Opini
Realita dan Resiko “Nikah Karbit”
Published
10 years agoon
By
Mitra Wacana

Wahyu Tanoto
Oleh Wahyu Tanoto
Dewasa ini masih saja tidak sulit menemukan praktik pernikahan di bawah umur atau lazim disebut pernikahan dini atau bahkan dalam bahasa lain kerap dikenal sebagai “Nikah Karbit” (Ajeng Puspa dkk, 2013), yaitu suatu pernikahan/perkawinan yang belum saat-nya dikarenakan syarat-syarat pernikahan yang belum terpenuhi oleh calon mempelai dengan batasan umur yang telah ditentukan oleh Undang-undang Perkawinan tahun 1974, yaitu 21 tahun (Pasal 6 ayat 2) atau bagi yang belum berusia 21 tahun yaitu pihak pria sekurang-kurangnya mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun dan harus mendapatkan izin dari kedua orang-tua (Pasal 7 ayat 1). Memang benar, dalam keadaan tertentu menikahkan anak di bawah usia tetap diperbolehkan, namun pihak-pihak yang bersangkutan harus mengajukan permohonan dispensasi nikah dengan resiko mendapat “gunjingan”. Meskipun undang-undang perkawinan memperbolehkan praktik dispensasi ini, tentu saja akan ada “badai besar” dalam jagad pernikahan di Indonesia, yaitu semakin membuka peluang untuk terjadinya pernikahan di bawah umur yang dapat mereduksi nilai sakralitas dan esensi suatu pernikahan.
Dalam catatan global, menurut United Nations Development Economic and Social Affairs (UNDESA), Indonesia merupakan negara ke-37 dengan Menurut catatan BKKBN 2014, hampir 50 % dari 2, 5 juta pernikahan per-tahun adalah kelompok usia di bawah 19 tahun yaitu 11, 12 sampai 19, namun untuk kelompok terbanyak ada usia 15, 19 tahun yang mencapai sekitar 48 %. Sedangkan untuk pernikahan dini di kabupaten Banjarnegara menurut pengadilan agama sejak tahun 2010 ada 104, tahun 2011 sebanyak 128, tahun 2012 sebanyak 193, dan pada 2013 mencapai 139. Oleh karenanya bukanlah kebetulan apabila pada 2013 menurut dinas kesehatan, Banjarnegara merupakan kabupaten dengan angka kematian bayi tertinggi di Jawa Tengah. Hal ini terungkap dari jumlah Angka Kematian Bayi pada 2012 yang mencapai 297 kematian dari 16.358 kelahiran hidup atau 18/1.000 KH, yang diduga sebagai akibat dari pernikahan dini.
Kita semua hampir pasti menemukan argumentasi mengapa ada orang melakukan praktik pernikahan ini; baik karena dijodohkan, akibat dari kehamilan tidak di inginkan (KTD) atau karena sebab dan alasan lain. Apapun alasannya pernikahan dini tetap saja perlu dihindari meskipun masih saja ada paradigma diluar sana yang menyebutkan bahwa “banyak anak banyak rejeki”. Tagline tersebut seolah menjadi “racun” yang memabukkan untuk melanggengkan praktik pernikahan dini. Kita memiliki kepentingan untuk mempromosikan bahaya pernikahan dini sebagai salah satu upaya untuk mengurangi angka kematian bayi dan ibu, terlebih bagi anak perempuan karena akan lebih banyak menanggung resiko ketika tetap “nekat” melangsungkan pernikahan di bawah umur.
Pernikahan dini dengan dalih apapun selalu saja akan melahirkan resiko; baik secara fisik, psikis, sosial maupun kesehatan. Pertama, secara organ reproduksi perempuan tentu saja belum siap untuk melakukan hubungan intim atau mengandung, akibatnya perempuan “dipaksa” mengandung, yang tentu beresiko mengalami tekanan darah tinggi/gangguan kesehatan lainnya seperti kejang-kejang/perdarahan/keguguran atau bahkan mengalami kematian pada ibu atau bayinya. Lebih dari itu dalam sudut pandang kesehatan reproduksi, sesungguhnya sel telur yang dimiliki oleh perempuan juga belum siap dibuahi. Resiko lebih lanjut yang pasti dijumpai adalah apabila dalam melakukan perawatan bayi pasca melahirkan. Kita semua tahu bahwa perawatan kehamilan dan kelahiran memerlukan ilmu pengetahuan yang lengkap atau yang populer dikenal sebagai rantai kesehatan; sehat fisik, psikis dan sosial.
Kedua, secara psikis pasangan usia dini belumlah memiliki kesiapan. Kehamilan yang terjadi saat usia remaja, terlebih yang tidak mendapatkan dukungan dari suami (baca: yang menghamili) beresiko mengalami tekanan batin, baik masa kehamilan maupun pasca melahirkan. Tentu saja, tekanan batin yang dialami oleh pasangan muda dapat “mengganggu” dalam melakukan manajemen emosi ketika menghadapai perubahan anatomi tubuh, lebih-lebih ketika masa perawatan bayi dikhawatirkan menimbulkan benceng karep (adanya ketidak sepakatan antar pasangan).
Ketiga, dalam kacamata kesehatan reproduksi, pernikahan dini juga beresiko terpapar infeksi menular seksual (IMS), kanker mulut rahim dan terpapar virus HIV yang penyebarannya cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, terlebih bagi perempuan ibu rumah tangga perlu lebih waspada. Kenapa demikian? Karena untuk sekarang ini menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, pengidap terbesar viru HIV adalah ibu rumah tangga yang tertular dari suami mencapai 6.539 orang pada 2014. Selanjutnya, kita semua tahu bahwa IMS dapat menyebabkan gangguan pada serviks (mulut rahim) yang merupakan silent killer (pembunuh senyap) paling tenar saat ini. Sedangkan secara epidemiologis terdapat kaitan erat antara penyebaran IMS dengan penularan HIV. Infeksi menular seksual, baik dengan adanya perlukaan maupun tanpa perlukaan secara nyata telah terbukti meningkatkan resiko penularan HIV, yaitu terutama melalui hubungan intim. Oleh karenanya pernikahan dini bukanlah persoalan ringan mengingat dampak lanjutan yang akan ditanggung, terutama bagi anak perempuan di kemudian hari.
Akhirnya kita semua dituntut untuk berperan aktif untuk meminimalisir dampak dari terjadinya pernikahan dini sebagai salah satu tanggung jawab moral terhadap generasi selanjutnya. Dalam konteks ini saya melihat minimal ada dua hal yang perlu kita sumbangkan. Secara struktural, Negara dalam konteks ini pemerintah bersama jajaran yang terkait sudah semestinya secara terus-menerus mentransfer pengetahuan (sosialisasi) kepada masyarakat sebagai salah satu upaya pencegahan pernikahan dini.
Selanjutnya melakukan kerja-kerja berjejaring bersama pondok pesantren, institusi sekolah, organisasi keagamaan dan organisasi masyarakat lainnya dalam rangka menciptakan aktor-aktor penggerak perubahan di ranah komunitas. Lebih jauh, secara kultural perlu menggiatkan kembali diskusi-diskusi tematik di tengah masyarakat sebagai salah satu upaya pembangunan kapasitas di tingkat arus bawah yang saat ini kecendurangannya mulai pudar sebagai salah satu upaya melakukan pembangunan kesepahaman antara pengambil kebijakan-masyarakat yaitu melalui jaring aspirasi dalam konteks perlindungan terhadap perempuan dan anak untuk terbitnya kebijakan yang lebih berperspektif kesetaraan dan keadilan
You may like
Opini
Peran Sastra Populer dalam Meningkatkan Literasi di Kalangan Remaja
Published
8 hours agoon
7 November 2025By
Mitra Wacana

Penulis : Fatin Fashahah, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas
Sastra populer sering dipandang rendah, dianggap hanya untuk hiburan, dangkal, atau terlalu komersial. Sikap seperti ini muncul dari pendapat bahwa karya populer tak setara dengan karya-karya yang biasanya dipelajari di bangku perkuliahan. Padahal, bagi banyak remaja, sastra populer justru menjadi pintu pertama untuk mulai suka membaca. Mengabaikan atau mengecilkan peran sastra populer berarti menutup kesempatan bagi generasi muda untuk jatuh cinta pada dunia tulisan.
UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Fakta ini menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca rekreasi di banyak kelompok usia.
Namun, ketika pembaca terutama remaja diberi kebebasan memilih bacaan yang sesuai selera dan pengalaman mereka, minat membaca bisa saja meningkat. Dengan kata lain, relevansi isi buku terhadap kehidupan pembaca muda sangat menentukan apakah mereka akan terus membaca atau tidak. Sastra populer seperti buku young adult, novel roman remaja, dan cerita fantasi ringan sering kali menawarkan tema dan tokoh yang mudah dipahami remaja karena ceritanya seringkali dihubungkan dengan kehidupan remaja, sehingga mereka lebih tertarik untuk membaca.
Selain itu, sastra populer lebih mudah diakses lewat platform digital, cerita-cerita di aplikasi dan situs bacaan daring seperti Ipusnas, google play book, wattpad, karyakarsa dll. membuat remaja menemukan teks yang mereka suka kapan saja dengan mudah. Bentuk online juga mendorong interaksi pembaca bisa memberi komentar, berdiskusi, atau bahkan menulis kembali cerita mereka sendiri. Pengalaman berinteraksi seperti ini memberi dorongan kuat untuk terus membaca dan menulis. Beberapa karya yang awalnya populer di dunia maya kemudian diterbitkan secara cetak atau diadaptasi menjadi film dan serial menunjukkan bahwa bacaan populer punya peran penting dalam membangun ekosistem budaya yang lebih luas.
Penolakan terhadap sastra populer sering kali datang dari dua alasan utama. Pertama, alasan estetika, anggapan bahwa karya populer kurang bermutu secara sastra. Kedua, alasan moral atau konten bahwa beberapa cerita mengandung nilai yang dipertanyakan. Kritik seperti ini tidak salah jika tujuannya untuk memperbaiki kualitas karya. Namun, cara menanggapinya yang kurang tepat bisa membuat minat membaca remaja menjadi surut, seharusnya kita bukan melarang atau merendahkan bacaan tersebut. Akan lebih baik jika pembaca pemula diajarkan bagaimana cara membaca yang kritis. Dengan membimbing remaja membaca secara kritis, kita membantu mereka mengenali kekuatan dan kelemahan sebuah teks, sehingga pengalaman membaca menjadi lebih bermakna.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat membaca remaja diantaranya. Pertama, perpustakaan sekolah dan umum perlu menata koleksi yang seimbang baik karya klasik dan akademik berdampingan dengan bacaan populer. Pendekatan ini mengakui bahwa pembaca punya selera berbeda, dan memberi ruang bagi remaja yang sedang mencari gaya baca dan minat mereka. Kedua, guru dan pustakawan harus dilatih untuk memfasilitasi diskusi yang mengaitkan tema populer dengan konsep sastra dasar. Misalnya, dari sebuah novel populer, kita bisa mengajak pembaca membahas tokoh, alur, sudut pandang, atau pesan yang tersirat yanga terdapat di dalam novel tersebut. Langkah sederhana ini bisa mengubah bacaan ringan menjadi bahan belajar yang efektif.
Ketiga, adanya kegiatan klub baca dan lomba menulis berbasis minat yang bisa menghubungkan pembaca muda dengan mentor dan teman sebaya. Suasana komunitas yang saling mendukung membuat kegiatan membaca terasa lebih menyenangkan. Selain itu, adanya lomba menulis membuat remaja merasa diberi ruang kreatif untuk mengekspresikan dirinya. Keempat, harus ada kerja sama antara sekolah dengan platform digital. Hal ini penting untuk menyediakan akses yang aman dan terkurasi. Akses digital tanpa bimbingan bisa berisiko negatif dengan memperkenalkan konten yang kurang sesuai untuk pembaca dibawah umur. Oleh karena itu, peran pendidik dan orang tua tetap penting dalam menumbuhkan minat membaca terutama pembaca anak-anak dan remaja.
Secara budaya, sikap berhati-hati atau keraguan terhadap sastra populer sering kali membuat masyarakat melewatkan cerita-cerita yang sebenarnya dekat dengan kehidupan banyak orang, khususnya para remaja dari berbagai latar belakang. Karya populer dapat menjadi ruang untuk bereksperimen dengan bahasa, identitas, dan pengalaman sehari-hari. Ketika karya semacam ini dibahas di sekolah atau komunitas, karya tersebut berpotensi memperkaya imajinasi serta cara pandang masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Dengan demikian, sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari wacana budaya yang turut membentuk cara berpikir dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.
Kesimpulannya, alih-alih memandang sastra populer secara sebelah mata, akan lebih bermanfaat jika masyarakat mencoba melihat potensinya dalam meningkatkan minat baca dan memperkuat budaya literasi. Pendekatan yang inklusif dapat dimanfaatkan untuk menjadikan daya tarik sastra populer sebagai pintu masuk bagi pembaca pemula. Tentu saja, hal ini tetap perlu disertai dengan bimbingan dan adanya pengenalan terhadap keterampilan membaca kritis serta jenis bacaan yang lebih beragam. Dengan begitu, kebiasaan membaca tidak hanya meningkat, tetapi juga dapat mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa generasi muda.

Peran Sastra Populer dalam Meningkatkan Literasi di Kalangan Remaja

Mitra Wacana Dorong Peningkatan Kapasitas Masyarakat Kulon Progo untuk Wujudkan Kalurahan Ramah Perempuan dan Anak





