web analytics
Connect with us

Opini

INDONESIA DARURAT KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

Published

on

ilustrasi:perlindungan

Menulis Opini

Oleh Amin Nugroho

Akhir-akhir ini publik tengah diramaikan dengan banyaknya kasus kekerasan yang menimpa perempuan. Kasus-kasus tersebut antara lain pemerkosaan dan pembunuhan yang dialami YY di Bengkulu, pemerkosaan yang dialami gadis berinisial SC di Manado, pembunuhan yang dialami salah satu dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, penganiayaan yang dialami oleh seorang remaja dan mahasiswa di Yogyakarta, dan pembunuhan salah satu mahasiswi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Munculnya kasus ini ke permukaan juga dalam waktu yang hampir bersamaan. Bahkan kasus pembunuhan yang terjadi di Yogyakarta dan Medan waktunya bersamaan dengan momentum Hari Pendidikan Nasional. Lebih memprihatinkan lagi jika pelaku pemerkosaan dan pembunuhan di Bengkulu melibatkan remaja yang masih di bawah umur. Kasus pemerkosaan ada indikasi pelakunya melibatkan anggota kepolisian,Ironis memang. Hal ini membuktikan bahwa saat ini Indonesia masuk dalam taraf ‘darurat kekerasan terhadap perempuan’.

Kasus kekerasan terhadap perempuan bukan hanya pekerjaan rumah aparat pemerintah saja, tetapi juga milik kita bersama. Terlebih lagi kasus kekerasan ini melibatkan banyak mata rantai yang tidak bisa diurai hanya oleh satu pihak (baca: aparat penegak hukum). Mengutip pendapatnya Arif Sugeng Widodo dalam artikel yang berjudul “Meneropong Kekerasan pada Anak di Indonesia (di-posting di laman web Mitra Wacana Woman Resource Centre) bahwa kasus kekerasan ini memiliki akar permasalahan yang berbeda, sehingga masing-masing kasus tentu memiliki kekhasannya, termasuk langkah penyelesaiannya. Kita ambil contoh kasus pembunuhan yang dialami seorang mahasiswi Universitas Gadjah Mada yang dilatar belakangi kondisi ekonomi ekonomi yang ‘kepepet’, kemudian kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang dialami oleh YY disebabkan pelaku yang mabuk sehabis mengonsumsi minuman keras dan menonton tayangan video porno.

Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa hulu permasalahan ini adalah melemahnya moral generasi muda. Ketika berbicara masalah moral kita tidak bisa serta merta menyoroti institusi pendidikan dan keluarga saja, tetapi juga bagaimana sisi kehidupan sosial pelaku dan korban serta hukum yang berlaku di Indonesia. Kasus pemerkosaan di Manado yang melibatkan oknum kepolisian membuktikan bahwa masih ada pihak berwajib yang seharusnya melindungi masyarakat justru terlibat dalam tindakan yang tidak terpuji ini.

Dalam penyelesaian, penanggulangan, atau upaya meminimalisir kasus ini perlu sinergitas dari berbagai elemen. Pihak berwajib perlu bersikap tegas dalam menegakkan hukum terhadap pelaku tanpa pandang bulu. Tentu Indonesia sudah mempunyai perangkat hukum yang sangat jelas dalam menindak kekerasan. Di sinilah peran aparat berwajib untuk memberikan efek jera terhadap pelaku dan memberikan pelajaran kepada masyarakat bahwa tindakan kekerasan khususnya kekerasan terhadap perempuan tidak bisa dibenarkan. Kemudian pemerintah juga harus bertindak cepat dalam menanggulangi kasus ini melalui upaya penguatan dan pendidikan karakter lewat institusi pendidikan. Selain itu pemerintah juga harus melindungi korban dan pendampingan terhadap pelaku, khususnya yang masih di bawah umur.

Peran masyarakat bisa diwujudkan dalam dua lingkup. Lingkup pertama yaitu keluarga. Senada dengan pendapatnya Arif Sugeng, dalam lingkup ini sudah menjadi kewajiban bahwa keluarga mesti menanamkan nilai kebaikan dan pendidikan kepada anaknya, antara lain lewat aspek keagamaan, sosial budaya, ekonomi, dan psikologi, karena kita tahu bahwa pendidikan paling awal dan utama dimulai dari keluarga. Lingkup kedua yaitu masyarakat secara kolektif. Saat ini peran kelompok masyarakat sangat penting dalam memberikan penyuluhan dan pemahaman dalam menanggulangi kasus kekerasan terhadap perempuan, salah satu materi yang disampaikan berkaitan dengan gender. Lalu perlu pula wadah yang memberikan kegiatan positif bagi remaja untuk menanggulangi tindakan mengonsumsi miras dan narkoba yang berujung pada tindakan kekerasan terhadap perempuan.

Akhirnya kita tetap harus berdoa kepada Yang Maha Esa, bahwa upaya ini agar selalu kontinyu dan semua pihak dapat berjalan beriringan, agar akar permasalahan ini bisa segera terselesaikan, sehingga bangsa ini tidak semakin terjerat dalam kondisi gawat kekerasan terhadap perempuan.

*Penulis adalah alumni UIN Sunan Kalijaga Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Click with Caution: Keeping Indonesian Kids Safe Online

Published

on

Sumber: Freepik
 

Author: Sarah Crockett (Intern from Australia)

The world has become increasingly interconnected, with the use of smartphones and the internet skyrocketing globally. Children and young adults in particular are heavy users of social media and are at the forefront of digital usage. This rise in digital engagement has brought with it a host of opportunities, but also significant risks for young users. As children navigate the online world, they are increasingly exposed to dangers such as cyberbullying, online sexual exploitation, and harmful content. Addressing online safety is thus an urgent priority for all countries. However, Indonesian children in particular have a high rate of access to the internet and all of the potential accompanying issues. 
 
According to the 2023 report by Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), over 80% of children aged 10-17 in Indonesia have access to the internet, with the majority engaging through mobile devices. Popular platforms include TikTok, YouTube, WhatsApp, and Instagram, often used without adequate supervision. While internet use can support learning and creativity, it also poses challenges when digital literacy and parental guidance are lacking. Many parents are less, or totally unfamiliar with some or all of these platforms, making it difficult to warn against same of the dangers of online engagement.
 
Children in Indonesia face a range of online risks. Cyberbullying has become prevalent on social media and there is also a risk of online grooming and sexual exploitation. These issues are exacerbated by the anonymity and accessibility of online communication, the ability of individuals to hide their identity emboldens them in their actions. ECPAT Indonesia noted a significant rise in online child sexual exploitation cases during the COVID-19 pandemic. Exposure to harmful content, including pornography, hate speech, and graphic violence, is also widespread and frequently insufficiently regulated. Girls in particular are more at risk of facing online harassment and discrimination.
 
Indonesia has enacted several laws to address online risks, including Law No. 11/2008 on Electronic Information and Transactions and Law No. 35/2014 on Child Protection. While these frameworks provide a foundation for action, enforcement remains inconsistent, and child-specific digital protections are still evolving. The Ministry of Communication and Information (Kominfo) has launched digital literacy campaigns, but their reach and impact vary. Regional disparities and limited teacher training further constrain effective implementation.
 
To address this growing concern, the Indonesian government is preparing stronger safeguards for children on digital platforms. Inspired by recent steps taken by countries like Australia, Indonesia is considering a law that would restrict access to social media for users under the age of 16. The move follows increasing reports of online abuse and growing concerns among parents, educators, and child protection advocates. There has been a mixed response to this proposed safeguard, with some feeling it is overly restrictive and authoritarian while others feel it is a necessary measure to protect the mental health and safety of Indonesia’s children.
 
Kominfo is also working on interim child protection guidelines. These guidelines aim to regulate digital content, enforce stricter age verification mechanisms, and compel social media companies to take greater responsibility for harmful content on their platforms. While some critics worry about overregulation and the potential to limit young people’s access to information, many experts argue that the safety of children must come first. “Digital literacy alone is not enough,” says a child rights activist based in Jakarta. “We need infrastructure, policy, and corporate accountability to protect our children in cyberspace.”
 
There are various strategies that can be utilised to improve the safety of children online. In the home parents can be empowered with tools and knowledge about how to protect their children’s safety online through workshops. Schools can implement digital literacy programs into the curriculum to help children to understand the potential risks. Reporting systems for instances of online abuse can be created and made readily accessible and child-protection laws can also be enhance and updated to reflect the current online landscape.
 
Online safety for children in Indonesia is a pressing concern requiring coordinated action across sectors. With its growing digital youth population, Indonesia is well-positioned to lead regional efforts in child online protection. Prioritizing inclusive, culturally sensitive, and rights-based strategies will help ensure that all children can explore the digital world safely and confidently.
 
References
• APJII. (2023). Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet Indonesia.
• ECPAT Indonesia. (2020). Online Child Sexual Exploitation in Indonesia.
• Kominfo. (2023). Digital Literacy Campaigns.
• Raharjo, B. (2022). Digital Parenting in Indonesia: Challenges and Cultural Contexts.
• UNICEF Indonesia. (2021). Digital Literacy for Children and Adolescents in Indonesia.
• UNICEF Office of Research – Innocenti. (2020). Growing Up in a Connected World.
• UNESCO Jakarta. (2019). Safe Internet Use for Indonesian Youth.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending