Opini
Catatan Pengalaman Kongres Ulama Perempuan Indonesia
Published
7 years agoon
By
Mitra WacanaOleh Rindang Farihah (Direktur Mitra Wacana WRC)
Apa yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini hanyalah catatan sederhana selama mengikuti Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang berlangsung beberapa waktu pada tanggal 25-27 April 2017. Dalam kongres ini, tampak hadir para ulama perempuan dari berbagai wilayah di Indonesia. Para ulama laki-laki pun banyak yang tertarik menghadiri perhelatan akbar ini.
Selama ini, masih ada pandangan di tengah masyarakat bahwa perempuan sebagai sumber masalah. Sehingga ada upaya dari pihak – pihak tertentu yang berusaha melakukan kontrol terhadap perempuan agar tidak menimbulkan masalah di masyarakat. Beberapa penafsiran agama yang belum sepenuhnya adil gender adalah salah satu faktor yang mengakibatkan penderitaan bagi kaum perempuan. Sebagai contoh, terungkapnya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan tidak bisa dibantah karena sumbangan dari penafsiran teks-teks agama yang tidak adil gender. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT); praktik poligami, pemukulan terhadap istri yang dianggap membangkang, serta upaya pembatasan ruang gerak perempuan (istri) – pembatasan baik dalam berbusana atau keluar rumah (aktif di wilayah publik) dikarenakan hanya dipandang sebagai perempuan dan perempuan sumber fitnah.
Sejak disahkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah dengan mudah dapat dijumpai peraturan daerah bernuansa syari’ah (Islam). Di era otonomi daerah di mana pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh dalam penyelenggaraan pemerintahan berskala lokal daerah. Dan, kewenangan ini mengakibatkan munculnya kebijakan-kebijakan baru di hampir semua daerah. Namun patut disayangkan beberapa pemerintah daerah tampak kehilangan orientasinya. Sebagai pemegang wewenang di wilayah daerah, pemerintah daerah memiliki kewajiban mewujudkan kesejahteraan sosial dengan pemenuhan kebutuhan dasar warganya. Mereka juga berkewajiban mengupayakan terwujudnya jaminan kebebasan dan perlindungan bagi warganya. Namun demikian, pemerintah justru membuat regulasi yang dapat dikatakan diskriminatif dan tidak adil. Hal ini bisa kita lihat adanya tren pengesahan perda syariah yang kemudian kita menyebutnya sebagai perda diskrimintif. Jika ditelisik, regulasi berskala lokal ini pada dasarnya merupakan upaya legalisasi negara atas tafsir keagamaan yang tidak adil terhadap kelompok minoritas keagamaan, namun yang paling utama terhadap perempuan.
Saya bisa sebut beberapa contohnya; peraturan daerah pelarangan pelacuran Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Pelarangan Pelacuran (yang bisa merestriksi perempuan keluar rumah di malam hari), perda pewajiban memakai jilbab di Bulukumba, qanun khalwat di Aceh dan lain-lain. Semua regulasi tersebut berdampak pada pembatasan ruang gerak perempuan. kasus salah tangkap terjadi ditangerang, menimpa seorang karyawati perempuan, lebih menyedihkan lagi adalah kasus di Aceh. Kasus khalwat (berdua di suatu tempat dimana tidak ada orang lain) yang mana seorang perempuan yang mengalami kekerasan seksual oleh sekelompok orang yang sebelumnya melakukan penggerebekan kepada pasangan yang diduga melakukan khalwat. Data ini menunjukkan, lagi-lagi, perempuan menjadi korban dari sebuah kebijakan.
Kekerasan terhadap perempuan juga menimpa perempuan yang hidup di wilayah konflik perebutan lahan. Konflik ini biasanya terjadi dengan pemodal yang ingin melakukan penambangan dan perusakan lingkungan dengan dalih eksplorasi untuk kesejahteraan rakyat. Peristiwa Kendeng di Jawa Tengah adalah contoh di mana para perempuannya dengan mati-matian melakukan perlawanan demi mempertahankan tanah miliknya agar tidak dirusak oleh para pemodal. Perlawanan mereka telah mengajarkan kepada kita pentingnya mempertahankan lahan, menjaga aset sumber daya alam agar terhindar bencana alam.
Sayangnya, perjuangan perempuan sadar lingkungan ini masih minim mendapatkan dukungan. Saya merasa, situasi seperti ini merupakan akibat dari kurang menggeloranya kesadaran masyarakat menyangkut persoalan sumber daya alam. Ditambah lagi, konflik lahan biasanya terjadi di daerah yang relatif terpencil, jauh dari akses media sehingga dukungan media sebagai upaya advokasi masih minim.
Persoalan – persoalan di atas hanyalah sejumput pasir di atas gurun. Saya percaya sejatinya masih banyak persoalan perempuan dan kelompok terpinggirkan lainnya yang belum terselesaikan namun perlu mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Tidak hanya negara namun juga tokoh agama dan tokoh masyarakat. Penting disadari bahwa persoalan perempuan adalah persoalan kemanusiaan dan keagamaan.
Harus jujur diakui, saat ini persoalan perempuan kerap berkaitan dengan kehidupan beragamanya. Ajaran agama yang mengajarkan untuk mengangkat derajat dan memuliakan manusia (baca: perempuan) sebagai kholifah fil ardh (pemakmur di muka bumi ini) justru membelenggu perempuan, dan menjadikannya sebagai obyek, terdiskriminasi dan tersubordinasi. Pandangan seperti ini sedang dan perlu terus menerus kita kampanyekan secara luas agar muncul kesadaranserta kepedulian dari semua pihak.
Meneguhkan kembali peran ulama perempuan
Hal yang patut membanggakan kita semua adalah KUPI dilakukan pertama kali dan dihadiri ulama-ulama perempuan yang berasal dari negara-negara di Asia. Saya melihat sekurang-kurangnya tujuh ratusan ulama berkumpul di sana, kebanyakan perempuan. Hal ini tentu menunjukkan bahwa banyak perempuan yang memiliki kapasitas keilmuan dan kesadaran – jika banyak persoalan umat yang membutuhkan jawaban. Agaknya KUPI menjawab situasi ini secara tepat melalui tema yang dipilih; meneguhkan kembali peran ulama perempuan. Karena peran mereka selama ini hampir tidak terlihat dan seakan tenggelam dalam arus peradaban.
Pada kongres ini pemikiran dan gagasan dipertemukan dan diperdebatkan dalam format pencarian solusi berbasis kebangsaan dan kemanusiaan. Meskipun, dalam forum ini sempat muncul perdebatan seputar definisi ulama. Tarik ulur tak bisa dielakkan oleh karena banyak peserta yang masih meragukan kapasitas masing-masing. Memang, selama ini kata ulama kerap merujuk pada kata ‘alim, yaitu seorang yang memiliki pengetahuan, ulama adalah orang yang dianggap menguasai ilmu-ilmu agama Islam. Sehingga wajar jika sempat terjadi kegalauan di antara para peserta terkait apakah mereka layak menjadi peserta dan disebut ulama? Karena, saya sendiri pada awalnya merasa tidak pantas menjadi peserta kongres, dan sempat ingin mendaftarkan diri sebagai peninjau seperti halnya teman-teman aktifis perempuan dan para ulama laki-laki yang menghadiri kegiatan kongres.
Dalam kongres ini, sempat muncul gagasan mendefinisikan ulang arti ulama (seseorang yang memiliki pengetahuan dan keahlian tertentu dan menggunakan keahlian tersebut untuk kemaslahatan umat). Akan tetapi bagi saya, merujuk pada fiqih sosial yang dikenalkan oleh al mukarrom alm. KH. Sahal Mahfudz. Beliau berpendapat, fiqh sebagai hukum islam sudah seharusnya mengalami reinterpretasi makna atas teks yang ada dan disesuaikan dengan konteks sosial. Fiqih menurutnya perlu dihadirkan sebagai panduan etika sosial kemasyarakatan. Fiqih sosial bahkan kadangkala hadir sebagai kritik dan kontrol atas penyimpangan yang terjadi akibat kemerosotan perilaku beragama.
Dari sinilah muncul istilah kesalehan individual dan kesalehan sosial. Ulama memiliki peran penting dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Selain itu, merujuk pada Imam As-subki bahwa orang yang melakukan ijtihad (usaha sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al- Quran maupun Hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang) tidak harus selalu laki-laki, boleh perempuan asal memiliki kualifikasi seorang mujtahid.
Desa dan ulama perempuan
Terdapat sembilan tema yang menjadi bahan untuk merumuskan pandangan keagamaan dan rekomendasi ulama dalam KUPI. Masing-masing peserta dipersilahkan memilih isu sesuai dengan konsen dan ketertarikannya. Saya sendiri memilih tema pemberdayaan perempuan untuk pembangunan desa yang berkeadilan: perspektif ulama perempuan. Bagi saya, persoalan-persoalan yang ada di desa merupakan cerminan dan cikal bakal persoalan yang dihadapi bangsa ini. Artinya, Jika negara merupakan hulu maka desa adalah hilirnya. Apabila persoalan bisa diselesaikan di tingkat desa maka persoalan dapat dicegah agar tidak membesar.
Sesuai dengan spirit disahkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa semua warga desa memiliki kewajiban untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan penganggaran pembangunan desa. Sayangnya selama ini, proses perencanaan penganggaran pembangunan desa banyak mengeksklusi banyak kelompok, dan bahkan tidak sedikit yang tertinggal dalam implementasi pembangunan desa.
Persoalan-persoalan di desa sama rumitnya dengan persoalan di level kenegaraan, hanya saja yang membedakan adalah skalanya, level desa harusnya lebih mudah untuk diselesaikan. Problem pelayanan kebutuhan dasar, pemenuhan hak kesehatan, pendidikan dan layanan administrasi kependudukan masih sulit di akses. Belum selesai persoalan pemenuhan kebutuhan dasar, kita dihadapkan pada persoalan radikalisme di desa. Pencegahan radikalisme ini juga harus menjadi prioritas ulama perempuan dari berbagai latar belakang organisasi keagamaan yang ada di desa.
Pertanyaannya adalah sejauh mana peran ulama perempuan di desa atau mungkin pertanyaan yang hampir sama yaitu sejauh mana eksistensi ulama perempuan di desa? Mampukah ulama perempuan menjadi garda terdepan dalam menangkal radikalisme di desa? Selain mendorong pemerintah desa melaksanakan pemerintahan desa yang inklusif dan akuntabel agar tidak ada warganya yang tertinggal dalam proses pembangunan desa.
Teknologi adalah kunci
Satu tema yang menurut saya penting dan belum menjadi fokus pembahasan dalam KUPI adalah mengenai pemanfaatkan teknologi informasi dalam berdakwah. Menurut saya jika boleh disebut sebagai jihad, maka jihad media ini merupakan kewajiban – sebagai tantangan dan juga peluang.
Kita perlu menyadari perang ide dan gagasan akhir-akhir ini terjadi media sosial. Jika media teknologi informasi melalui aplikasi dan media sosial menjadi arena pertarungan, maka kita perlu menyiapkan diri. Sebagai alat kampanye dan advokasi, media penting dan genting bisa kita manfaatkan, agar tidak dikontrol pihak-pihak yang berseberangan ideologi dengan apa yang diperjuangan ulama perempuan Indonesia.
Akhir kata, saya ucapkan selamat dan sukses kepada Rahima Rumah Bersama, Alimat, Yayasan Fahmina sebagai penyelenggara dan Pondok Pesantren Kebon Jambu Al islamiy selaku tuan rumah. KUPI tidak hanya ajang berbagi ilmu dan pengalaman, mempertemukan ide dan gagasan, akan tetapi telah berhasil mempertemukan para ulama perempuan dengan latar belakang organisasi keagamaan yang beragam namun dengan tekad dan ikrar yang satu yaitu membebaskan umat manusia dari segala bentuk ketidak adilan atas dasar agama, ras, bangsa, termasuk jenis kelamin.
You may like
Opini
Dasar-Dasar Ilmu Hukum (2) : Urgensi, Pengertian dan Kaidah Hukum
Published
3 weeks agoon
12 September 2024By
Mitra WacanaDewasa ini, diera kompleksitas kehidupan umat manusia, keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat tentu sangat dibutuhkan. Selain sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan, kebahagiaan, dan kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hukum juga bisa menjadi instrumen dalam mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera _(tool of social engineering)_ dalam berbagai aspek, termasuk dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik.
Secara filosofis historis, keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat memang tidak dapat berdiri sendiri. Artinya, hukum memiliki relasi yang erat dengan kehidupan masyarakat itu sendiri. Berkaitan dengan ini, kita mengenal adagium yang berbunyi Ubi Societas Ibi Ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Dalam kenyataannya, hukum senantiasa mengikuti perkembangan pola perilaku yang ada dalam masyarakat, begitupun sebaliknya. Menurut Drs. Sudarsono, S.H., Keterhubungan antara hukum dan masyarakat bertalian erat dengan adanya beberapa kebutuhan dasar manusia yang harus dilindungi oleh hukum. Diantaranya adalah kebutuhan fisiologis (makan-minum), kebutuhan keamanan, kerja sama, kehormatan diri, dan kebutuhan eksistensial. (Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, 1991 : hal. 46).
Lebih lanjut, Sudikno Mertokusumo dalam bukunya berjudul Mengenal Hukum Suatu Pengantar mengetengahkan bahwa sejatinya manusia adalah makhluk yang sepanjang hidupnya dibarengi oleh berbagai macam kepentingan. Dan konsekuensi logis sebagai penyandang kepentingan, manusia menginginkan agar kepentingan-kepentingannya terlindungi dari bahaya yang mengancamnya. Oleh karena itu dibutuhkan adanya hukum atau pedoman hidup yang bisa mengatur secara proporsional kehidupan masyarakat, hal ini dilakukan untuk menghindari adanya tingkah laku seorang manusia yang secara potensial maupun aktual merugikan manusia lain. (Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, 2010 : 6).
Berdasarkan urgensi yang telah diuraikan diatas, kita bisa menarik suatu konklusi dengan mengartikan hukum sebagai sekumpulan pedoman hidup yang mengatur tata tertib suatu masyarakat secara seimbang dengan tujuan melindungi kepentingan masyarakat yang ada. Berkaitan dengan hal ini, Sudikno menjelaskan bahwa hukum adalah keseluruhan kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan suatu sanksi bagi yang melanggarnya. Lebih lanjut, hukum menurut Jeffrey Brand adalah aturan yang disepakati secara bersama untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. (Jeffrey Brand, Philosphy Of Law, 1976 : hal. 58).
Menurut Drs. C. Utrecht, S.H., Hukum adalah himpunan peraturan yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat yang harus ditaati oleh masyarakat tersebut. Pengertian ini hampir sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Rosceo Pound yang mengartikan hukum sebagai keseluruhan norma-norma yang mengikat hubungan kepentingan antar manusia dalam masyarakat. Dalam kenyataannya memang, ada banyak sekali definisi hukum dari para ahli yang mewarnai perkembangan ilmu hukum, namun para ahli tersebut juga memberikan definisi yang berbeda-beda. Sehingga tidak ada satu definisi yang bisa diafirmasi secara mutlak sebagai definisi tunggal tentang hukum.
Sebagaimana yang telah di uraikan sebelumnya, bahwa untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang tertib dan berkeadilan, dibutuhkan suatu pedoman hidup atau kaidah sosial yang disepakati secara bersama-sama sebagai patokan dalam bertingkah laku. Pada hakikatnya, kaidah sosial merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnya dilakukan dan sikap yang tidak seharusnya dilakukan dalam masyarakat. (Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, 1987 : hal. 9). Dalam kehidupan masyarakat, paling tidak ditemukan empat kaidah sosial, masing-masing adalah kaidah agama, kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan, dan kaidah hukum. Bila kaidah agama dan kaidah kesusilaan bersifat otonom (berasal dari dalam diri manusia), maka kaidah kesopanan dan kaidah hukum bersifat heteronom (berasal dari luar diri manusia).
Secara sederhana, ada dua alasan mengapa kaidah hukum masih dibutuhkan padahal sudah ada tiga kaidah sosial sebelumnya. Alasan pertama, sanksi kaidah sosial lainnya (kaidah agama, kaidah kesusilaan, dan kaidah kesopanan) dianggap kurang tegas dan kurang dirasakan secara langsung. Dimana disisi lain sanksi adalah elemen esensial dalam upaya menegakkan hukum. Atas dasar kelemahan ketiga kaidah sosial tersebut, sehingga kaidah hukum diperlukan agar kepatuhan masyarakat terhadap hukum dapat terimplementasi secara optimal. Sebagaimana adagium obedientia est legis essential (kepatuhan merupakan inti dari hukum). Alasan yang kedua adalah kaidah hukum dibutuhkan secara normatif untuk melindungi kepentingan pribadi dan masyarakat secara proporsional. (Dasar-Dasar Ilmu Hukum, 2021 : hal. 12).