Opini
Membangun dari Desa
Published
10 years agoon
By
Mitra Wacana

arif sugeng widodo
Oleh: Arif Sugeng Widodo
Pembangunan di Indonesia yang cenderung kota sentris membuat pembangunan terpusat di kota-kota besar khususnya Jakarta. Warga di daerah, khususnya daerah-daerah yang secara ekonomi kurang berkembang, banyak warganya mencari penghidupan di kota besar, seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek), Medan, Surabaya, Makassar dan kota lainnya. Maka muncul istilah urbanisasi yaitu perpindahan penduduk dari desa ke kota. Pembangunan yang berpusat pada kota tersebut, menjadi daya tarik bagi warga di daerah yang ingin mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak untuk berbondong-bondong bekerja ke kota. Arus migrasi tersebut pada akhirnya menimbulkan masalah sampai sekarang tidak saja bagi kota tapi juga bagi desa.
Saat ini, khususnya kota Jakarta kepadatannya boleh disebut parah. Masalah permukiman, ketersediaan lahan, dan kemacetan lalu lintas menjadi persoalan yang tidak mudah diselesaikan. Namun arus migrasi tidaklah berhenti. Kita dengan mudah bisa melihat bahwa arus migrasi ke kota tetaplah tinggi namun ada tren lain yang menjadi tujuan migrasi untuk mencari penghidupan yang lebih layak, tidak ke kota besar di negeri sendiri namun ke negeri lain atau yang lazim disebut sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia).
Migrasi ke-negara lain, ternyata lebih diminati oleh sebahagian besar warga masyarakat. Hal tersebut terbukti dengan “banjirnya” TKI ke luar negeri dengan membawa satu harapan mampu memenuhi dan mencukupi kebutuhan keluarga yang berada di desa. Beberapa negara tujuan TKI masih di Asia, yaitu Malaysia, Singapura, Korea, Hongkong dan Arab Saudi. Perlu untuk disimak bahwa adanya arus TKI tersebut patut menjadi perhatian serius. Semakin besar jumlah TKI maka akan semakin banyak masalah yang muncul, seperti yang kerap diberitakan di media massa. Beberapa permasalahan tersebut adalah adanya tindakan kekerasan (fisik, ekonomi dan seksual), hingga pembunuhan yang menimpa TKI saat bekerja di luar negeri. Masalah lain yang kerap dialami oleh para TKI adalah penipuan oleh majikan dan penyalur tenaga kerja, bahkan tindakan diskriminasi baik oleh negara tujuan maupun oleh pemerintah Indonesia sendiri. Persoalan lain-pun kerap muncul khususnya yang dialami Tenaga Kerja Wanita, misalnya “pengkhianatan” oleh pasangan/suami; ditinggal menikah, perselingkuhan, uang kiriman habis atau bahkan diceraikan.
Rentetan kejadian yang kerap menimpa TKI khususnya TKW, menimbulkan keprihatinan bersama, bukan hanya TKW yang bersangkutan tapi juga warga negara yang mempunyai empati terhadap kasus yang menimpa TKW di negeri seberang. Kepedulian warga masyarakat itu salah satunya saat adanya TKW yang di vonis hukuman mati tapi bisa bebas dengan cara membayar sejumlah denda yang ditentukan . Warga Indonesia yang peduli atas kasus tersebut, bersama-sama menggalang dukungan mengumpulkan uang koin sebagai bentuk kepedulian sesama warga yang sebenarnya merupakan sebagai bentuk kritik terhadap pemerintah yang kurang mampu “melindungi” warga di negara lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa di tingkat masyarakat, kepedulian terhadap orang lain masih ada dan menjadi modal sosial dalam membangun Indonesia. Tuntutan agar pemerintah benar-benar peduli terhadap warganya cukup besar melalui usulan pembangunan yang tidak terpusat hanya di kota besar akan tetapi juga di daerah. Inilah yang menjadi tonggak lahirnya Undang-Undang N0.6 Tentang Desa yang telah disahkan pada 2014.
Adanya undang-undang desa tersebut membuka ruang pembangunan yang merata di seluruh Indonesia, sehingga masalah urbanisasi dan migrasi ke luar negeri bisa ditekan karena desa memberi sumber ekonomi yang diperlukan. Paling tidak, desa bisa mencegah praktik-praktik ilegal yang selama ini terjadi melalui program penguatan informasi pada masyarakat. Desa mampu membuka ruang-ruang partisipasi bagi warganya dalam menyusun program desa sehingga majunya suatu desa merupakan kemajuan bersama. Partisipasi yang dimaksud adalah semakin terbukanya ruang keterlibatan perempuan dalam aspek perencanaan, pengawasan, implementasi dan evaluasi. Karena, di beberapa daerah tertentu ada warga masyarakatnya menjadi TKI di luar negeri akan tetapi ada juga yang memutuskan untuk berhenti dan tinggal kembali di desa. Mantan buruh migran perempuan inilah yang bisa masuk untuk terlibat dalam kegiatan desa. Pengalaman mereka dapat menjadi pengalaman dan sumber pengetahuan saat desa membuat kebijakan, khususnya yang berkaitan erat dengan TKI.
*Tulisan ini awalnya direncanakan untuk tajuk rencana di Buletin Mitra Media, eh space nya terbatas…..
Opini
Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya
Published
1 week agoon
8 December 2025By
Mitra Wacana

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2
Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.
Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.
Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.
Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.
Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip.
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.
Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.
Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Mitra Wacana Hadiri Rapat Koordinasi Organisasi Kemasyarakatan Kabupaten Bantul

Mitra Wacana Ikuti Orasi Budaya Hari HAM FISB UII








