Opini
Menebarkan Pengetahuan Kesehatan Reproduksi
Published
11 years agoon
By
Mitra Wacana

Wahyu Tanoto
Oleh Wahyu Tanoto
Masih saja ada pendapat berkembang di tengah masyarakat bahwa perbincangan mengenai seksualitas dianggap tabu atau lazim disebut saru, atau bahkan istilah yang lebih familiar adalah ora diajari mengko teyeng dewek (meskipun tidak diajari nanti bisa melakukan sendiri). Pendapat ini seolah di amini dan maklumi oleh sebagian besar masyarakat karena persoalan seksualitas adalah wilayah pribadi yang tidak perlu dibagi dengan orang lain. Namun, fakta dilapangan berkata lain banyak anak-anak dan remaja yang menjadi korban kekerasan seksual. Perhatikanlah data yang dilansir oleh Pusat Pelayanan Terpadu Berbasis Gender dan Anak (PPTBGA) Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah mengungkapkan, selama Januari 2014 telah menerima 22 laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak [1].
Perbincangan mengenai kesehatan seksual dan reproduksi memang bukan hal yang mudah, karena konotasinya seolah dianggap mengajari bagaimana melakukan hubungan seksual. Sehingga, ada keengganan (untuk tidak bilang abai) ditengah masyarakat untuk mencari informasi yang benar dan tepat berkaitan dengan persoalan kesehatan reproduksi. Walhasil, banyak kita dengar dan kita lihat berita adanya remaja melakukan aborsi akibat dari kehamilan tidak dikehendaki. Akankah hal ini terus terulang?
Memberikan informasi yang benar dan tepat tentang pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi sejak dini diyakini dapat menyalurkan pemahaman anak akan kondisi tubuhnya, pemahaman akan lawan jenisnya dan pemahaman untuk menghindarkan dari pecehan dan kekerasan seksual. Pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi yang dimaksud di sini adalah anak mulai dikenalkan mengenal identitas diri dan keluarga, mengenal anggota-anggota organ tubuh secara biologis beserta fungsinya, dapat menyebutkan ciri-ciri tubuh dan yang tidak kalah penting adalah mengajarkan kepada anak bahwa tidak perkenankan ada orang lain yang menyentuh organ reproduksi dengan cara-cara yang tidak dibenarkan.
Pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi merupakan suatu proses panjang yang terus-menerus perlu dilakukan. Artinya, tidak ada cara ampuh dan instan untuk mengajarkannya selain dengan metode bertahap sejak dini. Kita dapat memberikan informasi awal yang mudah dicerna dan sederhana kepada anak, hal ini dapat dimulai dari bagaimana cara membersihan/mencuci alat kelamin, lalu meningkat dengan diperkenalkannya anatomi tubuh secara biologis bersama fungsinya serta dampaknya.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menyampaikan pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi pada anak, yaitu dapat dimulai dengan memperkenalkan kepada anak dalam membersihkan alat kelaminnya sendiri. Dengan cara memberikan pengertian kepada anak untuk membersihkan alat genitalnya dengan benar setelah buang air kecil (BAK) maupun buang air besar (BAB), anak dapat belajar mandiri dan tidak bergantung dengan orang lain.
Pendidikan tersebut secara tidak langsung dapat mengajarkan anak untuk tidak sembarangan mengizinkan orang lain membersihkan alat kelaminnya, karena faktanya banyak dijumpai persitiwa pelecehan seksual yang dilakukan oleh orangtua. Sedangkan cara lain yang dapat digunakan sebagai media mengenalkan tubuh dan ciri-ciri tubuh antara lain melalui gambar/poster, lagu dan permainan. Pemahaman pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi di usia dini diharapkan agar anak dapat memperoleh informasi yang benar dan tepat serta terukur.
Selanjutnya cara penyampaian pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi-pun sebaiknya tidak vulgar, karena akan berdampak tidak positif terhadap anak. Di sini, melihat faktor usia menjadi penting untuk memperhatikannya. Artinya, ketika akan mengajarkan anak mengenai pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi, perlu melihat sasaran yang dituju. Karena ketika anak sudah diajarkan mengenai seksualitas, biasanya anak akan kristis dan ingin tahu tentang berbagai hal yang berkaitan dengan seksualitas. Sedangkan jika jika menunda memberikan pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi pada saat anak mulai memasuki usia remaja, maka hal tersebut dipandang relative agak terlambat. Karena di tengah kemajuan teknologi yang terus berkembang, tidaklah sulit memperoleh informasi dari internet dan teman sebaya saat usia remaja telah mengetahui tentang seksualitas dan informasi yang didapat cenderung dari sudut pandang yang kurang bertanggung jawab.
Akhirnya dengan mengajarkan dan memberikan bekal pendidikan kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi pada anak, diharapkan dapat menghindarkan anak dari risiko negatif. Dengan sendirinya anak diharapkan akan mengetahui secara bertahap, mendalam kemudian memahami mengenai seksualitas secara benar, tepat, terukur dan bertanggung jawab.
[1] https://www.kabar3.com/news/2014/02/kasus-kekerasan-seksual-anak-meningkat-di-banyumas
You may like
Opini
Peran Sastra Populer dalam Meningkatkan Literasi di Kalangan Remaja
Published
7 days agoon
7 November 2025By
Mitra Wacana

Penulis : Fatin Fashahah, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas
Sastra populer sering dipandang rendah, dianggap hanya untuk hiburan, dangkal, atau terlalu komersial. Sikap seperti ini muncul dari pendapat bahwa karya populer tak setara dengan karya-karya yang biasanya dipelajari di bangku perkuliahan. Padahal, bagi banyak remaja, sastra populer justru menjadi pintu pertama untuk mulai suka membaca. Mengabaikan atau mengecilkan peran sastra populer berarti menutup kesempatan bagi generasi muda untuk jatuh cinta pada dunia tulisan.
UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Fakta ini menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca rekreasi di banyak kelompok usia.
Namun, ketika pembaca terutama remaja diberi kebebasan memilih bacaan yang sesuai selera dan pengalaman mereka, minat membaca bisa saja meningkat. Dengan kata lain, relevansi isi buku terhadap kehidupan pembaca muda sangat menentukan apakah mereka akan terus membaca atau tidak. Sastra populer seperti buku young adult, novel roman remaja, dan cerita fantasi ringan sering kali menawarkan tema dan tokoh yang mudah dipahami remaja karena ceritanya seringkali dihubungkan dengan kehidupan remaja, sehingga mereka lebih tertarik untuk membaca.
Selain itu, sastra populer lebih mudah diakses lewat platform digital, cerita-cerita di aplikasi dan situs bacaan daring seperti Ipusnas, google play book, wattpad, karyakarsa dll. membuat remaja menemukan teks yang mereka suka kapan saja dengan mudah. Bentuk online juga mendorong interaksi pembaca bisa memberi komentar, berdiskusi, atau bahkan menulis kembali cerita mereka sendiri. Pengalaman berinteraksi seperti ini memberi dorongan kuat untuk terus membaca dan menulis. Beberapa karya yang awalnya populer di dunia maya kemudian diterbitkan secara cetak atau diadaptasi menjadi film dan serial menunjukkan bahwa bacaan populer punya peran penting dalam membangun ekosistem budaya yang lebih luas.
Penolakan terhadap sastra populer sering kali datang dari dua alasan utama. Pertama, alasan estetika, anggapan bahwa karya populer kurang bermutu secara sastra. Kedua, alasan moral atau konten bahwa beberapa cerita mengandung nilai yang dipertanyakan. Kritik seperti ini tidak salah jika tujuannya untuk memperbaiki kualitas karya. Namun, cara menanggapinya yang kurang tepat bisa membuat minat membaca remaja menjadi surut, seharusnya kita bukan melarang atau merendahkan bacaan tersebut. Akan lebih baik jika pembaca pemula diajarkan bagaimana cara membaca yang kritis. Dengan membimbing remaja membaca secara kritis, kita membantu mereka mengenali kekuatan dan kelemahan sebuah teks, sehingga pengalaman membaca menjadi lebih bermakna.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat membaca remaja diantaranya. Pertama, perpustakaan sekolah dan umum perlu menata koleksi yang seimbang baik karya klasik dan akademik berdampingan dengan bacaan populer. Pendekatan ini mengakui bahwa pembaca punya selera berbeda, dan memberi ruang bagi remaja yang sedang mencari gaya baca dan minat mereka. Kedua, guru dan pustakawan harus dilatih untuk memfasilitasi diskusi yang mengaitkan tema populer dengan konsep sastra dasar. Misalnya, dari sebuah novel populer, kita bisa mengajak pembaca membahas tokoh, alur, sudut pandang, atau pesan yang tersirat yanga terdapat di dalam novel tersebut. Langkah sederhana ini bisa mengubah bacaan ringan menjadi bahan belajar yang efektif.
Ketiga, adanya kegiatan klub baca dan lomba menulis berbasis minat yang bisa menghubungkan pembaca muda dengan mentor dan teman sebaya. Suasana komunitas yang saling mendukung membuat kegiatan membaca terasa lebih menyenangkan. Selain itu, adanya lomba menulis membuat remaja merasa diberi ruang kreatif untuk mengekspresikan dirinya. Keempat, harus ada kerja sama antara sekolah dengan platform digital. Hal ini penting untuk menyediakan akses yang aman dan terkurasi. Akses digital tanpa bimbingan bisa berisiko negatif dengan memperkenalkan konten yang kurang sesuai untuk pembaca dibawah umur. Oleh karena itu, peran pendidik dan orang tua tetap penting dalam menumbuhkan minat membaca terutama pembaca anak-anak dan remaja.
Secara budaya, sikap berhati-hati atau keraguan terhadap sastra populer sering kali membuat masyarakat melewatkan cerita-cerita yang sebenarnya dekat dengan kehidupan banyak orang, khususnya para remaja dari berbagai latar belakang. Karya populer dapat menjadi ruang untuk bereksperimen dengan bahasa, identitas, dan pengalaman sehari-hari. Ketika karya semacam ini dibahas di sekolah atau komunitas, karya tersebut berpotensi memperkaya imajinasi serta cara pandang masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Dengan demikian, sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari wacana budaya yang turut membentuk cara berpikir dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.
Kesimpulannya, alih-alih memandang sastra populer secara sebelah mata, akan lebih bermanfaat jika masyarakat mencoba melihat potensinya dalam meningkatkan minat baca dan memperkuat budaya literasi. Pendekatan yang inklusif dapat dimanfaatkan untuk menjadikan daya tarik sastra populer sebagai pintu masuk bagi pembaca pemula. Tentu saja, hal ini tetap perlu disertai dengan bimbingan dan adanya pengenalan terhadap keterampilan membaca kritis serta jenis bacaan yang lebih beragam. Dengan begitu, kebiasaan membaca tidak hanya meningkat, tetapi juga dapat mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa generasi muda.







