di tempat kerja tidak melaporkan kejadian kepada manajer, supervisor, atau perwakilan serikat pekerja. Salah satu alasan utama adalah karena merasa takut akan keamanan kerja serta takut kehilangan sumber pendapatan mereka. Selain itu ada beberapa faktor lain, seperti:

  1. Faktor relasi kuasa. Salah satu pihak memiliki kekuatan, posisi atau jabatan yang lebih tinggi atau dominan dibandingkan korban. Misalnya, antara bos dengan karyawan.
  2. Kebijakan perlindungan pekerja masih tidak jelas. Absennya perlindungan terhadap korban dapat menyebabkan korban merasa takut untuk melapor karena khawatir pelaku akan balas dendam dan melakukan kekerasan yang lebih parah.
  3. Mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual yang tidak tersedia. Misalnya, perusahaan belum memiliki Standard Operating Procedure (SOP) mengenai kekerasan seksual, sehingga tidak ada jalur pelaporan atau sanksi yang jelas.
  4. Budaya yang kerap menyalahkan korban, seperti: “Kamu sih ke kantor pakai baju seperti itu!” “Kamu ngapain memangnya sampai bos marah begitu?”

Namun, kemungkinan lain adalah karena banyak orang belum memahami atau tidak yakin perilaku apa saja yang melanggar batas dan dapat dikategorikan sebagai pelecehan atau kekerasan. Maka dari itu, yuk kita bahas apa saja bentuk-bentuk pelecehan dan kekerasan di tempat kerja!

Kekerasan verbal

Kekerasan verbal termasuk ucapan yang merendahkan, melakukan gerakan yang ofensif, memberikan kritik yang tidak masuk akal, memberikan cercaan atau komentar yang menyakitkan, serta melontarkan lelucon yang tidak sepantasnya. Beberapa contohnya adalah:

  • Mengirim email dengan lelucon atau gambar yang menyinggung identitas seseorang, seperti identitas gender, orientasi seksual, ras, atau agama.
  • Berulang kali meminta kencan atau ajakan seksual, baik secara langsung atau melalui pesan.
  • Membuat komentar yang menghina tentang disabilitas seseorang.
  • Mengolok-olok aksen berbicara (logat) seseorang.

Kekerasan psikologis

Perilaku berulang atau menjengkelkan yang melibatkan kata-kata, perilaku, atau tindakan yang menyakitkan, menjengkelkan, memalukan, atau menghina seseorang. Ini termasuk:

  • Mengambil pengakuan atas pekerjaan orang lain.
  • Menuntut hal-hal yang mustahil.
  • Memaksakan tenggat waktu (deadline) yang tidak masuk akal pada karyawan tertentu.
  • Secara terus-menerus menuntut karyawan untuk melakukan tugas-tugas merendahkan yang berada di luar lingkup pekerjaannya.

Kekerasan fisik

Pelecehan di tempat kerja yang melibatkan ancaman atau serangan fisik, termasuk sentuhan yang tidak diinginkan. Misalnya:

  • Menyentuh pakaian, tubuh, baju, atau rambut orang lain.
  • Melakukan penyerangan fisik. Misalnya: memukul, mencubit, atau menampar.
  • Melakukan ancaman kekerasan.
  • Merusak properti pribadi. Misalnya: mengempeskan ban kendaraan, melempar ponsel orang lain.

Kekerasan berbasis digital

Ini merupakan berbagai bentuk kekerasan atau pelecehan yang dilakukan di ranah daring (online), seperti:

  • Memposting ancaman atau komentar yang merendahkan di media sosial.
  • Membuat akun palsu dengan tujuan merundung seseorang secara online.
  • Membuat tuduhan palsu.
  • Menyebarkan foto atau rekaman orang lain yang bersifat privat atau bernuansa seksual.

Kekerasan seksual

  • Rayuan seksual yang tidak diinginkan.
  • Melakukan sentuhan yang tidak pantas atau tidak diinginkan.
  • Melontarkan lelucon bernuansa seksual.
  • Membagikan media pornografi.
  • Mengirim pesan yang bersifat seksual.
  • Pemerkosaan dan kegiatan seksual lain yang dilakukan dengan paksaan.
  • Meminta hubungan seksual sebagai imbalan atau promosi pekerjaan.

Jika kamu atau teman kerjamu mengalami salah satu atau beberapa bentuk kekerasan seperti yang disebutkan di atas dan membutuhkan bantuan lembaga layanan, kamu bisa cek website https://carilayanan.com/ atau belipotbunga.com ya. Jangan ragu untuk segera mengontak lembaga layanan, karena mereka ada untuk membantu kamu!

Sumber

 https://carilayanan.com/kekerasan-di-tempat-kerja/

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending

EnglishGermanIndonesian