Opini
Menjadi Paralegal
Published
8 years agoon
By
Mitra Wacana
Oleh Andien (P3A SEJOLI Bondolharjo, Banjarnegara)
Dulu sebelum menikah, saya aktif berorganisasi dan senang belajar. Saya juga bercita-cita untuk aktif di organisasi yang peduli dan bisa membantu sesama.Tapi setelah menikah karena mendapatkan suami dari lain daerah dan saya belum paham betul tentang daerah suami, saya menjadi tidak aktif berorganisasi hanya terlibat dalam Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) itu pun karena saya sebagai istri dari seorang perangkat desa yang wajib mengikuti kegiatan PKK.
Baru di pada bulan April 2016 saya dikenalkan dengan Mitra Wacana WRC dan SEJOLI (Serikat Bondolharjo Peduli) dan saya baru tahu kalau di desa Bondolharjo ada organisasi perempuan yang bernama SEJOLI. Saya jadi ingat dulu ketika awal-awal di desa Bondolharjo pernah mendengar lomba Poster yang diadakan oleh Mitra Wacana WRC. Saat itu saya juga belum ngeh dengan Mitra Wacana WRC dan SEJOLI yang kegiatannya tentang perlindungan dan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, hal ini saya ketahui setelah ikut beberapa kegiatan dengan Mitra Wacana WRC.
Saya sering diajak untuk ikut kegiatan dan pelatihan oleh Mitra Wacana WRC, dan yang membuat saya kembali membulatkan tekad untuk aktif di SEJOLI adalah ketika saya ikut pelatihan Paralegal di rumah makan Sari Rahayu Gumiwang. Pada saat itu pelatihannya sangat bagus, menarik dan kita praktek langsung membuat saya menjadi lebih paham tentang hokum dan perlindungan terhadap perempuan dan anak.
Hal yang membuat saya ingat terus adalah setelah saya selesai mengikuti pelatihan Paralegal, saya mendapatkan laporan kasus dari teman saya. Temensaya curhat dan bertanya kepada saya tentang kasus kekerasan seksual yang menimpa putrinya. Ia menanyakan tentang perlindungan terhadap anak korban perkosaan? Apa saja hak-haknya baik dalam hukum, pengadilan, pendidikan, kesehatan dll.
Dari pelatihan Paralegal saya mengetahui bahwa tidak harus seorang pengacara, sarjana hukum yang bisa membantu seseorang yang terlibat kasus hukum, orang biasa pun yang mengerti tentang hokum bisa menjadi Paralegal yaitu orang yang memberikan dampingan hokum bagi korban yang membutuhkan. Kebetulan di pelatihan Paralegal juga memuat hal-hal tersebut, akhirnya saya dengan mudah memberikan informasi kepada teman saya dan tak lup amemberikan advokasi kepada teman saya dengan menghubungkan dengan pihak-pihak terkait.Teman saya juga menanyakan, “Apakah boleh korban mengajukan pindah sekolah dan tetap sekolah?” Saya menjawab: “ Boleh, dan pihak sekolah tidak boleh melarangnya atau mengeluarkan korban dari sekolah bahkan memberikan bantuan kepada korban dalam masa traumatisnya.” Teman saya sangat berterima kasih atas informasi yang saya bagi, dan saya ketahui dia akhirnya berjuang untuk putrinya tersebut.
Saya merasa sangat luar biasa saat itu, saya merasa benar-benar menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain dengan ilmu saya. Dan dari sinilah saya yakin bahwa sekecil apapun ilmu yang saya peroleh akan memberikan manfaat yang luar biasa bagi orang lain jika kita memiliki kemauan untuk membagikan dan menolong orang lain.
You may like
Opini
Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya
Published
1 week agoon
8 December 2025By
Mitra Wacana

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2
Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.
Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.
Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.
Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.
Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip.
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.
Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.
Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Mitra Wacana Hadiri Rapat Koordinasi Organisasi Kemasyarakatan Kabupaten Bantul

Mitra Wacana Ikuti Orasi Budaya Hari HAM FISB UII





