web analytics
Connect with us

Opini

Pencegahan Perdagangan Manusia Berbasis Desa

Published

on

Sumber gambar: https://pixabay.com
Ngatiyar

Ngatiyar

Oleh Ngatiyar (Manajer Program Mitra Wacana WRC Area Kulonprogo, DIY)

Perdagangan manusia atau human trafficking merupakan tindakan ilegal yang melanggar harkat dan martabat manusia.Indonesia tercatat sebagai penyumbang pekerja migran yang tinggi dan aktif dalam masalah perdagangan manusia. Kementerian Luar Negeri mencatat sejak tahun 2013 hingga 2016 terdapat 1.328 kasus WNI yang menjadi korban trafficking di luar negeri. Migrant Care mensinyalir lebih banyak lagi WNI terjebak dalam trafficking dibanding data yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri. Catatan Migran Care menyebut Mei 2015 hingga Mei 2016 terdapat 2.644 WNI terjebak di Timur Tengah .Sementara catatan International Organization for Migration (IOM) menyebut bahwa sejak tahun 2005 hingga 2014, terdapat 7.193 orang korban trafficking. Lebih memprihatinkan lagi, sebagian besar korbannya adalah perempuan dan anak .

Rentannya perempuan menjadi korban trafficking tidak bisa dilepaskan dari posisinya di ruang sosial yang masih lekat dengan budaya patiarkhi (laki-laki dianggap mempunyai kedudukan lebih tinggi dari perempuan). Budaya patriarkhi dalam perwujudannya telah menempatkan perempuan dalam ruang sempit yang mengakibatkan mereka mudah diperalat. Marginalisasi dan subordinasi dalam ranah sosial-politik, budaya, dan agama menjadikan perempuan sebagai alat dalam putaran modal. Ketidakadilan yang dialami oleh perempuan tersebut memberikan jawaban logis mengapa mereka menjadi kelompok rentan untuk diseret dalam bisnis yang tidak manusiawi ini.

Salah satu daerah yang warganya terindikasi menjadi korban trafficking adalah Kulonprogo. Wilayah yang terdiri dari 12 Kecamatan dan 88 desa ini sedang gencar mempersiapkan diri menjadi pintu gerbang bagi “internasionalisasi” Yogyakarta dengan pembangunan bandara. Sebagian pihak menilai pembangunan bandara ke depan dapat mengentaskan kemiskinan yang hingga periode 2015-2016 mencapai 20,64 %.

Sebaliknya, sebagian pihak justru memandang dapat membuka pintu yang lebih lebar bagi praktik perdagangan manusia yang “mengancam” perempuan desa. Alasannya; Pertama, ketimpangan dalam orientasi pembangunan antara yang bersifat fisik dan pemberdayaan sumberdaya manusia. Kedua, lemahnya perlindungan pemerintah desa atas warganya, terutama dari ancaman perdagangan manusia. Ketiga, belum terbuka ruang partisipasi perempuan dalam proses pengambilan kebijakan di desa.

Pembangunan fisik memang dibutuhkan bagi suatu daerah untuk mengembangkan diri dan menyejahterakan warganya. Namun pembangunan sumberdaya manusia, termasuk perempuan, juga tidak kalah penting. Lantaran ancaman perdagangan manusia dalam kenyataannya adalah pencamplokan kelompok kuat kepada kelompok yang lemah. Oleh karena itu, pemberdayaan perempuan sudah selayaknya menjadi agenda utama di Kulonprogo.

Belajar Dari Pengalaman Pahit Mantan Buruh

Mitra Wacana WRC melakukan penelitian pada tahun 2015di tiga kecamatan; Galur, Kokap, dan Sentolo dengan jumlah responden 150 orang yang kesemuanya adalah perempuan mantan buruh migran. Usiakeberangkatan mereka antara 15-46 tahun. Sedangkan dari sisi pekerjaan, 54% berada di sektor industri dan 56% sektor informal seperti PRT, penjaga toko, pelayan restoran, perawat lansia dan perawat anak.

Adapun negara tujuan terbesar adalah Malaysia 72%, Timur Tengah 20%, 4% Hongkong, 2% Taiwan dan 2% ke Brunei Darussalam. Mereka memperoleh informasi keberangkatan dari agen di DIY 32, 1%, sekolah sebanyak16%, sponsor dariPurworejo 10,7%, 7,4% daritemandan 1,7% dariseseorang di terminal.Selama menjalankan pekerjaannya, TKI mempunyai persoalan ketika bekerja. Berbagai persoalan itu adalah sebagai berikut: 0,9% menjawab tidak sesuai kontrak, 2,7% melarika ndiri, 20% bekerja 20 jam sehari, 24,5 bekerja 12 jam sehari, 2,7% tidak berdokumen, dan 45,4% tinggal di penampungan lebih dari 7 hari.

Dalam riset ini juga ditemukan adanya pelecehan seksual dan pemaksaan melakukan aktifitas melanggar hukum. Sebagian dari mereka disuruh untuk melepas baju dan hanya mengenakan celana dalam disuruh untuk berjalan ke depan dan ke belakang saat proses cek kesehatan. Petugas yang mengawal cek kesehatan adalah laki-laki. Selain itu, diperoleh informasi, buruh migran yang dijadikan sebagai kurir narkoba, beban berlebih karena harus mengurusi empat keluarga, dipajang di toko dengan memakairok dan celemek dan memperagakan memasak atau memegang alat bersih-bersih sambil menyapa pengunjung. Pada kasus lain ada TKI yang “direntalkan”. Salah satu contohadalah TKI dipinjamkan kepada majikan lain dan majikan lain tersebut memberi uang bukan pada TKI langsung tetapi pada majikan awal.

Pengalaman pahit dari para mantan buruh migran di atas, tentu saja menjadi narasi tersendiri yang semestinya direspon dalam bentuk program-program untuk pencegahan atas perlakuan tidak manusiawi bagi warga Kulonprogo. Salah satunya adalah dengan mengeluarkan perempuan dari zona rentan dengan memperkuat mereka dan perlindungan dari negara terhadap warganya dari tindakan yang mengarah pada trafficking. Karena Kuloprogo mayoritas wilayahnya adalah pedesaan, maka sudah semestinya pencegahan trafficking dilakukan melalui desa.

Desa Sebagai Basis Utama Pencegahan Trafficking

Patut disadari, perdagangan manusia merupakan ancaman yang korbannya bisa siapa saja. Hadirnya Undang-Undang Desa sejak tiga tahun silam sesungguhnya memberikan ruang bagi perempuan untuk memperkuat diri. Melalui bidang pemberdayaan dan pembinaan sebagai bagian dari kewenangan desa, pemerintahan desa berkewajiban untuk membuka ruang-ruang pemberdayaan. Undang-undang ini jelas mengamanatkan keterlibatan perempuan pada setiap tahapan dalam proses pembangunan desa. Meski demikian, nampaknyaamanat undang-undang ini belum sepenuhnya terlaksana. Di beberapa desa, masih ditemukan adanya penyempitan ruang gerak perempuan untuk terlibat dalam proses pengambilan kebijakan pembangunan di desa.

Agar perempuan desa dapat terhindar dari jebakan perdagangan manusia, pemerintahan desa sudah saatnya mengubah cara berfikir dari pembangunan yang berorientasi pada infrastruktur menuju pembangunan sumberdaya manusia. Sikap aktif dari pemerintah desa untuk melindungi warganya dalam mencegah trafficking, dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: Pertama, perubahan orientasi pembangunan fisik menuju pembangunan sumber daya manusia. Perubahan orientasi ini penting, sebab pembangunan sumber daya manusia merupakan keniscayaan bagi terwujudnya tatanan masyarakat yang demokratis dan bermartabat. Dengan begitu, perempuan dapat menjadi subjek dari pembangunan. Kedua, dibukanya ruang-ruang partisipasi bagi perempuan dalam setiap proses pembangunan. Ketiga, munculnya kebijakan desa untuk pencegahan trafficking.

Implementasi kebijakan tersebut dapat berupa pengawasan atas proses rekrutmen terhadap warga yang hendak bekerja di luar negeri, pencatatan lokasi kerja, dengan siapa warga bekerja, sektor pekerjaan, serta berapa lama kontrak kerja berlangsung. Tujuan dari ketiga hal di atas, selain untuk mengeluarkan perempuan dari zona rentan, juga untuk mencegah agar warga desa tidak terjebak dalam pusaran perdagangan manusia.

*Tulisan ini juga dipublikasikan dalam Buletin Mitra Media Edisi Maret 2017

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Peran Sastra Populer dalam Meningkatkan Literasi di Kalangan Remaja

Published

on

Penulis : Fatin Fashahah, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas

Sastra populer sering dipandang rendah, dianggap hanya untuk hiburan, dangkal, atau terlalu komersial. Sikap seperti ini muncul dari pendapat bahwa karya populer tak setara dengan karya-karya yang biasanya dipelajari di bangku perkuliahan. Padahal, bagi banyak remaja, sastra populer justru menjadi pintu pertama untuk mulai suka membaca. Mengabaikan atau mengecilkan peran sastra populer berarti menutup kesempatan bagi generasi muda untuk jatuh cinta pada dunia tulisan.

UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Fakta ini menunjukkan bahwa masih rendahnya minat membaca rekreasi di banyak kelompok usia.

Namun, ketika pembaca terutama remaja diberi kebebasan memilih bacaan yang sesuai selera dan pengalaman mereka, minat membaca bisa saja meningkat. Dengan kata lain, relevansi isi buku terhadap kehidupan pembaca muda sangat menentukan apakah mereka akan terus membaca atau tidak. Sastra populer seperti buku young adult, novel roman remaja, dan cerita fantasi ringan sering kali menawarkan tema dan tokoh yang mudah dipahami remaja karena ceritanya seringkali dihubungkan dengan kehidupan remaja, sehingga mereka lebih tertarik untuk membaca.

Selain itu, sastra populer lebih mudah diakses lewat platform digital, cerita-cerita di aplikasi dan situs bacaan daring seperti Ipusnas, google play book, wattpad, karyakarsa dll. membuat remaja menemukan teks yang mereka suka kapan saja dengan mudah. Bentuk online juga mendorong interaksi pembaca bisa memberi komentar, berdiskusi, atau bahkan menulis kembali cerita mereka sendiri. Pengalaman berinteraksi seperti ini memberi dorongan kuat untuk terus membaca dan menulis. Beberapa karya yang awalnya populer di dunia maya kemudian diterbitkan secara cetak atau diadaptasi menjadi film dan serial menunjukkan bahwa bacaan populer punya peran penting dalam membangun ekosistem budaya yang lebih luas.

Penolakan terhadap sastra populer sering kali datang dari dua alasan utama. Pertama, alasan estetika, anggapan bahwa karya populer kurang bermutu secara sastra. Kedua, alasan moral atau konten bahwa beberapa cerita mengandung nilai yang dipertanyakan. Kritik seperti ini tidak salah jika tujuannya untuk memperbaiki kualitas karya. Namun, cara menanggapinya yang kurang tepat bisa membuat minat membaca remaja menjadi surut, seharusnya kita bukan melarang atau merendahkan bacaan tersebut. Akan lebih baik jika pembaca pemula diajarkan bagaimana cara membaca yang kritis. Dengan membimbing remaja membaca secara kritis, kita membantu mereka mengenali kekuatan dan kelemahan sebuah teks, sehingga pengalaman membaca menjadi lebih bermakna.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat membaca remaja diantaranya. Pertama, perpustakaan sekolah dan umum perlu menata koleksi yang seimbang baik karya klasik dan akademik berdampingan dengan bacaan populer. Pendekatan ini mengakui bahwa pembaca punya selera berbeda, dan memberi ruang bagi remaja yang sedang mencari gaya baca dan minat mereka. Kedua, guru dan pustakawan harus dilatih untuk memfasilitasi diskusi yang mengaitkan tema populer dengan konsep sastra dasar. Misalnya, dari sebuah novel populer, kita bisa mengajak pembaca membahas tokoh, alur, sudut pandang, atau pesan yang tersirat yanga terdapat di dalam novel tersebut. Langkah sederhana ini bisa mengubah bacaan ringan menjadi bahan belajar yang efektif.

Ketiga, adanya kegiatan klub baca dan lomba menulis berbasis minat yang bisa menghubungkan pembaca muda dengan mentor dan teman sebaya. Suasana komunitas yang saling mendukung membuat kegiatan membaca terasa lebih menyenangkan. Selain itu, adanya lomba menulis membuat remaja merasa diberi ruang kreatif untuk mengekspresikan dirinya. Keempat, harus ada kerja sama antara sekolah dengan platform digital. Hal ini penting untuk menyediakan akses yang aman dan terkurasi. Akses digital tanpa bimbingan bisa berisiko negatif dengan memperkenalkan konten yang kurang sesuai untuk pembaca dibawah umur. Oleh karena itu, peran pendidik dan orang tua tetap penting dalam menumbuhkan minat membaca terutama pembaca anak-anak dan remaja.

Secara budaya, sikap berhati-hati atau keraguan terhadap sastra populer sering kali membuat masyarakat melewatkan cerita-cerita yang sebenarnya dekat dengan kehidupan banyak orang, khususnya para remaja dari berbagai latar belakang. Karya populer dapat menjadi ruang untuk bereksperimen dengan bahasa, identitas, dan pengalaman sehari-hari. Ketika karya semacam ini dibahas di sekolah atau komunitas, karya tersebut berpotensi memperkaya imajinasi serta cara pandang masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Dengan demikian, sastra populer tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi bagian dari wacana budaya yang turut membentuk cara berpikir dan berinteraksi dalam kehidupan sosial.

Kesimpulannya, alih-alih memandang sastra populer secara sebelah mata, akan lebih bermanfaat jika masyarakat mencoba melihat potensinya dalam meningkatkan minat baca dan memperkuat budaya literasi. Pendekatan yang inklusif dapat dimanfaatkan untuk menjadikan daya tarik sastra populer sebagai pintu masuk bagi pembaca pemula. Tentu saja, hal ini tetap perlu disertai dengan bimbingan dan adanya pengenalan terhadap keterampilan membaca kritis serta jenis bacaan yang lebih beragam. Dengan begitu, kebiasaan membaca tidak hanya meningkat, tetapi juga dapat mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan berbahasa generasi muda.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending