Opini
Meneropong Kekerasan Pada Anak di Indonesia
Published
10 years agoon
By
Mitra Wacana

Arif Sugeng Widodo
Oleh Arif Sugeng Widodo
Baru-baru ini Indonesia dihebohkan kasus pembunuhan Angeline (ada yang menyebut Engeline) di Bali. Kasus ini muncul awalnya dari laporan kehilangan pihak keluarga dalam hal ini ibu angkat Angeline, Margariet. Seiring penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian sementera ini diketahui pelaku pembunuhan adalah orang dekat yang tinggal di rumah tersebut. Tersangka awal ditetapkan yaitu petugas kebersihan di rumah tersebut sebagai pelaku. Penyelidikan masih berlanjut apakah ada keterlibatan pihak keluarga dalam kasus pembunuhan tersebut.
Berita terbaru yang muncul beberapa hari ini mengungkapkan bahwa ibu angkat korban, Margaret Mega W terlibat dalam pembunuhan tersebut. Di luar kasus pembunuhan tersebut, ibu angkat Angeline juga dijadikan tersangka oleh pihak kepolisian dengan dugaan penelantaran anak. Kasus Angeline masih dalam penyelidikan kepolisian masih butuh proses untuk beberapa waktu sampai jelas apa alasan pembunuhan Angeline tersebut terjadi.
Sebenarnya sudah banyak kasus kekerasan yang menimpa anak-anak di bumi Indonesia tercinta ini. Pemberitaan terhadap terjadinya kasus kekerasan pada anak hampir tiap tahun selalu muncul. Berbagai jenis kekerasan yang menimpa anak terjadi kebanyakan dilakukan oleh orang-orang terdekat atau paling tidak sudah dikenal oleh korban. Beberapa kasus yang sering diberitakan di media berupa kekerasan seksual, penelantaran, kekerasan fisik bahkan sampai pembunuhan. Tentu menjadi keprihatinan bersama bahwa kekerasan terhadap anak lebih banyak dilakukan oleh orang-orang terdekat korban.
Orang-orang terdekat mestinya menjadi pelindung dan memberikan rasa aman pada anak. Tapi dari berbagai kasus menunjukkan ada seorang ayah yang menghamili anaknya sendiri, seorang ibu yang menyiksa dan membunuh anaknya sendiri. Belum lagi ada kasus yang menunjukkan saudara, tetangga, guru, dan kakek yang melakukan kekerasan pada anak. Berbagai kasus kekerasan yang terjadi dengan pelaku orang-orang terdekat tentu memunculkan tanda tanya besar, apa yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi? Dengan banyaknya kasus kekerasan terhadap anak dan pelaku adalah orang-orang terdekat menunjukkan bahwa Indonesia saat ini sedang dalam kondisi darurat kekerasan terhadap anak.
Menuntut pemerintah agar bertindak dengan cepat mengatasi berbagai kasus yang muncul tentu suatu hal yang wajar. Bagaimanapun pemerintah punya otoritas dan wewenang agar persoalan yang terjadi terhadap anak-anak ini bisa cepat teratasi dan tentunya tidak terulang. Tapi permasalahan tersebut tidak bisa serta merta diserahkan pada pemerintah semata. Tanpa ada dukungan luas dari masyarakat itu sendiri berbagai kasus kekerasan pada anak akan terus berulang. Butuh kesadaran kolektif dari berbagai pihak bahwa kasus kekerasan yang terjadi pada anak yang muncul dewasa ini butuh ditangani bersama-sama. Penanganan kekerasan terhadap anak jika hanya dilakukan secara parsial tidak menyelesaikan permasalahan secara komprehensif.
Masing-masing kasus mempunyai akar permasalahan yang berbeda-beda. Pendekatan terhadap penyelesaian tiap-tiap kasus tentu juga akan berbeda. Kekhasan masing-masing kasus inilah yang harus dikaji secara mendalam untuk mendapatkan suatu solusi yang memadai terhadap permasalahan yang ada. Akan sangat penting bahwa program-program perlindungan terhadap anak tidak dilakukan dengan pendekatan proyek, tentu hasil yang diharapakan akan jauh dari yang diharapkan. Melibatkan partisipasi masing-masing individu di masyarakat adalah suatu keharusan. Tidak mudah tapi bisa dilakukan walaupun memang butuh waktu yang panjang.
Saat ini yang dibutuhkan adalah sinergitas dari berbagai elemen. Perlindungan terhadap anak tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri apalagi muncul egosektoral di instansi yang ada, tentu hal tersebut akan menghambat. Pembelajaran mengenai parenting menjadi sangat penting di masyarakat. Melalui kelompok-kelompok yang sudah ada dimasyarakat berbagai penyuluhan, sosialisasi, pelatihan mengenai pengasuhan anak akan sangat membantu mencegah kasus kekerasan berulang. Dalam beberapa kasus orangtua bahkan tidak tahu kalau memukul anak, memarahi secara membabi buta dan juga menelantarkannya adalah suatu tindakan yang salah. Padahal berbagai bentuk kekerasan terhadap anak tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang sudah direvisi pada tahun 2014.
Penerapan Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak tidak serta merta melalui pendekatan hukum, pendekatan sosiologis, psikologis, budaya dan juga agama akan sangat membantu dalam mencegah kekerasan terhadap anak terulang. Pendekatan hukum menjadi penting untuk memberikan efek jera tindakan kekerasan yang sudah masuk ranah pidana. Tapi kasus-kasus kekerasan yang masih tergolong “ringan” masih bisa diupayakan untuk dilakukan pendekatan dengan cara yang halus. Sehingga tindak kekerasan terhadap anak bisa dicegah dan seharusnya dicegah sedini mungkin agar tidak ada lagi kasus kekerasan terjadi.
You may like
Opini
Peran Sastra Populer dalam Meningkatkan Literasi di Kalangan Remaja
Published
6 days agoon
7 November 2025By
Mitra Wacana

Penulis : Fatin Fashahah, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas
Sastra populer sering dipandang rendah, dianggap hanya untuk hiburan, dangkal, atau terlalu komersial. Sikap seperti ini muncul dari pendapat bahwa karya populer tak setara dengan karya-karya yang biasanya dipelajari di bangku perkuliahan. Padahal, bagi banyak remaja, sastra populer justru menjadi pintu pertama untuk mulai suka membaca. Mengabaikan atau mengecilkan peran sastra populer berarti menutup kesempatan bagi generasi muda untuk jatuh cinta pada dunia tulisan.
UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Fakta ini menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca rekreasi di banyak kelompok usia.
Namun, ketika pembaca terutama remaja diberi kebebasan memilih bacaan yang sesuai selera dan pengalaman mereka, minat membaca bisa saja meningkat. Dengan kata lain, relevansi isi buku terhadap kehidupan pembaca muda sangat menentukan apakah mereka akan terus membaca atau tidak. Sastra populer seperti buku young adult, novel roman remaja, dan cerita fantasi ringan sering kali menawarkan tema dan tokoh yang mudah dipahami remaja karena ceritanya seringkali dihubungkan dengan kehidupan remaja, sehingga mereka lebih tertarik untuk membaca.
Selain itu, sastra populer lebih mudah diakses lewat platform digital, cerita-cerita di aplikasi dan situs bacaan daring seperti Ipusnas, google play book, wattpad, karyakarsa dll. membuat remaja menemukan teks yang mereka suka kapan saja dengan mudah. Bentuk online juga mendorong interaksi pembaca bisa memberi komentar, berdiskusi, atau bahkan menulis kembali cerita mereka sendiri. Pengalaman berinteraksi seperti ini memberi dorongan kuat untuk terus membaca dan menulis. Beberapa karya yang awalnya populer di dunia maya kemudian diterbitkan secara cetak atau diadaptasi menjadi film dan serial menunjukkan bahwa bacaan populer punya peran penting dalam membangun ekosistem budaya yang lebih luas.
Penolakan terhadap sastra populer sering kali datang dari dua alasan utama. Pertama, alasan estetika, anggapan bahwa karya populer kurang bermutu secara sastra. Kedua, alasan moral atau konten bahwa beberapa cerita mengandung nilai yang dipertanyakan. Kritik seperti ini tidak salah jika tujuannya untuk memperbaiki kualitas karya. Namun, cara menanggapinya yang kurang tepat bisa membuat minat membaca remaja menjadi surut, seharusnya kita bukan melarang atau merendahkan bacaan tersebut. Akan lebih baik jika pembaca pemula diajarkan bagaimana cara membaca yang kritis. Dengan membimbing remaja membaca secara kritis, kita membantu mereka mengenali kekuatan dan kelemahan sebuah teks, sehingga pengalaman membaca menjadi lebih bermakna.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat membaca remaja diantaranya. Pertama, perpustakaan sekolah dan umum perlu menata koleksi yang seimbang baik karya klasik dan akademik berdampingan dengan bacaan populer. Pendekatan ini mengakui bahwa pembaca punya selera berbeda, dan memberi ruang bagi remaja yang sedang mencari gaya baca dan minat mereka. Kedua, guru dan pustakawan harus dilatih untuk memfasilitasi diskusi yang mengaitkan tema populer dengan konsep sastra dasar. Misalnya, dari sebuah novel populer, kita bisa mengajak pembaca membahas tokoh, alur, sudut pandang, atau pesan yang tersirat yanga terdapat di dalam novel tersebut. Langkah sederhana ini bisa mengubah bacaan ringan menjadi bahan belajar yang efektif.
Ketiga, adanya kegiatan klub baca dan lomba menulis berbasis minat yang bisa menghubungkan pembaca muda dengan mentor dan teman sebaya. Suasana komunitas yang saling mendukung membuat kegiatan membaca terasa lebih menyenangkan. Selain itu, adanya lomba menulis membuat remaja merasa diberi ruang kreatif untuk mengekspresikan dirinya. Keempat, harus ada kerja sama antara sekolah dengan platform digital. Hal ini penting untuk menyediakan akses yang aman dan terkurasi. Akses digital tanpa bimbingan bisa berisiko negatif dengan memperkenalkan konten yang kurang sesuai untuk pembaca dibawah umur. Oleh karena itu, peran pendidik dan orang tua tetap penting dalam menumbuhkan minat membaca terutama pembaca anak-anak dan remaja.
Secara budaya, sikap berhati-hati atau keraguan terhadap sastra populer sering kali membuat masyarakat melewatkan cerita-cerita yang sebenarnya dekat dengan kehidupan banyak orang, khususnya para remaja dari berbagai latar belakang. Karya populer dapat menjadi ruang untuk bereksperimen dengan bahasa, identitas, dan pengalaman sehari-hari. Ketika karya semacam ini dibahas di sekolah atau komunitas, karya tersebut berpotensi memperkaya imajinasi serta cara pandang masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Dengan demikian, sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari wacana budaya yang turut membentuk cara berpikir dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.
Kesimpulannya, alih-alih memandang sastra populer secara sebelah mata, akan lebih bermanfaat jika masyarakat mencoba melihat potensinya dalam meningkatkan minat baca dan memperkuat budaya literasi. Pendekatan yang inklusif dapat dimanfaatkan untuk menjadikan daya tarik sastra populer sebagai pintu masuk bagi pembaca pemula. Tentu saja, hal ini tetap perlu disertai dengan bimbingan dan adanya pengenalan terhadap keterampilan membaca kritis serta jenis bacaan yang lebih beragam. Dengan begitu, kebiasaan membaca tidak hanya meningkat, tetapi juga dapat mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa generasi muda.







