Opini
Kartini Desa
Published
10 years agoon
By
Mitra Wacana

Oleh Arif Sugeng Widodo
Desa saat ini menjadi perhatian publik bukan saja karena desa mendapat anggaran yang cukup besar dari pemerintah pusat tapi juga adanya semangat dari pemerintah untuk memajukan desa menjadi subjek pembangunan bukan sekedar objek pembangunan. Adanya Undang-Undang desa juga memberikan dorongan agar pembangunan benar-benar merata di berbagai wilayah di Indonesia. Hal yang menarik dari adanya UU N0. 6 Tentang Desa 2014 adalah konsep pembangunan yang berbasis partisipasi masyarakat. Pembangunan bisa didefinisikan tidak sekedar fisik tapi juga manusianya. Sehingga bisa diartikan juga pembangunan adalah masyarakat yang bergerak dalam mengembangkan diri dan wilayahnya. Pembangunan didorong tidak sekedar proyek “penguasa” tingkat desa tapi menjadi tanggung jawab bersama seluruh warga desa. Sehingga semangat partisipasi tersebut tertanam ke seluruh warga masyarakat desa. Partisipasi masyarakat ini salah satunya adalah adanya keterlibatan perempuan.
Berbagai aktivitas yang di inisiasi perempuan pun mulai menggeliat. Eksistensi mereka mulai dipandang penting oleh perangkat desa dan juga masyarakat. Kelompok perempuan desa tidak dilihat sebagai kumpulan ibu-ibu ngrumpi, tapi dilihat sebagai kumpulan yang membicarakan hal-hal yang produktif. Saat ini geliat aktivitas positif begitu kentara dari komunitas ibu-ibu di berbagai desa yang ada. Geliat aktivitas perempuan di desa tersebut mungkin belum terlihat di semua desa tapi arah menuju kesana sudah mulai dilakukan. Ada beberapa catatan mengenai partispasi perempuan ditingkat desa ini. Catatan pertama adalah mengenai ruang partisipasi yang sudah terbuka lebar didukung dengan adanya regulasi yang ada. Kedua mengenai keterlibatan perempuan sendiri dalam pembangunan desa.
Mengenai catatan pertama yaitu mengenai ruang partisipasi, ruang partisipasi perempuan saat ini bisa dikatakan cukup luas. Perempuan bisa masuk dalam berbagai aktivitas di banyak segi kehidupan. Paling tidak jika dibandingkan dengan situasi di masa lalu situasi saat ini sudah banyak berubah. Resistensi dari masyarakat di satu sisi kadang masih terlihat tapi bisa dikatakan tidak terlalu besar. Apalagi adanya dukungan dari pemerintah lewat kebijakan dan regulasi bahwa peran perempuan meski didorong untuk lebih masif dan maksimal. Ruang partisipasi ini bisa menjadi sia-sia jika tidak benar-benar dimanfaatkan. Agar ruang partisipasi benar-benar bisa dimanfaatkan maka perempuan butuh persiapan, butuh modal agar bisa berpartisipasi di ruang-ruang publik yang dahulu selalu diklaim sebagai milik laki-laki. Modal tersebut adalah melalui pendidikan. Pendidikan tidak melulu pendidikan formal tapi bisa juga pendidikan informal. Misalnya pendidikan tersebut melalui pembentukan kelompok ibu-ibu dan didalam kelompok tersebut rutin dilakukan peningkatan kapasitas dalam berbagai bidang pengetahuan. Dalam banyak kasus hal tersebut bisa dinamai sebagai sekolah perempuan desa. Perempuan desa bisa belajar berbagai macam pengetahuan dan keterampilan dan bisa mengembangkannya sesuai minat dan bakatnya.
Berkaitan dengan pendidikan ini maka masuk dalam catatan yang kedua yaitu mengenai keterlibatan perempuan di desa. Pada saat tempat atau ruangnya sudah ada maka tergantung dari orang atau manusianya. Permasalahan yang muncul adalah secara sosial dan kultural, perempuan sudah sejak lama ditempatkan dalam posisi yang subordinat dan ditempatkan dalam tugas-tugas domestik bukan publik. Sehingga pada saat ruang publik itu terbuka bagi mereka, butuh waktu untuk beradaptasi. Memasuki dunia publik yang selama ini “asing” tentu tidak mudah. Perasaan inferioritas yang selama ini ditanamkan sejak kecil kadang terus menghantui para perempuan pada saat mereka ingin berperan lebih. Perasaan minder, canggung serta asing muncul di dunia yang bisa dikatakan “baru” bagi mereka. Butuh persiapan atau pengkondisian yang ekstra, karena perubahan yang begitu cepat tersebut. Sekolah perempuan desa adalah salah satu jawabannya.
Kenapa sekolah perempuan desa menjadi sangat penting? Perubahan itu bisa dilakukan jika manusia mempunyai pengetahuan. Pengetahuan adalah jalan untuk perubahan. Dan untuk mendapatkan pengetahuan manusia butuh belajar. Sekolah adalah salah satu cara mendapatkan pengetahuan tersebut. Perempuan desa secara faktual saat ini masih memerlukan ruang-ruang untuk bisa mengakses pengetahuan baik formal maupun non formal. Kartini 100 tahun lebih yang lalu sudah mengungkapkan betapa pentingnya pendidikan bagi perempuan. Kartini melihat bahwa perubahan bisa terjadi jika perempuan juga bisa mendapatkan pendidikan.
Saat ini semangat Kartini tersebut sudah terasa luas di hampir seluruh wilayah Indonesia. Pendidikan saat ini bisa diakses laki-laki dan perempuan secara luas. Walaupun di beberapa tempat masih ada masalah akses yang sulit untuk mendapatkan pendidikan tersebut. Di berbagai wilayah di Indonesia, khususnya di desa-desa, masih banyak ibu-ibu yang masa kecil dan remajanya tidak mendapatkan kesempatan mengakses pendidikan. Padahal saat ini ibu-ibu di desa-desa diberi ruang untuk bisa berpartisipasi secara luas untuk bisa membangun desanya. Sehingga penting untuk memberi ruang-ruang pendidikan informal bagi ibu-ibu tersebut di desa mereka masing-masing. Dengan membentuk kelompok perempuan dan mengadakan berbagi aktivitas pendidikan di dalamnya merupakan tindakan yang paling realistis untuk bisa mengembangkan perempuan desa saat ini. Semangat Kartini tidak saja terbentuk dari sekolah-sekolah formal yang saat ini sudah ada dan menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Tapi semangat Kartini juga bisa disebarkan melalui sekolah-sekolah informal yang bisa diakses perempuan di berbagai wilayah di Indonesia. Sekolah perempuan desa bisa mencetak Kartini-Kartini baru di desa-desa dan bisa membawa perubahan untuk Indonesia lebih baik. Terus maju para Kartini Desa!!! Selamat hari Kartini 21 April 2016.
Opini
Peran Sastra Populer dalam Meningkatkan Literasi di Kalangan Remaja
Published
7 days agoon
7 November 2025By
Mitra Wacana

Penulis : Fatin Fashahah, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas
Sastra populer sering dipandang rendah, dianggap hanya untuk hiburan, dangkal, atau terlalu komersial. Sikap seperti ini muncul dari pendapat bahwa karya populer tak setara dengan karya-karya yang biasanya dipelajari di bangku perkuliahan. Padahal, bagi banyak remaja, sastra populer justru menjadi pintu pertama untuk mulai suka membaca. Mengabaikan atau mengecilkan peran sastra populer berarti menutup kesempatan bagi generasi muda untuk jatuh cinta pada dunia tulisan.
UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Fakta ini menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca rekreasi di banyak kelompok usia.
Namun, ketika pembaca terutama remaja diberi kebebasan memilih bacaan yang sesuai selera dan pengalaman mereka, minat membaca bisa saja meningkat. Dengan kata lain, relevansi isi buku terhadap kehidupan pembaca muda sangat menentukan apakah mereka akan terus membaca atau tidak. Sastra populer seperti buku young adult, novel roman remaja, dan cerita fantasi ringan sering kali menawarkan tema dan tokoh yang mudah dipahami remaja karena ceritanya seringkali dihubungkan dengan kehidupan remaja, sehingga mereka lebih tertarik untuk membaca.
Selain itu, sastra populer lebih mudah diakses lewat platform digital, cerita-cerita di aplikasi dan situs bacaan daring seperti Ipusnas, google play book, wattpad, karyakarsa dll. membuat remaja menemukan teks yang mereka suka kapan saja dengan mudah. Bentuk online juga mendorong interaksi pembaca bisa memberi komentar, berdiskusi, atau bahkan menulis kembali cerita mereka sendiri. Pengalaman berinteraksi seperti ini memberi dorongan kuat untuk terus membaca dan menulis. Beberapa karya yang awalnya populer di dunia maya kemudian diterbitkan secara cetak atau diadaptasi menjadi film dan serial menunjukkan bahwa bacaan populer punya peran penting dalam membangun ekosistem budaya yang lebih luas.
Penolakan terhadap sastra populer sering kali datang dari dua alasan utama. Pertama, alasan estetika, anggapan bahwa karya populer kurang bermutu secara sastra. Kedua, alasan moral atau konten bahwa beberapa cerita mengandung nilai yang dipertanyakan. Kritik seperti ini tidak salah jika tujuannya untuk memperbaiki kualitas karya. Namun, cara menanggapinya yang kurang tepat bisa membuat minat membaca remaja menjadi surut, seharusnya kita bukan melarang atau merendahkan bacaan tersebut. Akan lebih baik jika pembaca pemula diajarkan bagaimana cara membaca yang kritis. Dengan membimbing remaja membaca secara kritis, kita membantu mereka mengenali kekuatan dan kelemahan sebuah teks, sehingga pengalaman membaca menjadi lebih bermakna.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat membaca remaja diantaranya. Pertama, perpustakaan sekolah dan umum perlu menata koleksi yang seimbang baik karya klasik dan akademik berdampingan dengan bacaan populer. Pendekatan ini mengakui bahwa pembaca punya selera berbeda, dan memberi ruang bagi remaja yang sedang mencari gaya baca dan minat mereka. Kedua, guru dan pustakawan harus dilatih untuk memfasilitasi diskusi yang mengaitkan tema populer dengan konsep sastra dasar. Misalnya, dari sebuah novel populer, kita bisa mengajak pembaca membahas tokoh, alur, sudut pandang, atau pesan yang tersirat yanga terdapat di dalam novel tersebut. Langkah sederhana ini bisa mengubah bacaan ringan menjadi bahan belajar yang efektif.
Ketiga, adanya kegiatan klub baca dan lomba menulis berbasis minat yang bisa menghubungkan pembaca muda dengan mentor dan teman sebaya. Suasana komunitas yang saling mendukung membuat kegiatan membaca terasa lebih menyenangkan. Selain itu, adanya lomba menulis membuat remaja merasa diberi ruang kreatif untuk mengekspresikan dirinya. Keempat, harus ada kerja sama antara sekolah dengan platform digital. Hal ini penting untuk menyediakan akses yang aman dan terkurasi. Akses digital tanpa bimbingan bisa berisiko negatif dengan memperkenalkan konten yang kurang sesuai untuk pembaca dibawah umur. Oleh karena itu, peran pendidik dan orang tua tetap penting dalam menumbuhkan minat membaca terutama pembaca anak-anak dan remaja.
Secara budaya, sikap berhati-hati atau keraguan terhadap sastra populer sering kali membuat masyarakat melewatkan cerita-cerita yang sebenarnya dekat dengan kehidupan banyak orang, khususnya para remaja dari berbagai latar belakang. Karya populer dapat menjadi ruang untuk bereksperimen dengan bahasa, identitas, dan pengalaman sehari-hari. Ketika karya semacam ini dibahas di sekolah atau komunitas, karya tersebut berpotensi memperkaya imajinasi serta cara pandang masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Dengan demikian, sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari wacana budaya yang turut membentuk cara berpikir dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.
Kesimpulannya, alih-alih memandang sastra populer secara sebelah mata, akan lebih bermanfaat jika masyarakat mencoba melihat potensinya dalam meningkatkan minat baca dan memperkuat budaya literasi. Pendekatan yang inklusif dapat dimanfaatkan untuk menjadikan daya tarik sastra populer sebagai pintu masuk bagi pembaca pemula. Tentu saja, hal ini tetap perlu disertai dengan bimbingan dan adanya pengenalan terhadap keterampilan membaca kritis serta jenis bacaan yang lebih beragam. Dengan begitu, kebiasaan membaca tidak hanya meningkat, tetapi juga dapat mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa generasi muda.










