Opini
Membangun Mimpi
Published
8 years agoon
By
Mitra Wacana
Oleh Purwati (P3A SEJOLI, Punggelan Banjarnegara)
Awal mulanya saya mengenal Mitra Wacana WRC adalah pada tahun 2013 dimana Mitra Wacana WRC mengadakan sebuah acara pelatihan bersama Polres Banjarnegara yang diwakili oleh Bu Devi tentang “Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak”. Kemudian selang 1 atau 2 bulan dilanjutkan dengan kegiatan pelatihan di Desa Petuguran selama 3 hari berturut-turut tentang “Kesetaraan Gender”.Ada sekitar 22 orang perempuan yang dari satu desa dengan saya Bondolharjo. Setelah itu hampir setiap bulan ada pertemuan dengan Mitra Wacana WRC.
Pelatihan yang paling berkesan bagi saya adalah pada waktu pelatihan Mekanisme Penanganan Kasus yang diberikan oleh Bu Acuk, dimana beliau menyampaikan tentang “Membangun Mimpi”. Di mana banyak kaum perempuan yang menjadi korban kekerasan mampu bangkit karena sebuah mimpi untuk kehidupan yang lebih baik dan untuk nasib para perempuan lain yang lebih menderita.
Saya berpikir tentang saya dan perempuan di Desa saya Bondolharjo yang menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan perempuan lain yang menjadi korban kekerasan seksual. Selama ini para perempuan korban KDRT dan kekerasan tidak berani melapor atau berani melawan, hanya diam dan pasrah dengan nasib yang buruk. Dari situlah saya dan ibu-ibu yang sering ikut pelatihan bersama MitraWacana bersepakat membentuk sebuah organisasi perempuan yang bertujuan untuk melindungi kaum perempuan di desa Bondolharjo dari kekerasan. Maka terbentuklah SEJOLI (Serikat Bondolharjo Peduli). Kami memilih nama itu karena biar mudah diucapkan dan sebagai pengenal bahwa organisasi yang kami bentuk berasal dari Bondolharjo yang peduli terhadap sesama.
Namun dalam perjalanannya Sejoli mengalami pasang surut keanggotaan, banyak yang keluar.Satu per satu ibu-ibu pada keluar karena dilarang suami, melahirkan, sibuk berdagang, bekerja keluar kota, dan lain-lain. Hal ini membuat SEJOLI menjadi kurang bersemangat dalam melakukan kegiatan-kegiatan karena minimnya anggota.
Baru pada pertengahan tahun 2016 sampai sekarang dengan pendamping yang baru, Sejoli mulai aktif lagi dalam berkegiatan di desa yaitu sosialisasi mengenai Kekerasana Seksual Terhadap Anak (KSTA) ke Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah di desa Bondolharjo, melakukan Sekolah Perempuan per usun, dan Sejoli peduli Lansia, serta aktif mengikuti kegiatan dari MitraWacana WRC. Dari kegiatan-kegiatan tersebut, muncullah anggota-anggota baru yang aktif. Dan saya kembali bersemangat untuk aktif di Sejoli.
Ada satu hal lagi yang berkesan ketika saya mengikuti Sejoli dan Mitra Wacana WRC, saya mendapatkan ilmu tentang pendidikan anak (parenting).Saya sadar, dulu sebelum saya mengikuti Sejoli dan Mitra Wacana WRC, saya termasuk salah satu orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anak.Saya sering memarahi anak dan melakukan kekerasan fisik kepada anak (mencubit dan memukul anak ketika nakal dan bandel serta tidak menurut).Setelah mendapat kan ilmu tentang parenting dan kekerasan terhadap anak, saya sadar bahwa apa yang saya lakukan terhadap anak-anak tidak benar dan melanggar Undang-Undang.
Akhirnya sampai sekarang saya sudah tidak melakukan kekerasan dan memarahi anak-anak ketika mereka nakal dan tidak menurut. Apa yang telah saya lakukan dengan mempraktikkan parenting dan tidak melakukan kekerasan baik verbal maupun fisik terhadap anak membuat saya dan anak-anak semakin dekat dan semakin sayang. Saya sangat bersyukur sekali telah mendapatkan bimbingan dan ilmu dari Sejoli dan Mitra Wacana WRC
You may like
Opini
Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya
Published
1 week agoon
8 December 2025By
Mitra Wacana

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2
Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.
Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.
Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.
Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.
Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip.
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.
Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.
Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Mitra Wacana Hadiri Rapat Koordinasi Organisasi Kemasyarakatan Kabupaten Bantul

Mitra Wacana Ikuti Orasi Budaya Hari HAM FISB UII






