Opini
Kritik Pendidikan Lagu Brick in the Wall Pink Floyd
Published
11 years agoon
By
Mitra Wacana
Oleh Arif Sugeng Widodo
Lirik lagu Brick In the Wall, Pink Floyd
We don’t need no education
We don’t need no thought control
No dark sarcasm in the classroom
Teachers leave them kids alone
Hey! teachers! leave the kids alone!
All in all you’re just another brick in the wall.
All in all you’re just another brick in the wall.
We don’t need no education
We don’t need no thought control
No dark sarcasm in the classroom
Teachers leave them kids alone
Hey! teacher! leave us kids alone!
All in all you’re just a another brick in the wall.
All in all you’re just a another brick in the wall.
-smooth guitar solo-
“Wrong, do it again!”
“Wrong, do it again!”
“If you don’t eat yer meat, you can’t have any pudding. how can you
Have any pudding if you don’t eat yer meat?”
“you! yes, you behind the bikesheds, stand still laddy!”
Berbicara mengenai pendidikan merupakan hal yang menyenangkan disatu sisi tapi juga menyedihkan disisi yang lain. Disatu sisi pendidikan merupakan jalan peradaban menuju masa depan yang lebih baik, masa depan yang memanusiakan. Pendidikan menjadi langkah manusia bisa menjelaskan berbagai hal yang ada di bumi, dari dirinya sendiri, lingkungannya, masyarakat bahkan keyakinan terhadap Tuhan. Pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan bisa membuka cakrawala tentang kehidupan dunia seisinya. Pendidikan menjawab rasa keingintahuan manusia terhadap sesuatu. Oleh karena itu pendidikan menjadi langkah penting agar berbagai pengetahuan tersebut bisa diketahui oleh manusia. Maka banyak sekali berbagai pendekatan pendidikan yang dibuat manusia agar pengetahuan dan kesadaran akan kemanusiaan ada dan muncul didalam diri manusia. Sayangnya banyak sekali kasus, baik yang tentatif maupun struktural yang membuat pendidikan itu seperti kehilangan arah. Pendekatan pendidikan begitu formalistik, kaku, dan bahkan penuh dengan intimidasi.
Lagu brick in the wall yang dinyanyikan Pink Floyd tersebut bisa jadi menjadi salah satu cara untuk menolak sebuah sistem pendidikan yang kaku, formalistik bahkan penuh dengan intimidasi. Pendidikan bukan suatu jalan yang menyenangkan tapi suatu jalan penuh siksaan yang tak jelas kemana arahnya. Kritik terhadap pendidikan baik dari sistem kurikulum maupun pendekatan sepertinya memang bukan sekedar isu lokal tapi merupakan isu yang telah mengglobal. Kasus-kasus kekerasan dalam dunia pendidikan tidak saja terjadi di Indonesia tapi juga banyak terjadi dibelahan bumi lainnya. Dominasi guru yang berperan menjadi pemegang otoritas tertinggi di kelas dan sekolahan memunculkan kediktatoran ditingkat kelas atau sekolahan. Di Indonesia misalnya di era sebelum tahun 2000 fenomena guru adalah pusat dari segala sesuatu masihlah kental. Dalam masa-masa itu akan sering ditemui berbagai cerita guru yang galak, suka marah-marah, mengancam siswa didiknya bahkan tidak saja mengancam tapi tindakan kekerasan kerap acap kali terjadi. Maka tidak asing bagi siswa-siswa dimasa itu bercerita atas pengalaman mereka atas tindakan guru yang melempar kapur, penghapus, penggaris pada siswanya karena dianggap melakukan kesalahan atau telah bikin onar. Maka tidak heran juga ada cerita murid yang tidak mau berangkat ke sekolah karena sekolah menjadi tempat yang angker untuk didatangi. Karena siswa takut dimarahi oleh gurunya atau bahkan karena di bully teman sekolahnya.
Sekolah menjadi bangunan angker karena ada kejadian-kejadian yang menakutkan didalamnya. Saat lembaga pendidikan menjadi lembaga yang “melindungi” dan “melegalkan” berbagai tindakan kekerasan dan intimidasi maka di lembaga pendidikan itulah budaya kekerasan dan intimidasi menjadi berkembang dan dianut anak didik yang memang belajar dari keseharian mereka di sekolah. Pada saat tindakan kekerasan dan intimidasi dilakukan oleh lembaga pendidikan berarti secara tidak langsung anak-anak telah dididik untuk melakukan kekerasan dan intimidasi dimasa depan dan hal tersebut dianggap suatu hal yang benar. Budaya kekerasan dan intimidasi terus menerus direproduksi dalam suatu sistem dan budaya dilembaga pendidikan sehingga membentuk generasi-generasi yang menganggap kekerasan dan intimidasi adalah suatu kewajaran dan dapat dibenarkan. Lembaga pendidikan pada akhirnya akan membentuk ketakutan-ketakutan baru pada siswa yang bersekolah. Sekolah menciptakan mitos-mitos bahwa pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang dilakukan dengan cara-cara yang keras.
Pada era-era setelah tahun 2000-an khususnya di Indonesia lambat laun berbagai pendekatan didalam sistem pendidikan mulai berubah walaupun masih dalam proses dan belum sepenuhnya berhasil tapi usaha tersebut ada dan patut diapresiasi. Salah satu yang bisa diambil contoh adalah pendekatan guru terhadap murid dalam proses pendidikan tidak lagi diperbolehkan melakukan kekerasan dan intimidasi. Guru mulai melakukan kegiatan belajar mengajar dikelas dengan pendekatan yang humanistik. Guru lebih ditekankan melakukan pendekatan psikologi terhadap siswa jika terjadi masalah dalam proses belajar mengajar. Sekolah saat ini mencoba untuk menjadi tempat yang menyenangkan bukan yang menakutkan. Sekolah tidak lagi menjadi tembok-tembok penyekat hubungan yang humanistik antara guru dengan muridnya.
Lagu Brick in the wall ini merupakan lagu yang kental dengan kritik-kritik sosial, khususnya di bidang pendidikan. Lagu ini bahkan sempat dilarang di Afrika Selatan pada saat masih dengan sistem apartheidnya. Lagu ini juga sempat dinyanyikan juga sebagai keprihatinan terhadap tindakan Israel terhadap Palestina. Bahkan musisi Pink Floyd sempat mengajak untuk memboikut produk-produk Israel. Lagu ini ditulis oleh Rogers Waters yang merupakan pendiri Pink Floyd.
You may like
Opini
Peran Sastra Populer dalam Meningkatkan Literasi di Kalangan Remaja
Published
1 week agoon
7 November 2025By
Mitra Wacana

Penulis : Fatin Fashahah, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas
Sastra populer sering dipandang rendah, dianggap hanya untuk hiburan, dangkal, atau terlalu komersial. Sikap seperti ini muncul dari pendapat bahwa karya populer tak setara dengan karya-karya yang biasanya dipelajari di bangku perkuliahan. Padahal, bagi banyak remaja, sastra populer justru menjadi pintu pertama untuk mulai suka membaca. Mengabaikan atau mengecilkan peran sastra populer berarti menutup kesempatan bagi generasi muda untuk jatuh cinta pada dunia tulisan.
UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Fakta ini menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca rekreasi di banyak kelompok usia.
Namun, ketika pembaca terutama remaja diberi kebebasan memilih bacaan yang sesuai selera dan pengalaman mereka, minat membaca bisa saja meningkat. Dengan kata lain, relevansi isi buku terhadap kehidupan pembaca muda sangat menentukan apakah mereka akan terus membaca atau tidak. Sastra populer seperti buku young adult, novel roman remaja, dan cerita fantasi ringan sering kali menawarkan tema dan tokoh yang mudah dipahami remaja karena ceritanya seringkali dihubungkan dengan kehidupan remaja, sehingga mereka lebih tertarik untuk membaca.
Selain itu, sastra populer lebih mudah diakses lewat platform digital, cerita-cerita di aplikasi dan situs bacaan daring seperti Ipusnas, google play book, wattpad, karyakarsa dll. membuat remaja menemukan teks yang mereka suka kapan saja dengan mudah. Bentuk online juga mendorong interaksi pembaca bisa memberi komentar, berdiskusi, atau bahkan menulis kembali cerita mereka sendiri. Pengalaman berinteraksi seperti ini memberi dorongan kuat untuk terus membaca dan menulis. Beberapa karya yang awalnya populer di dunia maya kemudian diterbitkan secara cetak atau diadaptasi menjadi film dan serial menunjukkan bahwa bacaan populer punya peran penting dalam membangun ekosistem budaya yang lebih luas.
Penolakan terhadap sastra populer sering kali datang dari dua alasan utama. Pertama, alasan estetika, anggapan bahwa karya populer kurang bermutu secara sastra. Kedua, alasan moral atau konten bahwa beberapa cerita mengandung nilai yang dipertanyakan. Kritik seperti ini tidak salah jika tujuannya untuk memperbaiki kualitas karya. Namun, cara menanggapinya yang kurang tepat bisa membuat minat membaca remaja menjadi surut, seharusnya kita bukan melarang atau merendahkan bacaan tersebut. Akan lebih baik jika pembaca pemula diajarkan bagaimana cara membaca yang kritis. Dengan membimbing remaja membaca secara kritis, kita membantu mereka mengenali kekuatan dan kelemahan sebuah teks, sehingga pengalaman membaca menjadi lebih bermakna.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat membaca remaja diantaranya. Pertama, perpustakaan sekolah dan umum perlu menata koleksi yang seimbang baik karya klasik dan akademik berdampingan dengan bacaan populer. Pendekatan ini mengakui bahwa pembaca punya selera berbeda, dan memberi ruang bagi remaja yang sedang mencari gaya baca dan minat mereka. Kedua, guru dan pustakawan harus dilatih untuk memfasilitasi diskusi yang mengaitkan tema populer dengan konsep sastra dasar. Misalnya, dari sebuah novel populer, kita bisa mengajak pembaca membahas tokoh, alur, sudut pandang, atau pesan yang tersirat yanga terdapat di dalam novel tersebut. Langkah sederhana ini bisa mengubah bacaan ringan menjadi bahan belajar yang efektif.
Ketiga, adanya kegiatan klub baca dan lomba menulis berbasis minat yang bisa menghubungkan pembaca muda dengan mentor dan teman sebaya. Suasana komunitas yang saling mendukung membuat kegiatan membaca terasa lebih menyenangkan. Selain itu, adanya lomba menulis membuat remaja merasa diberi ruang kreatif untuk mengekspresikan dirinya. Keempat, harus ada kerja sama antara sekolah dengan platform digital. Hal ini penting untuk menyediakan akses yang aman dan terkurasi. Akses digital tanpa bimbingan bisa berisiko negatif dengan memperkenalkan konten yang kurang sesuai untuk pembaca dibawah umur. Oleh karena itu, peran pendidik dan orang tua tetap penting dalam menumbuhkan minat membaca terutama pembaca anak-anak dan remaja.
Secara budaya, sikap berhati-hati atau keraguan terhadap sastra populer sering kali membuat masyarakat melewatkan cerita-cerita yang sebenarnya dekat dengan kehidupan banyak orang, khususnya para remaja dari berbagai latar belakang. Karya populer dapat menjadi ruang untuk bereksperimen dengan bahasa, identitas, dan pengalaman sehari-hari. Ketika karya semacam ini dibahas di sekolah atau komunitas, karya tersebut berpotensi memperkaya imajinasi serta cara pandang masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Dengan demikian, sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari wacana budaya yang turut membentuk cara berpikir dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.
Kesimpulannya, alih-alih memandang sastra populer secara sebelah mata, akan lebih bermanfaat jika masyarakat mencoba melihat potensinya dalam meningkatkan minat baca dan memperkuat budaya literasi. Pendekatan yang inklusif dapat dimanfaatkan untuk menjadikan daya tarik sastra populer sebagai pintu masuk bagi pembaca pemula. Tentu saja, hal ini tetap perlu disertai dengan bimbingan dan adanya pengenalan terhadap keterampilan membaca kritis serta jenis bacaan yang lebih beragam. Dengan begitu, kebiasaan membaca tidak hanya meningkat, tetapi juga dapat mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa generasi muda.







