web analytics
Connect with us

Arsip

Tafsir Agama Ramah Perempuan: Upaya Penghapusan Kekerasan

Published

on

learning banner

Adat Jawa “Pasok Tukon” cenderung merugikan perempuan. Ketika sudah ada pasok tukon, seolah-olah calon penganten laki-laki sudah ‘membeli” calon penganten perempuan. Pasok tukon dimaknai sebagai panjar, sehingga  meskipun belum ada ijab kabul,  seolah-olah sudah halal segala-galanya. Pernah ada kejadian di sebuah kampong di Kabupaten Sleman, tiba-tiba calon penganten laki-laki memutuskan untuk tidak meneruskan ke jenjang pernikahan. Pernyataan ini terungkap dari peserta  Focus Group Discussion (FGD)  pada Kamis (3/6). FGD diselenggarakan oleh Komunitas untuk Indonesia yang Adil dan Setara (KIAS) Vocal Point Yogyakarta di Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia (PSI UII), Yogyakarta.

Menurut koordinator KIAS Vocal Point Yogyakarta, Titik Istiyawatun, FGD dimaksudkan untuk menggali  fenomena bias gender dalam penafsiran ajaran agama-agama dan budaya di Yogyakarta.  Hal ini merupakan bagian dari upaya pemetaan kultur dan kebijakan yang ada. Pemetaan dilakukan sebagai langkah awal perumusan agenda promosi tafsir agama dan budaya ramah perempuan.

Menurut Titik mengatakan bahwa tafsir agama-agama dan budaya yang kurang ramah terhadap perempuan selama ini, menjadi akar penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Sehingga penting untuk dilakukan upaya tafsir ulang ajaran agama-agama dan budaya yang masih bias menjadi tafsir yang lebih ramah, lalu mempromosikannya secara massif. Ini penting untuk meminimalisir terjadinya kekerasan terhadap perempuan.

FGD melibatkan pengurus ormas agama  lintas iman, seperti Wanita Katholik Republik Indonesia (WKRI), Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI), Perempuan Buddis, Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Fatayat, dan beberapa ormas lain yang ada di Bantul dan Sleman Yogyakarta.

KIAS merupakan jaringan masyarakat yang bertujuan menghapus praktek kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan yang didasarkan atas tafsir agama dan budaya. KIAS dideklarasikan di Jakarta, pada 8 Maret 2011  bertepatan dengan peringatan 100 tahun Hari Perempuan Internasional.

Saat ini sudah terbangun jaringan KIAS di 18 propinsi di seluruh Indonesia.  KIAS Vocal Point Yogyakarta merupakan salah satu diantaranya,  dengan Mitra Wacana Woman Resource Centre (WRC) Yogyakarta sebagai koordinator. Tim inti KIAS Yogyakarta terdiri dari PSI UII, Lembaga Studi Islam dan Politik (LSIP) Yogyakarta, dan Rifka Annisa.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Arsip

Menguatkan Ruang Kerja Bersama untuk Pemerintahan Terbuka, Mitra Wacana Berpartisipasi dalam Forum OGP Lokal DIY

Published

on

Yogyakarta, 3 Desember 2025. Mitra Wacana hadir dalam Forum Open Government Partnership (OGP) Local yang digelar oleh Dinas Komunikasi dan Informatika DIY di Gedhong Pracimasana, Kompleks Kepatihan Danurejan. Pertemuan ini berlangsung sejak pagi dan mempertemukan beragam lembaga yang selama ini terlibat dalam pelayanan publik, kebencanaan, kemanusiaan, pendidikan, serta kerja-kerja pemberdayaan masyarakat.

Lebih dari tiga puluh lembaga hadir, termasuk unsur pemerintah daerah, akademisi, lembaga humaniter, organisasi kebencanaan, filantropi, dan NGO. Bagi Mitra Wacana, kehadiran dalam forum ini menjadi kesempatan untuk menyampaikan pengalaman lapangan terkait kebutuhan warga, khususnya kelompok rentan yang sering kesulitan mengakses informasi dan layanan.


Acara dibuka oleh Asisten Sekda Bidang Administrasi Umum Setda DIY yang menggarisbawahi perlunya membangun ruang pertemuan yang memberi tempat bagi warga. Setelah itu, beberapa lembaga berbagi pengalaman. Dalam kesempatan tersebut, Perkumpulan Ide dan Analitika Indonesia (IDEA) memaparkan pendekatan penanggulangan kemiskinan yang mengajak berbagai pihak bergerak bersama.
Sedangkan dari Forum Pengurangan Risiko Bencana DIY membagikan pembelajaran dari pendampingan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana.

Paparan tersebut memperlihatkan bahwa pendekatan pemerintahan terbuka akan lebih dinamis ketika pengalaman masyarakat menjadi bagian dari prosesnya. Mitra Wacana hadir membawa perspektif dari kerja pendampingan perempuan, anak, penyintas kekerasan, serta warga rentan. Dalam pertemuan tersebut, perwakilan Mitra Wacana menyampaikan beberapa hal yang perlu diperkuat dalam proses OGP DIY.

Pertama, ruang dialog yang memungkinkan warga berbagi pengalaman tanpa merasa dibatasi. Kedua, penyediaan data yang mudah diakses masyarakat. Ketiga, penyusunan kebijakan yang sejak awal mempertimbangkan kebutuhan kelompok yang sering luput dari pembahasan. Keempat, pentingnya menjaga keberlangsungan ruang keterlibatan warga, bukan hanya dalam bentuk pertemuan per tahun, tetapi melalui mekanisme yang jelas.
Masukan tersebut diterima sebagai bagian dari rangkaian ide yang kelak dipertimbangkan dalam penyusunan agenda tindak lanjut OGP Local DIY.

Pertemuan ini diikuti antara lain oleh Bappeda DIY, BPBD DIY, Dinas Sosial DIY, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY, Forum PRB DIY, IDEA, YEU, SIGAB Indonesia, Human Initiative, Baznas DIY, Lazismu DIY, NU Care Lazisnu, MDMC PWM DIY, Kwarda Pramuka DIY, Konsorsium Pendidikan Bencana DIY, Mitra Wacana, IRE, YASANTI.


Melalui keikutsertaan dalam forum ini, Mitra Wacana memperkuat komitmen untuk terlibat dalam penyusunan agenda pemerintahan terbuka di tingkat daerah. Mitra Wacana akan terus mengembangkan kerja sama lintas lembaga dan memastikan nilai-nilai keadilan, keberpihakan pada kelompok rentan, serta pelibatan warga tetap menjadi dasar dalam proses penyusunan kebijakan publik. (Tnt).

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending