web analytics
Connect with us

Opini

Mondialisme dan Puritanisme

Published

on

Mondialisme. Gambar: https://project-world-vision.over-blog.com
Yos Soetiyoso

Yos Soetiyoso

Yos Soetiyoso (Pendiri Mitra Wacana WRC)

 

Ketika kita berpikir liniair dan datar-datar saja, melihat dan menganalisis masalah hanya yang nampak di permukaan saja, maka terlampau sulit untuk memahami bahwa Dunia saat ini sedang Bergejolak sangat dahsyat. Dan, jika bangsa ini gagal memahami problem besar apa yang sesungguhnya sedang terjadi, maka kita akan jadi bangsa celaka. Kata Bung Karno, menjadi “Bangsa Kuli dan Kuli di antara Bangsa-bangsa.

Berbeda dengan Revolusi Industri I (ditemukannya mesin uap), Revolusi II (Ditemukannya alat-alat listrik), Revolusi Industri III (komunikasi, informatika dan teknologi digital) – Revolusi Industri IV bergerak secara eksponensial. Lihat saja lompatan dari Revolusi Industri III (digital) ke Revolusi Industri IV yang begitu super cepat, hingga kita seperti tidak merasakannya.

Rezim BBM (fosil) segera berakhir seiring ditemukannya baterai yang mampu menyimpan tenaga listrik dengan ukuran Kwh (kilowatt per hour) bahkan bisa lebih. Tak lama lagi kita tidak asing dengan alat transportasi tanpa pengemudi. Yang paling dahsyat adalah lahirnya mesin-mesin cerdas atau yang dikenal sebagai Artificial Intelegent (AI). Masih segudang contoh dari perkembangan eksponensial teknologi yang terus melaju pesat dari hari kehari.

Revolusi Industri IV akan mendorong munculnya banyak inovasi. Perubahan cara produksi akan memunculkan limpahan barang murah. Demokratisasi alat – alat produksi menjadi berkah bagi masyarakat bawah. Ini peluang sekaligus tantangan. Dan, jangan lupa Revolusi Industri IV juga akan membawa dampak disrupsi/perusakan.

Rontoknya golongan tengah (para pengusaha, elite politik, para pemburu rente), juga diikuti goncangnya pasar tenaga kerja. Gulung tikarnya banyak pengusaha ritel, ratusan mall harus tutup, begitupun sejumlah Bank yang harus pailit. Berbarengan dengan itu ribuan pekerja harus dirumahkan. Gejala ini terjadi dimana-mana di seluruh dunia. Ke-semuanya itu adalah merupakan perubahan revolusioner pada Kekuatan Produksi, yang pada gilirannya akan menuntut perubahan mendasar (revolusioner) pada bentuk-bentuk hubungan produksi. Ini adalah keniscayaan yang tidak dapat ditolak oleh siapapun, dengan cara apapun. Bersamaan dengannya, kapitalisme telah mencapai fase/bentuk puncaknya – dengan terjadinya Sentralisasi Kapital. Secara ekonomi, dunia digerakkan hanya oleh beberapa gelintir orang – para penguasa finansial.

Ketegangan dan kegaduhan politik dari tingkat domestik, regional maupun di tingkat global, dewasa ini pada inti persoalannya adalah berporos pada ketidak-relaan golongan yang selama ini menikmati bentuk-bentuk hubungan produksi lama untuk bertransformasi. Atau ketidak pahaman bahwa bertransformasi adalah keniscayaan langkah yang harus mereka lakukan. Pada abad lampau, ketegangan konflik-konflik kepentingan semacam itu akan diselesaikan melalui jalan perang atau revolusi.

Saat ini,dengan segala kemajuan teknologinya (termasuk teknologi persenjataan/perang), nampaknya masih mencari bentuk baru resolusi nya (resolusi konflik bentuk baru). Namun, mau tak mau, suka tak suka, bentuk hubungan produksi lama ini akan dan harus berubah- entah lewat cara dan jalan apapun. Seiring dengan perubahan atau runtuhnya bentuk/model hubungan produksi lama ini, disertai pula dengan runtuhnya bangunan Institusi lama. Pada titik inilah problematika menjadi sulit dan rumit. Antara lain ini disebabkan oleh kemandegan/stagnasi di bidang ilmu-ilmu sosial dan ideologi yang masih dianut oleh kelompok-kelompok sosial politik tertentu.

Ketika begitu dahsyatnya teknologi (beserta kemajuan sains yang mengawalnya), berkembang secara eksponensial, sialnya ilmu sosial tidak berkembang bersamanya, bahkan cenderung stagnan. Begitupun para penganut ideologi yang ada, alih-lih mengkonfrontir ideologinya secara scientific terhadap perkembangan jaman, malahan terjerembab ke puritanisme. Di Indonesia, (maaf) menjamurnya kelompok Islam ekstrim dan kelompok nasionalis puritan, barangkali dapat menjadi contoh hal di atas.

Dalam banyak hal, ada kesulitan yang amat sangat ketika menjelaskan akan perubahan besar tersebut di atas, terutama perubahan di bidang sosial politik. Ketika kita bilang mondialisme yang sudah menjadi keniscayaan, dibilang agen globalisasi/kapitalisme. Ketika kita bilang berakhirnya jaman demokrasi one man one vote, dibilang anti demokrasi. Ketika kita bilang Post Nation State, dibilang anti nasionalisme. Yang terakhir ini, banyak orang lupa bahwa Nation State (Negara Kebangsaan) sebagaimana dianut sebagian besar negara-negara di dunia, adalah produk paska Revolusi Perancis. Perubahan besar melalui serentetan Perang Dunia (PD I dan PD II) telah merubah wajah dunia. Kemerdekaan Bangsa-bangsa terjajah, Liga Bangsa-bangsa menjadi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada era inilah lahirnya bentuk-bentuk Nation State.

Mondialisme, bersamaan dengan fase akhir kapitalisme (sentralisasi kapital) – mau tak mau akan mendorong negara-negara dengan model Nation State untuk bertransformasi ke model Post Nation State. Bentuknya seperti apa? Hari ini kita belum tahu, tapi saatnya nanti akan muncul elemen progresif bangsa ini yang akan mengantar dan memproses lahirnya Indonesia dalam format Post National State. Artinya Post Nation State tidak pernah menghilangkan konsep Kebangsaan kita – Indonesia. Tanpa bertransformasi ke arah sana, Indonesia akan terkucil dari percaturan dunia. Persoalannya, kita boleh saja kaya raya, tapi tidak mungkin kita hidup sendiri dan menyendiri. Mondialisme mendorong inklusifisme dalam percaturan internasional. Puritanisme, eksklusivisme tidak akan memperoleh tempat dalam era mondialisme. Lalu bagaimana bangsa ini harus bersikap? Bagaimana dan di mana rakyat diposisikan?

Ketika negara seperti abai, atau gagal paham akan masalah besar yang sudah di depan hidung, rakyat harus bersiap untuk merancang respons sendiri. Peluang terbuka dengan demokratisasi alat-alat produksi. Mengadopsi teknologi untuk masuk ke pasar online adalah pilihan mutlak. Banyak jalan dan cara yang bisa diciptakan. Inovatif dan kreatif menjadi faktor determinan, yang sumbernya adalah pengetahuan/knowledengane. The Power of Knowledengane akan menampak secara nyata. Rakyat harus dibimbing ke sana. Siapakah yang akan membimbing? Di sinilah kaum nasionalis mesti mengambil peran, dan bukan mengurung diri dalam puritanisme dan eksklusivisme.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Peran Sastra Populer dalam Meningkatkan Literasi di Kalangan Remaja

Published

on

Penulis : Fatin Fashahah, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas

Sastra populer sering dipandang rendah, dianggap hanya untuk hiburan, dangkal, atau terlalu komersial. Sikap seperti ini muncul dari pendapat bahwa karya populer tak setara dengan karya-karya yang biasanya dipelajari di bangku perkuliahan. Padahal, bagi banyak remaja, sastra populer justru menjadi pintu pertama untuk mulai suka membaca. Mengabaikan atau mengecilkan peran sastra populer berarti menutup kesempatan bagi generasi muda untuk jatuh cinta pada dunia tulisan.

UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Fakta ini menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca rekreasi di banyak kelompok usia.

Namun, ketika pembaca terutama remaja diberi kebebasan memilih bacaan yang sesuai selera dan pengalaman mereka, minat membaca bisa saja meningkat. Dengan kata lain, relevansi isi buku terhadap kehidupan pembaca muda sangat menentukan apakah mereka akan terus membaca atau tidak. Sastra populer seperti buku young adult, novel roman remaja, dan cerita fantasi ringan sering kali menawarkan tema dan tokoh yang mudah dipahami remaja karena ceritanya seringkali dihubungkan dengan kehidupan remaja, sehingga mereka lebih tertarik untuk membaca.

Selain itu, sastra populer lebih mudah diakses lewat platform digital, cerita-cerita di aplikasi dan situs bacaan daring seperti Ipusnas, google play book, wattpad, karyakarsa dll. membuat remaja menemukan teks yang mereka suka kapan saja dengan mudah. Bentuk online juga mendorong interaksi pembaca bisa memberi komentar, berdiskusi, atau bahkan menulis kembali cerita mereka sendiri. Pengalaman berinteraksi seperti ini memberi dorongan kuat untuk terus membaca dan menulis. Beberapa karya yang awalnya populer di dunia maya kemudian diterbitkan secara cetak atau diadaptasi menjadi film dan serial menunjukkan bahwa bacaan populer punya peran penting dalam membangun ekosistem budaya yang lebih luas.

Penolakan terhadap sastra populer sering kali datang dari dua alasan utama. Pertama, alasan estetika, anggapan bahwa karya populer kurang bermutu secara sastra. Kedua, alasan moral atau konten bahwa beberapa cerita mengandung nilai yang dipertanyakan. Kritik seperti ini tidak salah jika tujuannya untuk memperbaiki kualitas karya. Namun, cara menanggapinya yang kurang tepat bisa membuat minat membaca remaja menjadi surut, seharusnya kita bukan melarang atau merendahkan bacaan tersebut. Akan lebih baik jika pembaca pemula diajarkan bagaimana cara membaca yang kritis. Dengan membimbing remaja membaca secara kritis, kita membantu mereka mengenali kekuatan dan kelemahan sebuah teks, sehingga pengalaman membaca menjadi lebih bermakna.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat membaca remaja diantaranya. Pertama, perpustakaan sekolah dan umum perlu menata koleksi yang seimbang baik karya klasik dan akademik berdampingan dengan bacaan populer. Pendekatan ini mengakui bahwa pembaca punya selera berbeda, dan memberi ruang bagi remaja yang sedang mencari gaya baca dan minat mereka. Kedua, guru dan pustakawan harus dilatih untuk memfasilitasi diskusi yang mengaitkan tema populer dengan konsep sastra dasar. Misalnya, dari sebuah novel populer, kita bisa mengajak pembaca membahas tokoh, alur, sudut pandang, atau pesan yang tersirat yanga terdapat di dalam novel tersebut. Langkah sederhana ini bisa mengubah bacaan ringan menjadi bahan belajar yang efektif.

Ketiga, adanya kegiatan klub baca dan lomba menulis berbasis minat yang bisa menghubungkan pembaca muda dengan mentor dan teman sebaya. Suasana komunitas yang saling mendukung membuat kegiatan membaca terasa lebih menyenangkan. Selain itu, adanya lomba menulis membuat remaja merasa diberi ruang kreatif untuk mengekspresikan dirinya. Keempat, harus ada kerja sama antara sekolah dengan platform digital. Hal ini penting untuk menyediakan akses yang aman dan terkurasi. Akses digital tanpa bimbingan bisa berisiko negatif dengan memperkenalkan konten yang kurang sesuai untuk pembaca dibawah umur. Oleh karena itu, peran pendidik dan orang tua tetap penting dalam menumbuhkan minat membaca terutama pembaca anak-anak dan remaja.

Secara budaya, sikap berhati-hati atau keraguan terhadap sastra populer sering kali membuat masyarakat melewatkan cerita-cerita yang sebenarnya dekat dengan kehidupan banyak orang, khususnya para remaja dari berbagai latar belakang. Karya populer dapat menjadi ruang untuk bereksperimen dengan bahasa, identitas, dan pengalaman sehari-hari. Ketika karya semacam ini dibahas di sekolah atau komunitas, karya tersebut berpotensi memperkaya imajinasi serta cara pandang masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Dengan demikian, sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari wacana budaya yang turut membentuk cara berpikir dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.

Kesimpulannya, alih-alih memandang sastra populer secara sebelah mata, akan lebih bermanfaat jika masyarakat mencoba melihat potensinya dalam meningkatkan minat baca dan memperkuat budaya literasi. Pendekatan yang inklusif dapat dimanfaatkan untuk menjadikan daya tarik sastra populer sebagai pintu masuk bagi pembaca pemula. Tentu saja, hal ini tetap perlu disertai dengan bimbingan dan adanya pengenalan terhadap keterampilan membaca kritis serta jenis bacaan yang lebih beragam. Dengan begitu, kebiasaan membaca tidak hanya meningkat, tetapi juga dapat mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa generasi muda.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending