web analytics
Connect with us

Opini

Mengkaji RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri

Published

on

protection
Nadlroh As Sariroh

Nadlroh As Sariroh

Oleh Nadlroh As Sariroh
(Pengurus Nasional Koalisi Perempuan Indonesia Kelompok Kepentingan Buruh Migran)

Pada saat ini diperkirakan jumlah buruh migran Indonesia di luar negeri sudah mencapai angka jutaan orang. Di tahun 2011, berdasarkan data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Ada sekitar 3,8 – 4 juta pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri. Di 2011 saja ada sekitar 581.081 pekerja migran Indonesia yang berangkat ke luar negeri. Di 2012, 5 negara tujuan terbesar adalah Malaysia, Taiwan, Hong Kong, Singapura, Arab Saudi. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga (lihat data BNP2TKI di 2010, 2011). Ada penurunan sedikit di 2012 namun angka pekerja “informal” masih signifikan. Berdasarkan data di tahun yang sama di 2011, Bank Indonesia menginformasikan bahwa pekerja migran mendatangkan US$ 6,7 milyar dalam bentuk remitansi ke Indonesia.

Sebagian besar perempuan buruh migran bekerja di sektor pekerja rumah tangga dan sisanya bekerja di sektor perkebunan, konstruksi, manufaktur, kesehatan dan pelaut. Semuanya dalam kategori buruh rendahan. Berdasarkan basis sosialnya, sebagian besar berasal dari pedesaan dengan tingkat pendidikan yang rendah. Kondisi ini menjauhkan mereka dari akses informasi dan memperbesar kerentanan mereka terhadap eksploitasi. Perempuan buruh migran mengalami diskriminasi dimanapun tempatnya. Di dalam negeri perempuan buruh migran diperlakukan sebagai komoditi dan warga negara kelas dua. Perempuan buruh migran mendapatkan perlakuan yang diskriminatif mulai dari saat perekrutan, di penampungan, pemberangkatan maupun saat kepulangan.

Minimnya instrumen perlindungan juga mejadi pemicu maraknya permasalahan yang menimpa perempuan buruh migran. Tak terhitung berapa perempuan buruh migran telah menjadi korban: trafficking (perdagangan manusia), mati, diperkosa, cacat, dianiaya, disiksa, disekap, gaji tidak dibayar, PHK dan lain sebaginya. Berbagai kasus yang menimpa para perempuan buruh migran mencerminkan betapa buramnya nasib perempuan buruh migran. Tersiksa di luar negeri, teraniaya dalam negeri sendiri. Untuk itu diperlukan organisasi yang kuat bagi perempuan buruh migran, agar bisa menjadi wadah dan tempat saling komunikasi antar buruh migran dalam mengatasi kondisi buruk yang dialami oleh buruh migran, mantan buruh migran, dan anggota keluarganya.

Berdasarkan pengalaman perempuan buruh migran menunjukkan bahwa, Pemerintah Indonesia belum serius melakukan pengawasan pada Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) “nakal” yang : memberikan informasi menyesatkan tentang pekerjaan perempuan buruh migran di negara tujuan; praktek percaloan dalam proses perekrutan dan penempatan; mengambil keuntungan dengan menarik biaya administrasi, pengurusan dokumen, penampungan dan pelatihan di luar pembiayaan resmi negara. Disamping itu, sebagian besar Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) masih kurang proaktif dalam memberikan perlindungan dan bantuan hukum bagi buruh migran Indonesia, yang menjadi korban eksploitasi dan kekerasan di negara tempat bekerja.

Sampai saat ini masih belum terlihat kesungguhan pemerintah dalam mengharmonisasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (Konvensi Internasional 1990) ke dalam revisi Undang-undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU No 39 Tahun 2004), kecenderungan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) memperkuat peran PJTKI serta Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) masih terlihat , dan justru melemahkan peran pemerintah dalam pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan buruh migran sebagai warga negara Indonesia.

Selain itu, pemerintah belum memberikan perlindungan sosial yang komprehensif bagi perempuan buruh migran dan keluarganya, terutama terkait berbagai bantuan sosial dan jaminan sosial bagi anak-anak yang ditinggalkannya di Indonesia, kejelasan status perkawinan buruh migran yang kawin di negara lain, kejelasan status kewarganegaraan dan pemenuhan Hak Anak bagi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan buruh migran yang dilakukan di Luar Negeri. Hal ini harus menjadikan pertimbangan dalam merumuskan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja ke Luar Negeri yang sedang dibahas oleh DPR. Untuk itu dalam RUU Perlindungan terhadap buruh migran Indonesia hendaknya memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal berikut ini:
• Perlindungan Buruh migran Indonesia ditujukan bagi buruh migran laki-laki dan buruh migran perempuan beserta keluarganya;
• Memperhatikan situasi dan kebutuhan khusus BMI perempuan yang bekerja di sektor domestik dan rentan terhadap kekerasan dan pelanggaran HAM serta tidak dilindungi oleh hukum;
• Memperhatikan situasi dan kebutuhan khusus buruh migran perempuan di berbagai sektor (sebagaimana tercantum di dalam UU terkait);
• Perlindungan BMI perempuan harus ditujukan untuk mencegah dan memberhentikan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan berbasis gender (termasuk dan tidak terbatas pada pelecehan seksual, perkosaan, perdagangan perempuan);
• Untuk kepentingan perlindungan perempuan harus ada pembatasan usia minimal (18 tahun keatas) untuk bekerja di luar negeri dan pencegahan terhadap segala bentuk pemalsuan/informasi yang salah terkait dengan identitas diri calon BMI;
• Kerentanan buruh migran perempuan dan anak perempuan terhadap kekerasan (fisik, psikis, seksual, ekonomi), eksploitasi (jenis pekerjaan, waktu kerja, seksual) dan diskriminasi (pangan yang tidak layak, kesempatan beribadah, hak atas privasi);
• Diskriminasi di bidang kesehatan sebelum keberangkatan, seperti sterilisasi paksa, pemeriksaan HIV/AIDS paksa. Pada saat sedang bekerja di luar negeri, BMI menghadapi minimnya akses terhadap layanan kesehatan;
• Sulitnya akses buruh migran perempuan terhadap pencatatan perkawinan (antar sesama buruh migran Indonesia, dengan buruh migran dari negara lain ataupun dengan warga negara setempat) sehingga mereka tidak memiliki dokumen bukti perkawinan yang sah;
• Anak-anak yang dilahirkan dari pasangan yang tidak memiliki dokumen bukti perkawinan tidak memiliki kejelasan status kewarganegaraan yang mengakibatkan pemenuhan hak dasar anak tidak terpenuhi (Akte kelahiran, pendidikan, kesehatan dan jaminan perlindungan sosial lainnya);
• Banyaknya kasus-kasus pemalsuan identitas diri anak (penambahan usia) sehingga anak-anak perempuan menjadi pekerja migran, terutama pekerja migran di sektor domestik dan bentuk pekerjaan terburuk bagi anak lainnya;
• Rendahnya perlindungan hukum dan fasilitas bantuan hukum bagi BMI perempuan dan anaknya yang mengalami permasalahan hukum.
• Sulitnya akses informasi tentang hak-hak buruh migran dan keluarganya, proses mekanisme perekrutan, penampungan, pelatihan, penempatan, dan pemulangan BMI, peraturan perundang-undangan terkait perlindungan buruh migran, keberadaan dan situasi BMI;
• Penghasilan buruh migran belum terkelola dengan baik oleh keluarganya sehingga penghasilan buruh migran kurang berkontribusi terhadap kesejahteraan keluarga secara berkelanjutan;
• Rendahnya akses bantuan hukum bagi keluarga BMI untuk menghadapi kasus hukum yang menimpa buruh migran di luar negeri.
• Keluarga BMI yang berada di negara dimana BMI bekerja
• Ketidakjelasan perlindungan hukum bagi perkawinan antar warga negara
• Adanya stigmatisasi pelabelan negatif sebagai penduduk atau keluarga ilegal
• Masyarakat berhak berpartisipasi untuk memonitor proses mekanisme perekrutan, penampungan, pelatihan, penempatan, dan pemulangan BMI, serta untuk perumusan dan pengambilan keputusan dalam pembuatan dan implementasi peraturan perundang-undangan terkait perlindungan buruh migran.

*Tulisan ini dimuat dalam buletin Mitra Media

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Peran Sastra Populer dalam Meningkatkan Literasi di Kalangan Remaja

Published

on

Penulis : Fatin Fashahah, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas

Sastra populer sering dipandang rendah, dianggap hanya untuk hiburan, dangkal, atau terlalu komersial. Sikap seperti ini muncul dari pendapat bahwa karya populer tak setara dengan karya-karya yang biasanya dipelajari di bangku perkuliahan. Padahal, bagi banyak remaja, sastra populer justru menjadi pintu pertama untuk mulai suka membaca. Mengabaikan atau mengecilkan peran sastra populer berarti menutup kesempatan bagi generasi muda untuk jatuh cinta pada dunia tulisan.

UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Fakta ini menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca rekreasi di banyak kelompok usia.

Namun, ketika pembaca terutama remaja diberi kebebasan memilih bacaan yang sesuai selera dan pengalaman mereka, minat membaca bisa saja meningkat. Dengan kata lain, relevansi isi buku terhadap kehidupan pembaca muda sangat menentukan apakah mereka akan terus membaca atau tidak. Sastra populer seperti buku young adult, novel roman remaja, dan cerita fantasi ringan sering kali menawarkan tema dan tokoh yang mudah dipahami remaja karena ceritanya seringkali dihubungkan dengan kehidupan remaja, sehingga mereka lebih tertarik untuk membaca.

Selain itu, sastra populer lebih mudah diakses lewat platform digital, cerita-cerita di aplikasi dan situs bacaan daring seperti Ipusnas, google play book, wattpad, karyakarsa dll. membuat remaja menemukan teks yang mereka suka kapan saja dengan mudah. Bentuk online juga mendorong interaksi pembaca bisa memberi komentar, berdiskusi, atau bahkan menulis kembali cerita mereka sendiri. Pengalaman berinteraksi seperti ini memberi dorongan kuat untuk terus membaca dan menulis. Beberapa karya yang awalnya populer di dunia maya kemudian diterbitkan secara cetak atau diadaptasi menjadi film dan serial menunjukkan bahwa bacaan populer punya peran penting dalam membangun ekosistem budaya yang lebih luas.

Penolakan terhadap sastra populer sering kali datang dari dua alasan utama. Pertama, alasan estetika, anggapan bahwa karya populer kurang bermutu secara sastra. Kedua, alasan moral atau konten bahwa beberapa cerita mengandung nilai yang dipertanyakan. Kritik seperti ini tidak salah jika tujuannya untuk memperbaiki kualitas karya. Namun, cara menanggapinya yang kurang tepat bisa membuat minat membaca remaja menjadi surut, seharusnya kita bukan melarang atau merendahkan bacaan tersebut. Akan lebih baik jika pembaca pemula diajarkan bagaimana cara membaca yang kritis. Dengan membimbing remaja membaca secara kritis, kita membantu mereka mengenali kekuatan dan kelemahan sebuah teks, sehingga pengalaman membaca menjadi lebih bermakna.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat membaca remaja diantaranya. Pertama, perpustakaan sekolah dan umum perlu menata koleksi yang seimbang baik karya klasik dan akademik berdampingan dengan bacaan populer. Pendekatan ini mengakui bahwa pembaca punya selera berbeda, dan memberi ruang bagi remaja yang sedang mencari gaya baca dan minat mereka. Kedua, guru dan pustakawan harus dilatih untuk memfasilitasi diskusi yang mengaitkan tema populer dengan konsep sastra dasar. Misalnya, dari sebuah novel populer, kita bisa mengajak pembaca membahas tokoh, alur, sudut pandang, atau pesan yang tersirat yanga terdapat di dalam novel tersebut. Langkah sederhana ini bisa mengubah bacaan ringan menjadi bahan belajar yang efektif.

Ketiga, adanya kegiatan klub baca dan lomba menulis berbasis minat yang bisa menghubungkan pembaca muda dengan mentor dan teman sebaya. Suasana komunitas yang saling mendukung membuat kegiatan membaca terasa lebih menyenangkan. Selain itu, adanya lomba menulis membuat remaja merasa diberi ruang kreatif untuk mengekspresikan dirinya. Keempat, harus ada kerja sama antara sekolah dengan platform digital. Hal ini penting untuk menyediakan akses yang aman dan terkurasi. Akses digital tanpa bimbingan bisa berisiko negatif dengan memperkenalkan konten yang kurang sesuai untuk pembaca dibawah umur. Oleh karena itu, peran pendidik dan orang tua tetap penting dalam menumbuhkan minat membaca terutama pembaca anak-anak dan remaja.

Secara budaya, sikap berhati-hati atau keraguan terhadap sastra populer sering kali membuat masyarakat melewatkan cerita-cerita yang sebenarnya dekat dengan kehidupan banyak orang, khususnya para remaja dari berbagai latar belakang. Karya populer dapat menjadi ruang untuk bereksperimen dengan bahasa, identitas, dan pengalaman sehari-hari. Ketika karya semacam ini dibahas di sekolah atau komunitas, karya tersebut berpotensi memperkaya imajinasi serta cara pandang masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Dengan demikian, sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari wacana budaya yang turut membentuk cara berpikir dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.

Kesimpulannya, alih-alih memandang sastra populer secara sebelah mata, akan lebih bermanfaat jika masyarakat mencoba melihat potensinya dalam meningkatkan minat baca dan memperkuat budaya literasi. Pendekatan yang inklusif dapat dimanfaatkan untuk menjadikan daya tarik sastra populer sebagai pintu masuk bagi pembaca pemula. Tentu saja, hal ini tetap perlu disertai dengan bimbingan dan adanya pengenalan terhadap keterampilan membaca kritis serta jenis bacaan yang lebih beragam. Dengan begitu, kebiasaan membaca tidak hanya meningkat, tetapi juga dapat mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa generasi muda.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending