Opini
Kebijakan Agraria, Perempuan dan Traficking
Published
10 years agoon
By
Mitra Wacana

Dianah Karmilah
Oleh Dianah Karmilah
“Jika kami Bertani, seolah apa yang menjadi milik kami tidak bisa kami sentuh. Karena setelah dihitung-hitug ternyata kalau kami menanam padi, ongkosnya besar karena harga pupuk, obat dan bibit semakin mahal, kami menanam hanya untuk memperpanjang waktu agar kami bisa makan.” [1]
Itulah pernyataan Jumiaty, mantan buruh migran perempuan di Desa Nomporejo Galur Kabupaten Kulon Progo ketika ditanya mengapa perempuan harus bekerja keluar negeri. pernyataan ini menuunjukkan betapa dampak politik kebijakan pertanahan pada zaman orde baru yang menerapkan kebijakan revolusi hijau. Sebuah paket kebijakan pertanahan yang sampai saat ini masih dirasakan masyarakat. Ketergantungan petani terhadap bahan pertanian impor mrmbuat mereka tidak berdaya. Disisi lain hasil panen tergantung pasar, petani tidak berkuasa untuk menentukan harga.
Dari beberapa hasil wawancara yang dilakukan Mitra Wacana WRC terhadap mantan buruh migran di desa tersebut, salah satu faktor pendorong perempuan bekerja ke luar negri karena ketiadaan lapangan kerja. Bertani adalah pilihan terakhir mereka untuk dapat bertahan hidup.[2] Untuk migrasi ke luar negri tidaklah gratis, calon buruh migran harus membayar sejumlah uang kepada Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Jika tidak mampu membayar, potongan gaji antara 7-12 bulan dibayarkan setelah diterima dan bekerja diluar negeri. Salah satu cara yang dilakukan calon buruh migran adalah menjual tanah di desa untuk menyetor uang ke PJTKI.
Persoalan lain yang muncul ketika mereka bekerja di luar negeri adalah minimnya perlindungan bagi buruh migran dari Negara. Banyak sudah kisah pilu hadir diantara kita mengisi lembaran Koran dan tayangan televisi, sebut saja yang terjadi akhir-akhir ini, kisah Pekerja Rumah Tangga, Erwiana yang mengalami penyiksaan oleh majikannya di Hong Kong.[3] Perlakuan terburuk yang dialami oleh buruh migran adalah trafficking.
Trafficking telah diadopsi dan dituangkan oleh pemerintah Indonesia ke dalam UU. No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. produk hukum lain adalah pengesahan protocol untuk mencegah, menindak dan menghukum perdaganagn orang, terutama perempuan dan anak-anak melengkapi konvensi PBB menentang tindak pidana transnasional yang terorganisasi menjadi UU no 14 tahun 2009. Dan yang terbaru adalah ratifikasi konvensi internasional mengenai perlindungan hak-hak seluruh pekerja migrant dan anggota keluarganya menjadi UU no. 6 tahun 2012. Sebuah upaya politik pemerintah yang patut diapresiasi. Namun demikian, keberadaan Undang-undang ini belum diketahui secara luas sampai pada aparat desa.[4] dalam pertemuan antara penyintas eks buruh migran perempuan dengan aparat desa. terungkap bahwa aparat desa tidak mengetahui bahwa warganya menjadi korban trafficking, dan belum mengetahui adanya Undang-undang yang mengatur tentang kejahatan trafficking.[5]
Berdasarkan catatan tahunan ILO tahun 2012 yang diambil dari data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) bahwa di tahun 2011: Ada sekitar 3,8 – 4 juta pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri. Di 2011 saja ada sekitar 581.081 pekerja migran Indonesia yang berangkat ke luar negeri. Di 2012, 5 negara tujuan terbesar adalah Malaysia, Taiwan, Hong Kong, Singapura, Arab Saudi, mayoritas perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Berdasarkan data di tahun yang sama di 2011, Bank Indonesia menginformasikan bahwa pekerja migran mendatangkan US$ 6,7 milyar dalam bentuk remitansi ke Indonesia.[6]
Secara kasat mata penjelasan situasi buruh migrant bermuara pada kemiskinan. Kabupaten Kulon Progo merupakan pengirim buruh migrant terbesar kedua se-DIY setelah Gunung Kidul. Dari data Pendataan Sosial Ekonomi 2005 di Kabupaten Kulon Progo tercatat Jumlah Rumah Tangga Miskin sebanyak 42.345 Rumah Tangga yang digolongkan mendekati miskin 15.136 rumah tangga, miskin 20.581 rumah tangga, sangat miskin 6.628 rumah tangga.[7] hasil Susenas tahun 2004 tingkat pendidikan penduduk yang tidak terjaring sebanyak 12.915 orang (penduduk yang merantau)[8], patut diduga sebagian besar adalah buruh migran.
Ada empat persoalan yang berhubungan dengan trafficking; pertama, hubungan diplomasi antara Negara Indonesia dengan Negara tempat para buruh migran bekerja. Kedua, persoalan pengawasan PJTKI sebagai penyelenggara bursa tenaga kerja ke luar negeri. Ketiga, sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam. Pengelolaan sumber daya alam yang tidak berpihak pada masyarakat sekitar. dan terakhir, bagaimana mengubah perilaku perempuan pedesaan agar tidak tergiur untuk pergi ke luar negeri.
Persoalan pengelolaan sumber daya alam inilah yang sebenarnya bisa menjadi kunci untuk mengurangi korban trafficking di Indonesia. Sayangnya politik kebijakan agraria dengan intervensi berbagai kepentingan tidak berpihak kepada masyarakat sekitar. Hadirnya UU. No 6 tahun 2014 Tentang Desa, memberikan celah untuk memberikan keleluasaan bagi desa mengembalikan kedaulatan tanah, sekaligus mencegah traficking
Teringkir dari Tanah Sendiri
Noor Fauzi Rahman mengungkapkan secara lebih jauh dan gamblang, sebab dan akibat konflik bahwa akibat-akibat konflik agraria sebas agai berikut: pertama, Ekslusi rakyat, perempuan dan laki-laki atas tanah, wilayah dan SDA yang diperebutkan secara langsung berakibat hilangnya (sebagian) wilayah hidup, mata pencaharian, dan kepemilikan atas harta benda. Kedua, Menyempitnya ruang hidup rakyat yang diiringi menurunnya kemandirian rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, utamanya pangan. Dan ketiga, transformasi petani menjadi buruh upahan. Jelaslah bahwa trafficking dimensi lain akibat konflik agraria.[9]
Komnas perempuan secara singkat bagaimana revolusi hijau meminggirkan perempuan pedesaan:
Revolusi Hijau berlangsung di berbagai penjuru dunia melalui program-program modernisasi pertanian yang didanai Ford Foundation dan Rockefeller Foundation sejak 1950an. Di Indonesia, revolusi hijau mulai dilaksanakan melalui program Bimbingan Masyarakat (Bimas) pada 1968 dengan prinsip Panca Usaha Tani, yaitu pemakaian bibit unggul, perubahan cara bercocok tanam, pengairan, pemupukan, dan pemberantasan hama penyakit. Dengan revolusi hijau Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan sementara antara 1984-1989. (Pada awal 1990-an Indonesia kembali mengimpor beras hampir sebanyak pada masa sebelum swasembada pangan, sekitar satu juta ton per tahun). Pada 1986 Presiden Soeharto mendapat penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian dunia (FAO) atas keberhasilannya meningkatkan produksi pertanian. Yang kerap lolos dari perhatian adalah kenyataan bahwa keberhasilan ini dibangun di atas peminggiran terhadap perempuan desa dari sektor pertanian. Akses perempuan pada tata perekonomian desa sangat terbatas karena dikuasai oleh institusi-institusi bentukan pemerintah seperti Badan Usaha Unit Desa dan Koperasi Unit Desa (BUUD dan KUD). Perempuan mau tidak mau harus membuat pilihan-pilihan yang tidak menyenangkan demi kelangsungan hidup dirinya dan keluarganya. [10]
Adapun proses peminggiran perempuan pedesaan, dalam system pertanian tradisional menyemai bibit, memberi pupuk, dan menuai padi, yang dilakukan dengan aniani adalah pekerjaan perempuan. Setelah padi dipanen, perempuan pula yang menumbuk padi. Masuknya mesin penggiling padi (huller) telah menyebabkan paling tidak 1,2 juta perempuan tidak bertanah di Jawa kehilangan pekerjaan. Meluasnya areal pertanian dan mendesaknya kebutuhan melakukan panen secara cepat mengalihkan cara panen dengan menggunakan ani-ani ke sistem panen tebasan yang menggunakan sabit. Perempuan tersingkir dari proses ini karena pengguna sabit adalah laki-laki.
Selain itu, dalam sistem tradisional, penduduk desa, terutama mereka yang miskin, jika terlibat dalam kegiatan panen akan memperoleh imbalan in natura (berbentuk barang) sesuai kesepakatan dengan pemilik tanah dan pedagang perantara dari luar desa. Perempuan yang biasanya memperoleh tambahan pangan melalui kegiatan panen ini, setelah kebijakan modernisasi, sering kali tidak diizinkan ikut panen karena akan mengurangi jatah pembagian hasil bagi pemilik tanah, pedagang perantara, dan tenaga borongan. Peminggiran ini menyebabkan perempuan desa beralih dari pertanian ke industri. . Kalau perempuan memilih tetap tinggal di desa, mereka biasanya terlibat dalam industri kerajinan rumah tangga, seperti membuat anyaman bamboo dan rotan atau pengolahan makanan (gula-kelapa, tahu, dan tempe) dengan penghasilan yang sangat kecil. Sampai pertengahan 1970-an industri rumah tangga menyerap sekitar 80% angkatan kerja di sektor industri dan sekitar separuhnya adalah perempuan. Tetapi, pemerintah tidak mengutamakan pengembangan industri ini sehingga sedikit bantuan khusus yang diberikan untuk meningkatkan modal ataupun memperluas pemasaran hasil-hasilnya.[11]
Trend pengiriman Buruh Migran mulai ditahun `80-an. Komnas Perempuan mencatat, pada Repelita IV (1984-1989) menargetkan pengiriman BMI sebesar 250.000 orang. Pada kenyataannya, Departemen Tenaga Kerja mengirim lebih dari 450.000 orang pekerja. Penghasilan yang diperoleh dari BMI pada periode ini sebesar US$552 juta. Pada 1983 jumlah buruh migran perempuan mencapai 41,5% dari total yang dikirim dan pada 1988 sudah mencapai 77,5%. Pada 2004, 80% dari 400.000 BMI yang terdaftar adalah perempuan dan jumlah uang yang resmi dikirim pulang mencapai US$1,35 milyar. Uang tersebut tidak langsung masuk anggaran pemerintah, melainkan digunakan keluarga BMI untuk berbelanja di Indonesia, yang berarti turut memutar roda ekonomi pembangunan.[12]
Rata-rata faktor pendorong perempuan pedesaan karena minimnya lapangan kerja di pedesaan, sementara di negara maju yang sudah sejahtera masyarakatnya, dimana perempuan juga meninggalkan rumah tangga menyebabkan kekosongan peran perempuan di rumah tangga. kekosongan inilah yang menjadi peluang kerja bagi masyarakat pinggiran, terutama perempuan yang kehilangan lapangan kerja di pedesaan, serta dibukanya hubungan antar negara untuk mengisi kekosongan itu. Jadilah perempuan didorong menjadi buruh migran. Sayangnya, perlindungan yang dibuat oleh negar belum menjamin mereka yang berjuang di negeri orang bebas dari jeratan perdagangan orang.
[1] Dokumen FGD, perempuan dan penjualan orang Desember 2014
[2] Dianah karmilah dkk, 2014, “Obral Manusia” laporan hasil penelitian di 3 Desa di 3 Kecamatan di Kulon Progo, Mitra Wacana dan Missereor
[3] Baca https://www.tempo.co/read/news/D/Ini-Pesan-Erwiana-untuk-Calon-TKW-ke-Hongkong
[4] Dianah Karmilah dkk, 2014, “Obral Manusia” laporan hasil penelitian perempuan dan trafficking di 3 Desa, 3 Kecamatan di Kulon Progo, Mitra Wacana dan Missereor hal: 30
[5] Ibid, hlm: 31
[6] Albert Bonasahat, S.H., LL.M, Briefing Jurnalis Catatan Akhir Tahun Perlindungan Pekerja Migran Hari Migran Internasional, 18 Desember 2012
[7] BPS dan Bappeda Kab. Kulon Porgo. Kulon Progo dalam Angka tahun 2011, hal: 54
[8] RPJP Kab. Kulon Progo tahun 2005-2025 hal:12
[9] Noor Fauzi Rahman, 2012, Rantai Penjelas Konflik-konflik agrarian yang kronis, sistemik dan meluas di Indonesia, Jurnal Bhumi, no. 37 hlm: 3
[10] Andry Yentriyani dkk, 2009, Kita Bersikap hlm: 85
[11] Andry Yentriyani dkk, 2009, Kita Bersikap, Komisi Nasional Hak Azasi Perempuan, Jakarta hlm: 86
[12] Ibid, hlm: 90
You may like
Opini
Peran Sastra Populer dalam Meningkatkan Literasi di Kalangan Remaja
Published
7 days agoon
7 November 2025By
Mitra Wacana

Penulis : Fatin Fashahah, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas
Sastra populer sering dipandang rendah, dianggap hanya untuk hiburan, dangkal, atau terlalu komersial. Sikap seperti ini muncul dari pendapat bahwa karya populer tak setara dengan karya-karya yang biasanya dipelajari di bangku perkuliahan. Padahal, bagi banyak remaja, sastra populer justru menjadi pintu pertama untuk mulai suka membaca. Mengabaikan atau mengecilkan peran sastra populer berarti menutup kesempatan bagi generasi muda untuk jatuh cinta pada dunia tulisan.
UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Fakta ini menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca rekreasi di banyak kelompok usia.
Namun, ketika pembaca terutama remaja diberi kebebasan memilih bacaan yang sesuai selera dan pengalaman mereka, minat membaca bisa saja meningkat. Dengan kata lain, relevansi isi buku terhadap kehidupan pembaca muda sangat menentukan apakah mereka akan terus membaca atau tidak. Sastra populer seperti buku young adult, novel roman remaja, dan cerita fantasi ringan sering kali menawarkan tema dan tokoh yang mudah dipahami remaja karena ceritanya seringkali dihubungkan dengan kehidupan remaja, sehingga mereka lebih tertarik untuk membaca.
Selain itu, sastra populer lebih mudah diakses lewat platform digital, cerita-cerita di aplikasi dan situs bacaan daring seperti Ipusnas, google play book, wattpad, karyakarsa dll. membuat remaja menemukan teks yang mereka suka kapan saja dengan mudah. Bentuk online juga mendorong interaksi pembaca bisa memberi komentar, berdiskusi, atau bahkan menulis kembali cerita mereka sendiri. Pengalaman berinteraksi seperti ini memberi dorongan kuat untuk terus membaca dan menulis. Beberapa karya yang awalnya populer di dunia maya kemudian diterbitkan secara cetak atau diadaptasi menjadi film dan serial menunjukkan bahwa bacaan populer punya peran penting dalam membangun ekosistem budaya yang lebih luas.
Penolakan terhadap sastra populer sering kali datang dari dua alasan utama. Pertama, alasan estetika, anggapan bahwa karya populer kurang bermutu secara sastra. Kedua, alasan moral atau konten bahwa beberapa cerita mengandung nilai yang dipertanyakan. Kritik seperti ini tidak salah jika tujuannya untuk memperbaiki kualitas karya. Namun, cara menanggapinya yang kurang tepat bisa membuat minat membaca remaja menjadi surut, seharusnya kita bukan melarang atau merendahkan bacaan tersebut. Akan lebih baik jika pembaca pemula diajarkan bagaimana cara membaca yang kritis. Dengan membimbing remaja membaca secara kritis, kita membantu mereka mengenali kekuatan dan kelemahan sebuah teks, sehingga pengalaman membaca menjadi lebih bermakna.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat membaca remaja diantaranya. Pertama, perpustakaan sekolah dan umum perlu menata koleksi yang seimbang baik karya klasik dan akademik berdampingan dengan bacaan populer. Pendekatan ini mengakui bahwa pembaca punya selera berbeda, dan memberi ruang bagi remaja yang sedang mencari gaya baca dan minat mereka. Kedua, guru dan pustakawan harus dilatih untuk memfasilitasi diskusi yang mengaitkan tema populer dengan konsep sastra dasar. Misalnya, dari sebuah novel populer, kita bisa mengajak pembaca membahas tokoh, alur, sudut pandang, atau pesan yang tersirat yanga terdapat di dalam novel tersebut. Langkah sederhana ini bisa mengubah bacaan ringan menjadi bahan belajar yang efektif.
Ketiga, adanya kegiatan klub baca dan lomba menulis berbasis minat yang bisa menghubungkan pembaca muda dengan mentor dan teman sebaya. Suasana komunitas yang saling mendukung membuat kegiatan membaca terasa lebih menyenangkan. Selain itu, adanya lomba menulis membuat remaja merasa diberi ruang kreatif untuk mengekspresikan dirinya. Keempat, harus ada kerja sama antara sekolah dengan platform digital. Hal ini penting untuk menyediakan akses yang aman dan terkurasi. Akses digital tanpa bimbingan bisa berisiko negatif dengan memperkenalkan konten yang kurang sesuai untuk pembaca dibawah umur. Oleh karena itu, peran pendidik dan orang tua tetap penting dalam menumbuhkan minat membaca terutama pembaca anak-anak dan remaja.
Secara budaya, sikap berhati-hati atau keraguan terhadap sastra populer sering kali membuat masyarakat melewatkan cerita-cerita yang sebenarnya dekat dengan kehidupan banyak orang, khususnya para remaja dari berbagai latar belakang. Karya populer dapat menjadi ruang untuk bereksperimen dengan bahasa, identitas, dan pengalaman sehari-hari. Ketika karya semacam ini dibahas di sekolah atau komunitas, karya tersebut berpotensi memperkaya imajinasi serta cara pandang masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Dengan demikian, sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari wacana budaya yang turut membentuk cara berpikir dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.
Kesimpulannya, alih-alih memandang sastra populer secara sebelah mata, akan lebih bermanfaat jika masyarakat mencoba melihat potensinya dalam meningkatkan minat baca dan memperkuat budaya literasi. Pendekatan yang inklusif dapat dimanfaatkan untuk menjadikan daya tarik sastra populer sebagai pintu masuk bagi pembaca pemula. Tentu saja, hal ini tetap perlu disertai dengan bimbingan dan adanya pengenalan terhadap keterampilan membaca kritis serta jenis bacaan yang lebih beragam. Dengan begitu, kebiasaan membaca tidak hanya meningkat, tetapi juga dapat mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa generasi muda.







