Opini
Pucuk Dicinta Ulam Pun Tiba
Published
8 years agoon
By
Mitra Wacana
Oleh Rodiyah (P3A SEJOLI Punggelan Banjarnegara)
Sebelumnya saya merantau di pulau Sumatera, tepatnya di Sorek Riau.Kemudian saya dan suami memutuskan untuk pulang ke kampung saya, desa Bondolharjo.Tepatnya pada bulan Juni 2017 kami tiba di Bondolharjo.Alasan kami pulang kampung adalah karena masa kontrak kerja suami di perkebunan sawit sudah habis dan suami tidak ingin memperpanjang kontrak kerjanya dengan pihak perkebunan.
Selama beberapa minggu di kampung, ada banyak cerita yang saya dengar dari tetangga maupun dari saudara.Banyak peristiwa yang terjadi di desa Bondolharjo selama 6 tahun sejak kepergian saya ke Sumatera.Dan banyak sekali perubahan yang terjadi di Bondolharjo.Dari sekian banyak cerita yang disampaikan oleh para tetangga, saya paling tertarik dengan cerita tentang SEJOLI (Serikat Bondolharjo Peduli) dan MitraWacana WRC.
Menurut cerita, SEJOLIdan Mitra Wacana WRC adalah organisasi dan lembaga yang bergerak dalam bidang perlindungan terhadap perempuan dan anak.Sementara itu saya juga mendengar banyak cerita tentang kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di desa saya.Saya merasa sangat terpanggil untuk ikut bergabung dengan SEJOLI dan MitraWacana, karena sebagai seorang perempuan dan sebagai seorang ibu, nurani dan empati saya terpanggil untuk memperjuangkan kaum perempuan.
Maksud dan niat saya untuk bergabung dengan SEJOLI dan Mitra Wacana WRC saya sampaikan kepada Bu Yulisah yang kebetulan masih saudara saya serta kepada bu Saminah selaku ketua SEJOLI dan kebetulan juga adalah bibi saya. Kemudian bu Saminah menyampaikan keinginan saya tersebut kepada pendamping SEJOLI, dan saya diperkenankan bergabung dengan SEJOLI dan MitraWacana WRC.Saya pun langsung diperbolehkan untuk ikut dalam kegiatan SEJOLI.
Pertama kali ikut kegiatan SEJOLI adalah saat kegiatan pertemuan rutin SEJOLI dirumah bu Khamiyah, dalam pertemuan ini membahas tentang agenda Syawalan SEJOLI dan Syawalan di Forum Perempuan Punggelan. Dan dari kegiatan tersebut saya menjadi anggota SEJOLI serta aktif dalam kegiatan SEJOLI selanjutnya seperti Sosialisasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak di sekolah, Sosialisasi di Dusun. Dari kegiatan tersebut saya merasa bukan hanya sekedar ibu rumah tangga biasa saja yang tahunya hanya dapur saja tapi bisa melakukan satu hal yaitu berbagi ilmu kepada orang lain dan bisa bertemu dengan para perempuan yang sama seperti saya seorang ibu rumahtangga tapi bersama-sama memiliki tekad untuk berjuang untuk kaum perempuan dan anak-anak, serta pencegahan kekerasan.
Satu hal yang menghambat saya untuk aktif di SEJOLI dan kegiatan MitraWacana WRC adalah saya tidak bisa naik motor dan karena pekerjaan suami saya sebagai penjual sayur keliling membuat saya kadang-kadang tidak bisa mengikuti kegiatan SEJOLI atau Mitra Wacana WRC WRC karena tidak ada yang mengantar dan motor dipakai untuk berjualan.
Namun hal tersebut tidak membuat saya putus asa atau menyerah, walau pun ada beberapa kegiatan yang tidak bisa saya ikuti, tapi saya mencoba untuk selalu mengikuti perkembangan SEJOLI dan Mitra Wacana WRC dengan selalu mencari informasi dari ibu-ibu lain yang datang.
Meskipun baru bergabung dengan SEJOLI dan MitraWacana WRC tapi saya mendapatkan banyak manfaat bukan hanya soal perlindungan perempuan dan anak tapi juga tentang bagaimana mengutarakan ide, bersosialisasi dengan masyarakat, dan berwirausaha. Saya berharap SEJOLI di Bondolharjo kedepan nya akan terus selalu ada dan membawa perubahan untuk desa Bondolharjo menjadi lebih baik.
You may like
Opini
Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya
Published
1 week agoon
8 December 2025By
Mitra Wacana

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2
Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.
Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.
Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.
Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.
Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip.
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.
Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.
Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Mitra Wacana Hadiri Rapat Koordinasi Organisasi Kemasyarakatan Kabupaten Bantul

Mitra Wacana Ikuti Orasi Budaya Hari HAM FISB UII





