web analytics
Connect with us

Opini

Sebuah Kepedulian

Published

on

Dokumentasi pelatihan kespro remaja di Punggelan

Oleh Emi Sumiyati (P3A SEJOLI Punggelan Banjarnegara)

Pertama kali saya bergabung dengan Mitra Wacana WRC adalah saat saya mengikuti pelatihan Kesetaraan Gender pada tahun 2013.Dalam pelatihan tersebut saya baru tahu bahwa manusia itu sama “memiliki kedudukan yang sama” baik laki-laki maupun perempuan.

Setelah dari pelatihan tersebut saya mulai berani untuk berbicara.Sebelumnya saya adalah seorang yang paling minder apalagi untuk menyampaikan gagasan atau pendapat di depan orang, takut salah kalau berbicara. Ketidak beranian saya mungkin dilator belakangi oleh masa kecil saya.Pada waktu kecil saya trauma karena sering meilhat kekerasan di rumah, orang tua sering bertengkar di depan anak-anaknya. Hal tersebut membuat sayat akut dan trauma untuk berbicara kepada orang lain, takut memancing kemarahan atau tidak sesuai dengan pendapat orang lain.

Setelah aktif di SEJOLI, perlahan-lahan saya mulai berani berbicara, bersosialisasi kesekolah-sekolah dan majelis-majelis di desaBondolharjo.Namun, satu hal yang saya masih belum memiliki keberanian dalam berbicara ataupun melakukan tindakan yaitu soal penanganan kasus. Dalam hal ini saya masih ‘wani-wani pitek’ istilah jawanya, artinya antara berani dan tidak, berani karena merasa simpati pada korban dan tidak berani karena takut mendapat ancaman, intimidasi oleh pelaku atau pun masyarakat. Tapi selama ini lebih banyak takutnya dari pada beraninya, meskipun sudah mendapat ilmu dan pelatihan yang banyak dari Mitra Wacana WRC.

Apalagi di Bondolharjo banyak sekali kasus, hal inilah yang membuat saya dan teman-teman SEJOLI merasa berat bila harus ditinggalkan oleh Mitra Wacana WRC. Dalam kasus-kasus sebelumnya saja, kita masih belum melakukan tindakan apa-apa karena belum berani dan lebih tepatnya masih dianggap oleh masyarakat dan pemerintah desa tidak mampu menangani kasus. Dulu saya juga sempat mau keluar dari SEJOLI gara-gara kita ada kasus yang berat yang membuat teman-teman pada keluar karena tidak diperbolehkan oleh suami mereka bergabung dengan SEJOLI dan menangani kasus, takut akan dipersalahkan dikemudian hari nanti. Tapi karena merasa saya mendapatkan ilmu dan SEJOLI tinggal beberapa orang, saya merasa tidak tega jika keluar dari SEJOLI.

Meski masih merasa takut bila mendapati kasus, tapi saya kembali bersemangat di SEJOLI dengan ikut aktif bersosialisasi kesekolah-sekolah dan majelis-majelis di Bondolharjo.Dan ternyata darikegiatan sosialisasi yang kami lakukan, pihak sekolah dan masyarakat Bondolharjo merespon kegiatan kami dengan baik dan memberikan dukungan yang posistif bagi kegiatan kami tersebut.Hal itu semakin menambah semangat saya dan teman-teman untuk terus di SEJOLI.Ditambah lagi dengan program kami yaitu AKSI PEDULI SEJOLI terhadap lansia yang ada di Bondolharjo, ini membuat saya merasa semakin bangga dengan SEJOLI.

Dari kegiatan-kegiatan sosialisasi dan Aksi Peduli SEJOLI yang mungkin dianggap masih belum bagus dalam pelaksanaannya tapi hal tersebut bagi saya pribadi sangat bermakna sekali. Inilah yang membuat saya bertahan di SEJOLI ingin membuat hidup saya lebih berarti bagi orang lain, bermanfaat bagi orang lain dengan terus peduli kepada sesame tidak membeda-bedakan jenis kelamin, status sosial, agama, harta dll. Saya yakin bahwa kepedulian kita akanmemberikan perubahan bagi orang lain, meski hanya dalam bentuk nasihat ataupun sosialisasi.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opini

Perdagangan Orang: Kejahatan Lintas Batas dan Fatamorgana Penanganan Kasus

Published

on

Penulis : Satrio Dwi Haryono (Komunitas Dianoia, Sukoharjo)

“Semua negara terkena dampak perdagangan manusia”, Ujar Rebeca Miller, Koordinator Regional UNODC untuk Perdagangan Manusia dan Penyelendupan Migran.

Perkataan di atas terlihat seperti biasa saja. Namun, hemat penulis perkataan tersebut menyimpan rasa keprihatinan yang begitu mendalam. Kata ‘dampak’ bukan diartikan sebagai ‘pengirim’ dan ‘penerima’ atau ‘penjual’ dan ‘pembeli’ saja melainkan yang lebih tepat ialah ‘korban’.

Di mana kebanyakan informasi yang bertebaran mengatakan bahwa korban perdagangan orang berasal dari negara ketiga saja. Padahal tidak, negara maju seperti Amerika Serikat yang notabene memiliki regulasi yang kuat dalam penanganan dan pencegahan TPPO saja masih memiliki jumlah kasus human trafickking yang tak kalah besarnya. Sehingga setiap negara pun, bukan sekadar pembeli atau penerima tetapi korban.

Arus globalisasi yang telah melemahkan batas-batas teritori negara seakan-akan menjadi dua mata pisau yang tajam. Di satu sisi mempermudah migrasi, di satu sisi yang lain juga mempermudah tindak perdagangan orang.

Tak diragukan lagi, human trafficking adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM yang kejam namun jarang disorot. Karena kejahatan perdagangan orang bersifat kompleks dan dinamis, terjadi dalam berbagai konteks dan sulit dideteksi. Sehingga data yang terjadi pun sangat minim. Dan hal itu juga beriringan dengan tantangan terbesar dalam mengembangkan respons anti perdagangan orang yang terarah dan juga mengukur dampaknya.

Padahal, lapisan penderitaan yang didera korban pun sangat tebal. Dalam satu kasus kerja paksa, satu korban dapat mendera tumpukan beban kesehatan fisik, mental, finansial bahkan seksual. Belum lagi bentuk kejahatan lainnya yang masih dalam koridor perdagangan orang seperti tenaga militer untuk peperangan, perdagangan organ, bahkan pernikahan pesanan dan lain sebagainya.

Dalam lanskap internasional, terdapat Protokol Palermo yang lahir dari perjanjian internasional sekaligus bagian dari kovensi PBB memiliki upaya untuk melawan Kejahatan Terorganisasi Transnasional.

Protokol Palermo lahir dari perjanjian internasional yang menjadi bagian dari Konvensi PBB Melawan Kejahatan Terorganisasi Transnasional (UNTOC). Protokol ini bertujuan untuk memberi kerangka global dalam upaya mencegah dan memberantas perdagangan orang, berpihak pada korban dan membangun kerja sama antar negara.

Melansir tulisan Linn Larsson (2021) yang menyoal Protokol Palermo dengan mendefiniskan perdagangan manusia sebagai segala bentuk eksploitasi seperti tindakan merekrut, menampung, mentransfer disertai ancaman atau pemaksaan lainnya seperti penipuan, penculikan, atau segala bentuk memanfaatkan kelemahan individu secara umum.

Dengan memberikan pedoman umum dalam penanganan kasus perdagangan manusia Protokol Palermo ini telah diratifikasi oleh negara kita melalui UU No. 14 Tahun 2009. Sebelum itu ada UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO. Tentu, pendekatan kontekstual digunakan negara kita untuk membaca Protokol Palermo sehingga regulasi yang tercantum pun lebih spesifik pada penanganan kasus di tingkat nasional.

Melansir dari Kompas.com (4/5/2023), Chrisanctus Paschalis Saturnus, Pimpinan Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau (KKPMP) Keuskupan Pangkalpinang dalam opininya yang berjudul Perdagangan Orang Sebagai Persoalan Republik menyebutkan bahwa penyebab lemahnya penegakan hukum pada kasus TPPO ialah penindakan kasus yang beririsan dengan UU Ketenagakerjaan yang fokus pada administrasi berujung pada manipulasi infrafstruktur kependudukan, KemenPPA yang notabene ialah lembaga non departemental menjadi kesulitan dalam memegang garis koordinasi, dan kasus perdagangan manusia kalah prioritasnya dengan agenda seperti anti-terorisme, anti-narkoba, bahkan selundupan baju bekas.

Hal ini menjadi miris ketika negara minim hadir dalam kasus-kasus kemanusiaan seperti ini. Meskipun jaringan bawah tanah terorisme dan narkoba tak kalah rumitnya dengan terorganisinya para kriminal perdagangan orang. Namun, sangat aneh ketika kasus TPPO tidak menjadi agenda utama pemerintah dalam menciptakan kehidupan yang aman dan nyaman bagi warganya. Mengingat kasus kemanusiaan selalui beririsan dengan manusia, tanpa condong pada kasus kemanusiaan yang mana dan mana yang mudah ditangani.

Melampaui Batas Wilayah dan Fatamorgana Penanganan Kasus

Dalam banyak kasus perdagangan manusia, batas wilayah geografis menjadi hilang. Hal tersebut dikarenakan perdagangan yang dilakukan sudah melibatkan dua negara atau lebih. Penulis menduga bahwa lintas negara begitu langgeng ketimbang dalam wilayah satu negara karena kebutuhan akan tenaga di negara maju meningkat dan jurang kemiskinan di negara berkembang semakin mendalam.

Tentu dampak yang didera korban akan lebih berlapis ketika ia berada di luar jangkauan negara asal. Mengutip penelitian yang digarap Evie Ariadne, dkk yang berjudul Human Trafficking in Indonesia: The Dialectic of Poverty and Corruption (2021) menyebutkan bahwa ekonomi dan mencari pekerjaan adalah motivasi terbesar yang menghanyutkan korban dalam ekosistem kejahatan lintas batas ini. Pasalnya, sebelum diberangkatkan para korban kerap kali dijanjikan dengan gaji besar dan hidup mapan. Kemudian, dokumen identitasnya seperti paspor disita, sehingga mereka tidak dapat melarikan diri.

Menurut laporan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dari tahun 2020-2023 pekerja migran asal Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia tersebar di daerah Eropa Timur, Timur Tengah, dan Asia. Dalam hal ini, Polandia menjadi urutan pertama dengan jumlah 364 korban. Disusul dengan Arab Saudi sebanyak 220 korban, Kamboja yang berjumlah 212 korban, Malaysia sebanyak 105 korban, Taiwan dengan jumlah 92 korban dan masih banyak lagi yang tersebar di 38 negara lainnya.

Pada tahun 2023, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menangani 1346 kasus TPPO yang hingga laporan tersebut dirilis masih menyisakan 600-an kasus yang belum selesai. Minimnya keberpihakan pada korban masih saja dipegang erat petugas penanganan kasus yang dalam hal ini ialah kepolisian.

Sangat tidak masuk akal memang, ketika korban dengan kesehatan fisik, mental dan finansial tidak baik-baik saja kasusnya malah mangkrak tanpa ditindaklanjuti. Saenudin, salah satu korban TPPO yang bekerja selama 19 bulan di bawah bendera Taiwan telah melaporkan dan kasusnya mangkrak selama 9 tahun di meja kepolisian. Ia sudah merasa bosan ketika kepolisian memeriksanya berkali-kali tanpa tindak lanjut penangkapan pelaku.

Selain ketidakberpihakannya kepada korban, pemahaman polisi terhadap TPPO dinilai juga belum merata. Pasalnya, beberapa kasus TPPO, pollisi malah menggunakan UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) ketimbang UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO. Memang banyak kasus menjerat perusahaan ilegal yang tidak memenuhi hak Pekerja Migran, padahal kesempatan untuk mendalami kasus TPPO dengan berhadapan langsung dengan korban disingkirkan begitu saja.

Belum lagi pemerasan yang dilakukan oleh penyidik terhadap korban. Laporan Project Multatuli yang berjudul ABK Mencari Keadilan di Tangan Bareskrim Polri: Dari Dugaan Pemerasan oleh Penyidik Satgas TPPO hingga Penyelidikan Dikalim Berlarut-larut (2022) menyebutkan kesaksian korban yang diperas oleh penyidik dengan sejumlah uang 100 juta. Ditambah kerja sama gelap sindikat pelaku dengan penyidik untuk tidak menindaklanjuti kasus dan memenuhi berkas-berkas kasus yang perlu dipenuhi.

Tak heran jika banyak kasus mangkrak yang seakan-akan berjalan di tempat. Ribuan laporan kasus seperti diselidiki dengan cermatnya, namun hanya bayang-bayang tak nyata seperti fatamorgana di gurun pasir.

Memang, perdagangan orang menjadi keprihatinan global yang menyeluruh. Tetapi, setidaknya, melalui coretan singkat ini dapat membuka pikiran kita dan memberikan edukasi kepada khalayak mengenai perdagangan orang yang notabene adalah kejahatan yang sama kejamnya dengan kasus kemanusiaan yang lain serta dapat menumbuhkan sensibilitas masyarakat untuk dapat mengendus kasus ini dengan baik. Namun, hal ini dikeruhkan tertimbunnya kasus-kasus kemanusiaan khususnya perdagangan orang dengan kasus-kasus lain yang kadang kala urgensinya tidak seberapa.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending