web analytics
Connect with us

Opini

Perdagangan Manusia dalam Tinjauan Islam

Published

on

belenggu perdagangan orang ft sammisreachers
Rindang Farihah

Rindang Farihah

Oleh Rindang Farihah

Perdagangan manusia (human trafiking) di dalam sejarah kajian islam lebih di kenal dengan kisah/cerita perbudakan yang terjadi di wilayah jazirah arabiah. Namun sejak kapan terjadi praktek perbudakan ini tidak ada yang tahu secara pasti. Karena jauh sebelum nabi Muhammad SAW dilahirkan, praktek perbudakan telah terjadi bahkan pada masa nabi Ya’qub alaihisalam, orang yang terbukti mencuri diserahkan kembali kepada orang yang dicuri hartanya untuk kemudian dijadikan budaknya.

Bukti lain adanya perbudakan juga diceritakan pada masa nabi Ibrahim Aalaihisalam, sarah isteri tercinta, memberikan budaknya, Siti Hajar kepada nabi Ibrahim as yang kemudian memberikan keturunan yaitu Nabi Ismail Alaihisalam. Ketika Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi oleh Allah tugas utamanya adalah memperbaiki akhlaq kaum Quraisy saat itu, sehingga spirit membebaskan manusia dari praktek perbudakan merupakan salah satu dari upaya memperbaiki akhlaq kaumnya. Islam mengajarkan, manusia merupakan ciptaan Allah yang paling istimewa, paling sempurna (laqod kholaqnal insaana fii ahsani taqwiim) tidak hanya sempurna secara fisik namun juga dilengkapi dengan akal dan kemampuan lainnya.

Faktor terjadinya praktek perbudakan karena didukung oleh situasi sosial politik saat itu. Struktur sosial masyarakat saat itu sangat patriarkhi, sistem kelas sosial masih berlaku. Suku Quraisy adalah suku tertinggi sehingga sangat dihormati dan disegani di wilayah Jazirah Arab. Intensitas peperangan yang tinggi antar suku/kabilah, terjadinya perampokan, penculikan perempuan, kemiskinan dan ketidakberdayaan membayar hutang. Ditambah lagi dengan adanya pasar budak tempat dimana para tuan memperjualbelikan budaknya. Praktek ini terjadi selama beratus-ratus tahun sampai akhirnya Islam datang dan menghapus praktek perbudakan ini, namun dilakukan secara bertahap, tidak secara langsung. Misalnya dengan adanya hukum kafarat memerdekakan budak ketika seorang muslim melakukan pelanggaran sebuah hukum agama.

Alasan Islam menghapus praktek perbudakan dikarenakan perilaku tuan kepada para budak sangat diskriminatif, disamping bisa diperjual belikan, budak dipekerjakan secara paksa tanpa imbalan/upah, tidak memiliki waktu untuk mengurus diri sendiri, hidupnya hanya untuk melayani sang tuan, bahkan untuk budak perempuan para majikan memiliki hak seksualitas atasnya, namun ketika terjadi kehamilan dan melahirkan seorang bayi, bayi tersebut statusnya bayi merdeka ( di nisbatkan kepada bapaknya ). Sedangkan untuk budak perempuan ibu dari bayi tersebut selamanya tetaplah menjadi budak.

Lalu apa bedanya, Perbudakan Masa Lampau dan Perdagangan Manusia Saat ini?

Jawabannya adalah tidak ada bedanya, atau boleh di bilang perdagangan manusia (human trafficking) adalah praktek perbudakan masa kini. Yang membedakan hanyalah waktu dan tempat, dikarenakan perkembangan peradaban umat manusia, dan ini terkait dengan ragamnya modus yang terjadi, ditambah factor perkembangan teknologi yang berdampak pada globalisasi dunia, korban perbudakan dan trafficking keduanya, sama-sama tereksploitasi hak-haknya, diambil kemanfaatan dari diri nya yang membedakan adalah ruang dan waktu. Jikalau dulu hanya terjadi dalam lingkup kecil, dalam satu suku, atau antar suku namun sekarang yang terjadi lintas daerah bahkan lintas negara.

Pada dasarnya hukum perdagangan itu mubah dan syah bila terjadi suka sama suka di kedua belah pihak yang bertransaksi (an-tarodhin minkum). Artinya dalam aktifitas ini tidak ada yang dirugikan, baik melalui tipu muslihat ( ghoror ) mau pun melalui tekanan ( kekerasan ). Dalam konteks perdagangan manusia saat ini ( human trafficking ), obyek yang perdagangkan adalah manusia, lebih tepatnya manusia merdeka ( bukan budak ). Dalam QS. Al-Isro’ ayat 70 “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan , Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.

Dalam ayat tersebut di atas jelas bahwa Allah menjamin rezeki setiap manusia, dilebihkan dari makhluq yang lain, ini bisa di artikan di jamin kemerdekaan, tidak bisa diperjual belikan seperti halnya makhluq lain. Lalu bagaimana hukum menjual manusia ? Ulama bersepakat hukumnya haram, karena kegiatan jual beli manusia ini, merendahkan martabat manusia, menyamakannya dengan barang, menjadikannya obyek dengan menafikan hak-haknya dan pelakunya berdosa.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu dari Nabi Salallahu alaihi wa salam bersabda: Allah Ta’ala berfirman: ” Tiga golongan yang aku adalah sengketa mereka dihari Qiamat; seorang yang bersumpah atas nama-Ku lalu ia tidak menepatinya, dan seseorang yang menjual manusia merdeka dan memakan harganya, dan seseorang yang menyewa tenaga seorang pekerja kemudian ia selesaikan pekerjaan itu akan tetapi tidak membayar upahnya. Ibnu Najim berkata dalam Kitab Al Asybah wa Nadzoir pada qaidah yang ketujuh: ” Orang merdeka tidak dapat masuk dalam kekuasaan seseorang, maka ia tidak menanggung disebabkan ghosobnya walaupun orang merdeka tadi masih anak-anak”.

Manusia meskipun dia adalah anak-anak namun tetap mempunyai hak memiliki dan tidak di miliki apalagi diperjualbelikan. Ulama bersepakat, bahkan tidak menepati upah seseorang atau menunda upah seseorang adalah sama dengan memperdagangkan manusia. Karena yang terjadi dalam trafficking adalah para makelar tenaga kerja atau PTKIS yang memakan upah / gaji TKI padahal itu haknya atas pekerjaannya atau menipunya dengan membayar gaji tidak sesuai dengan kontrak kerja bahkan kerapkali pekerjaan yang dijanjikan tidak sesuai dengan kontrak kerja dengan menjerumuskan pekerja perempuan menjadi komoditi seks atau prostitusi. Dari uraian diatas jelas praktek-praktek perdagangan manusia hukumnya haram tidak ada kebaikan didalamnya, dan tidak sesuai dengan hadist Nabi SAW, “ berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum kering keringatnya”.

Bagaimana Peran Umat Islam dalam Memerangi Perdagangan Perempuan dan Anak?

Sebagai salah satu civil society di Indonesia, organisasi pemuda perempuan NU yang dikenal dengan Fatayat NU sejak tahun 2004 telah memulai kampanye anti trafficking, program advokasi mengatasi persoalan perdagangan perempuan dan anak perempuan dengan menyelenggarakan program-program, mulai dari seminar, dialog public dan pelatihan seputar issue trafficking, juga issue terkait yaitu Infeksi Menular Seksual HIV-AIDS

Pada tahun 2006 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengadakan Musyawarah Nasional NU di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, dalam MUNAS ini NU memberikan fatwa bahwa haramnya hukum trafficking dan wajib mencegah terjadinya trafiking. Karena adanya kedloliman dan tidak ada sedikit pun kemaslahatan dalam praktek perdagangan manusia. Dan MUNAS NU juga menghimbau kepada Negara agar melakukan perlindungan TKI dan TKW salah satunya dengan mengoptimalkan fungsinya sebagai muhrim bagi para TKW agar tidak menjadi korban trafficking dengan cara misalnya mengadakan perjanjian bilateral dengan Negara penerima TKI /TKW serta adanya penegakan hukum yang tegas bagi para makelar yang terbukti melakukan praktek perdagangan manusia. Wallohu a’lam bi asshowab.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Click with Caution: Keeping Indonesian Kids Safe Online

Published

on

Sumber: Freepik
 

Author: Sarah Crockett (Intern from Australia)

The world has become increasingly interconnected, with the use of smartphones and the internet skyrocketing globally. Children and young adults in particular are heavy users of social media and are at the forefront of digital usage. This rise in digital engagement has brought with it a host of opportunities, but also significant risks for young users. As children navigate the online world, they are increasingly exposed to dangers such as cyberbullying, online sexual exploitation, and harmful content. Addressing online safety is thus an urgent priority for all countries. However, Indonesian children in particular have a high rate of access to the internet and all of the potential accompanying issues. 
 
According to the 2023 report by Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), over 80% of children aged 10-17 in Indonesia have access to the internet, with the majority engaging through mobile devices. Popular platforms include TikTok, YouTube, WhatsApp, and Instagram, often used without adequate supervision. While internet use can support learning and creativity, it also poses challenges when digital literacy and parental guidance are lacking. Many parents are less, or totally unfamiliar with some or all of these platforms, making it difficult to warn against same of the dangers of online engagement.
 
Children in Indonesia face a range of online risks. Cyberbullying has become prevalent on social media and there is also a risk of online grooming and sexual exploitation. These issues are exacerbated by the anonymity and accessibility of online communication, the ability of individuals to hide their identity emboldens them in their actions. ECPAT Indonesia noted a significant rise in online child sexual exploitation cases during the COVID-19 pandemic. Exposure to harmful content, including pornography, hate speech, and graphic violence, is also widespread and frequently insufficiently regulated. Girls in particular are more at risk of facing online harassment and discrimination.
 
Indonesia has enacted several laws to address online risks, including Law No. 11/2008 on Electronic Information and Transactions and Law No. 35/2014 on Child Protection. While these frameworks provide a foundation for action, enforcement remains inconsistent, and child-specific digital protections are still evolving. The Ministry of Communication and Information (Kominfo) has launched digital literacy campaigns, but their reach and impact vary. Regional disparities and limited teacher training further constrain effective implementation.
 
To address this growing concern, the Indonesian government is preparing stronger safeguards for children on digital platforms. Inspired by recent steps taken by countries like Australia, Indonesia is considering a law that would restrict access to social media for users under the age of 16. The move follows increasing reports of online abuse and growing concerns among parents, educators, and child protection advocates. There has been a mixed response to this proposed safeguard, with some feeling it is overly restrictive and authoritarian while others feel it is a necessary measure to protect the mental health and safety of Indonesia’s children.
 
Kominfo is also working on interim child protection guidelines. These guidelines aim to regulate digital content, enforce stricter age verification mechanisms, and compel social media companies to take greater responsibility for harmful content on their platforms. While some critics worry about overregulation and the potential to limit young people’s access to information, many experts argue that the safety of children must come first. “Digital literacy alone is not enough,” says a child rights activist based in Jakarta. “We need infrastructure, policy, and corporate accountability to protect our children in cyberspace.”
 
There are various strategies that can be utilised to improve the safety of children online. In the home parents can be empowered with tools and knowledge about how to protect their children’s safety online through workshops. Schools can implement digital literacy programs into the curriculum to help children to understand the potential risks. Reporting systems for instances of online abuse can be created and made readily accessible and child-protection laws can also be enhance and updated to reflect the current online landscape.
 
Online safety for children in Indonesia is a pressing concern requiring coordinated action across sectors. With its growing digital youth population, Indonesia is well-positioned to lead regional efforts in child online protection. Prioritizing inclusive, culturally sensitive, and rights-based strategies will help ensure that all children can explore the digital world safely and confidently.
 
References
• APJII. (2023). Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet Indonesia.
• ECPAT Indonesia. (2020). Online Child Sexual Exploitation in Indonesia.
• Kominfo. (2023). Digital Literacy Campaigns.
• Raharjo, B. (2022). Digital Parenting in Indonesia: Challenges and Cultural Contexts.
• UNICEF Indonesia. (2021). Digital Literacy for Children and Adolescents in Indonesia.
• UNICEF Office of Research – Innocenti. (2020). Growing Up in a Connected World.
• UNESCO Jakarta. (2019). Safe Internet Use for Indonesian Youth.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending