Opini
Pengabdian Perempuan Desa
Published
8 years agoon
By
Mitra Wacana
Oleh Hartati (P3A PWP Petuguran, Banjarnegara)
Masih ingat sekali dalam ingatanku saat pertama kali seorang tetanggaku bernama Sulastri, mengajakku ikut pada sacara dari sebuah LSM dari Yogyakarta, Mitra Wacana WRC yang diadakan di Kecamatan Purwonegoro. Waktu itu, 2 Agustus tahun 2015. Saat itu aku seharusnya berangkat ke-sekolah, namun entah kenapa aku lebih memilih untuk menikuti ajakan ibu Sulatri ketimbang berangkat ke sekolah yang adalah pekerjaanku setiap hari. Aku berangkat dari rumah dengan memakai batik berwarna biru, rok hitam dan menggendong tas berwarna hitam pula. Sebuah mobil sudah menunggu kami di jalan. Kami berenam berangkat dari dusunku Kalisat menuju ke dusun sebelah bernama Tangkisan. Karena beberapa orang menunggu disana. Ini kali pertama aku bertemu dengan wanita-wanita di Petuguran yang tergabung dalam organisasi perempuan bernama PWP (Pelita Wanita Petuguran) . Sesampai di rumah makan sido roso Purwonegoro, aku melihat banyak sekali wanita-wanita berkumpul disana yang berasal dari empat desa di Kabupaten Banjarnegara. Disana aku mendengarkan pemateri wanita yang mengesankan dan sangat memotivasi.
Dari pengalaman pertama itu, aku jadi sering mengikuti kegiatan yang diadakan ole Mitra Wacana WRC. Bahkan terkadang aku rela meninggalkan pekerjaanku di sekolah demi ikut kegiatan Mitra Wacana WRC. Aku bukan bermaksud menjadi orang yang tidak bertanggung jawab dengan meninggalkan pekerjaan, namun aku merasa bahwa aku perlu mendapatkan banyak pengalaman dan ilmu dari Mitra Wacana WRC. Disamping untuk diriku sendiri juga bisa aku tularkan kepada anak didikku nanti. Jujur saja, selama bertahun-tahun berada dilingkungan pendidikan aku tidak pernah ada kesempatan untuk mengikuti pelatihan maupun seminar seperti yang aku dapatkan dengan ikut Mitra Wacana WRC. Kalaupun ada pelatihan maka sekolah harus menyiapkan uang untuk membayar dan membeli sertifikat. Itu jauh dari ekspektasiku dan membuatku jadi beranggapan bahwa dunia pendidikan tidak begitu memperhatikanku.
Dengan mengikuti kegiatan di Mitra Wacana WRC, aku menjadi tahu jenis-jenis kekerasan terhadap anak dan sebagai pendidik ternyata itu sangat bermanfaat untuk aku sampaikan kepada anak-anak. Sebelum mengenal Mitra Wacana WRC aku merasa canggung saat menyampaikan materi tentang pendidikan seks kepada anak-anak, bahkan karena kurangnya pengetahuanku, banyak hal-hal yang dialami anak berkaitan dengan pelecehan dan kekerasan di sekolah. Namun aku tidak mengerti dan menganggap itu hal yang biasa. Ternyata setelah belajar dengan Mitra Wacana WRC aku baru sadar, lingkungan sekolah dekat dengan pelecehan dan kekerasan. Seperti anak laki-laki menyincing (menyingkap) rok teman perempuan, mengolok-olok teman, dan bahkan ada anak yang berani mencium teman sekelasnya. Hal itu mereka lakukan karena ketidak tahuan mereka tentang tindakan yang dilakukan, mereka tidak mengerti itu tindakan kekerasan dan pelecehan. Namun sejak aku belajar dengan Mitra Wacana WRC, aku jadi bisa menjelaskan kepada mereka dengan dasar dan pengertian yang relevan.
Beberapa bulan berjalan, kecintaanku terhadap organisasi semakin tumbuh. Ini memang jiwaku yang sudah aku tumbuhkan semenjak masih duduk di bangku SMA. Di SMA dulu aku aktif dikegiatan organisasi OSIS dan Kepramukaan. Sehingga setelah sembilan tahun terkubur seakan bangkit lagi karena dibangunkan oleh ruh organisasi perempuan bernama PWP (Pelita Wanita Petuguran). Hari demi hari aku jalani dengan membagi waktu antara sekolah dan organisasi di desa. Terkadang aku minta izin kepada kepala sekolah karena harus pulang lebih awal dan menyusul teman-temanku di organisasi tatkala sedang ada kegiatan. Bahkan sering juga izin satu atau dua hari tidak berangkat ke sekolah untuk mengikuti pelatihan yang diadakan oleh Mitra Wacana WRC. Sebenarnya aku harus bergelut dengan batinku saat aku harus memilih antara sekolah dan kegiatan di Mitra Wacana WRC. Namun sekali lagi bahwa aku ingin sekali menimba ilmu dari kegiatan yang diadakan Mitra Wacana WRC.
Suatu hari (entah bulann apa), aku baru saja pulang dari sekolahan, baru berganti baju dan beberapa menit duduk menonton televisi. Ponselku berbunyi, salah seorang temanku di organisasi bernama bu Parwati menelponku. Beliau mengatakan sedang rapat dengan teman-teman di organisasi dan memang waktu itu aku tidak bisa hadir karena ada acara lain. Beliau mengatakan bahwa teman-teman menghendakiku untuk menjadi ketua organisasi PWP. Aku menjawab bahwa orang lain saja yang menjadi ketua, karena aku takut tidak bisa total menjalankan tanggung jawabku sebagai ketua. Namun teman-teman tetap bersikukuh supaya aku menjadi ketua. Mereka berdalih bahwa tugas tetap dijalankan bersama tidak berpangku pada ketua saja. Dengan perasaan ragu akhirnya aku menyanggupi permintaan teman-teman di organisasi. Dari situlah aku berpikir, kini jiwa dan ragaku telah terbagi. Aku bukan lagi seorang guru yang utuh mengabdikan diri untuk pendidikan di sekolah, namun separoh jiwaku pun telah menyanggupi untuk menjadi pejuang wanita desa yang mengemban tugas terhadap pendidikan masyarakat.
Pelatihan demi pelatihan aku ikuti, kegiatan demi kegiatan organisasi aku jalani. Perasaan menyayangi telah benar-benar bersemi. Perasaan mencintai benar-benar sudah terpatri (lebay ya?). PWP sudah menjadi bagian hidupku. Berkat PWP lah aku menjadi wanita yang lebih berani, kepercayaan diriku lebih tumbuh, berbicara di depan umum terlatih dengan ikut sosialisasi, karena meski biasa berbicara di depan anak-anak, pada kenyataannya keadaannya sungguh berbeda. Dari situ aku merasakan bahwa perubahan demi perubahan aku rasakan karena PWP.
Suatu ketika aku sedang ada sebuah urusan yang penting. Padahal PWP mau mengadakan pertemuan rutin. Ada sebuah perasaan tidak tenang, jiwa dan ragaku seakan terpisah. Ragaku ada disini, namun tidak dengan jiwaku (lebay lagi). Seperti sebuah lagu romantis yang biasa aku dengar. Aku memikirkan PWP padahal aku pun sedang punya urusan sendiri. Sampai akhirnya aku pulang maghrib, aku mengirim pesan kepada salah seorang teman di organisasi menanyakan hasil pertemuan. Entah aku berpikir apa, kemudian aku mengambil sebuah pulpen dan buku. Aku bernyanyi lirih sambil merekam suaraku. Lalu aku tulis syair tentang apa yang aku pikirkan tentang PWP. Waktu itu tanggal 7 Januari 2017. Malam pukul 19.00 WIB aku menulis lagu mars PWP, sebagai berikut:
Mars PWP
Wanita Petuguran, bersatu didalam perjuangan
Wanita Petuguran, bersatu dalam PWP
Jayalah Pelita Wanita Petuguran
Dalam menjunjung keadilan
Melangkah bersama dalam satu tujuan
Memperjuangkan hak perempuan
Wanita Petuguran, bersatu didalam perjuangan
Wanita Petuguran, bersatu dalam PWP
Meningkatkan kemampuan dalam segala bidang
Bahu membahu saling berpegang tangan
Menjadi wanita yang dapat diandalkan
Dibawah Ridho pencipta alam
Marilah WANITA PETUGURAN.
BANGKITLAH bersama PWP
Berjuanglah pantang menyerah
Menjadi pelita dalam kegelapan
Syair yang ku-tulis ini, menggambarkan isi hatiku tentang PWP. Aku memang sangat menyukai seni, terutama musik. Memang aku ciptakan lagu itu tanpa mengerti not-notnya, karena semua datang begitu saja. Namun andai ada kesempatan aku akan belajar bagaimana cara menulis lagu yang baik dan benar. Supaya suatu hari lagu yang ku ciptakan layak untuk dinyanyikan dan didengar. Aku beranggapan bahwa lagu adalah sebuah cara untuk dikenal orang dan diingat orang. Jika PWP punya lagu maka agar PWP diingat orang dan mudah dikenal orang, dan endingnya PWP mampu membawa spirit perubahan terhadap masyarakat khususnya di desa Petuguran.
Sebulan setelah lagu itu ku ciptakan, Mitra Wacana WRC mengadakan peringatan hari perempuan sedunia, atau disebut IWD (International Women’s Day). Ibu-ibu di PWP antusias sekali menyiapkan acara itu yang akan diadakan di kecamatan. Mereka dengan penuh semangat terus berlatih demi kesuksesan acara.
Sungguh aku merasa bangga punya teman-teman yang memiliki semangat tinggi, sehingga semangat mereka pun menjadi spiritku dalam berorganisasi. Dua hari kami berlatih mereka sudah bisa menyanyikan lagu dengan baik. Ditambah dengan lagu Ibu pertiwi, yang ku iringi dengan musik karaoke dari laptop. Mereka terlihat senang dan tanpa beban saat bernyanyi sehingga dua hari waktu yang cukup untuk mereka siap menampilkan di IWD kecamatan. Satu hari sebelum hari H, kami melakukan gladi bersih di kecamatan. Hari itu pun tiba, yaitu tanggal 29 Maret 2017. Hari yang penting dan bersejarah. Ini kali pertamaku memberikan sambutan di tingkat kecamatan, menjadi ketua panitia acara. Ini juga pertama kalinya karya pertamaku membuat lagu diperdengarkan didepan orang. Sungguh pengalaman yang terus menjadi motivasiku untuk tetap berkarya dan berlatih.
Kegiatan organisasi seolah sudah mendarah daging dalam tubuhku. Kegiatan organisasiku antara lain; sekolah perempuan perdusun, sosialisasi ke sekolah-sekolah, Taman Baca Masyarakat, celengan peduli anak sekolah. Semua kegiatan itu dilakukan oleh perempuan-perempuan desa yang notebenenya bukan orang-orang yang berpendidikan tinggi dan bahkan anggota dari PWP adalah ibu rumah tangga biasa yang beberapa punya usaha kecil dirumah. Ada yang jadi pembuat keripik, bubuk salak, dan dua dua anggota lagi adalah istri pak Kades dan Pak sekdes.
Aku merasa beruntung dan bangga menjadi bagian dari perjuangan perempuan-perempuan desa. Aku merasa menjadi manusia yang bermanfaat bagi masyarakat. Memang, kehadiran Mitra Wacana WRC sangat berguna bagi desaku, Petuguran. Mitra Wacana WRC telah memberikan pendidikan bagi masyarakat melalui program-programnya dan yang lebih membahagiakan lagi, perdes tentang perlindungan terhadap perempuan dan anak akan segera terwujud. Ini akan menjadi kabar gembira karena Petuguran memang mempunyai kasus kekerasan yang cukup banyak, sehingga dengan adanya perdes ini akan menjadi kontrol dan mengurangi angka kekerasan di Petuguran.
Dulu aku ingin sekali masuk kuliah di jurusan sastra, karena aku punya kegemaran membuat puisi dan menulis, selain itu aku juga suka membaca novel. Namun orang tuaku ingin aku masuk di jurusan pendidikan, jadi aku turuti saja keinginan orang tua karena yang terpenting dalam hidupku saat itu adalah aku bisa kuliah. Ilmu tentang kesastraan biar aku cari sendiri entah dimanapun itu. Sehingga tahun 2011 aku lulus kuliah dan menikah di tahun 2012. Hampir semenjak lulus kuliah dan menikah aku sudah jarang sekali menulis puisi dan cerpen. Aku lebih fokus pada pekerjaanku mengajar di sekolah. Hingga dipenghujung tahun 2016 aku menulis kembali. Sepertiya menulis memang dapat menjadi spirit dalam menemukan jalan. Suatu hari pendamping organisasi PWP dari Mitra Wacana WRC mengajakku untuk mngikuti pelatihan menulis selama dua hari.
Ajakan itu menjadi angin segar, inilah cita-citaku yang tidak pernah terlaksana. Berlatih menulis dengan seorang penulis. Aku senang sekali menerima pesan itu, lalu aku menjawab bahwa aku mau ikut pelatihan itu tanpa banyak berpikir dua hari aku harus izin dari sekolah. Aku akan mengikuti pelatihan penulisan buku pengalaman sukses pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Pagi itu saat hari pelatihan tiba, aku benar-benar bersemangat. Aku membayangkan akan belajar menulis puisi maupun cerpen dari seorang penulis yang profesional. Pelatih kami bernama Tia Setyadi yang sudah pengalaman dalam menulis cerpen, beliau juga seorang editor.
Mba Septi Wulandari dari Mitra Wacana WRC juga datang ke acara pelatihan itu. Lalu dihari kedua pelatihan aku menunjukkan hasil karyaku dalam menulis cerpen dan mba Septi membaca cerpenku. Beliau kemudian mengoreksi tulisanku dan memintaku memperbaiki beberapa bagian yang kurang tepat. Setelah ku perbaiki tulisanku ku emailkan pada beliau dan ternyata beliau memuat tulisanku di website perempuan berkisah. Inilah pengalaman pertamaku mempublikasikan sebuah karya cerpen dengan judul perempuan tangguh dari Petuguran. “Terima kasih mba Septi” Pelatihan menulis dua hari itu membangkitkan semangatku untuk terus menulis.
Kegiatan-kegiatan organisasi membuatku belajar banyak hal. Sosialisasi ke dusun-dusun membuatku mengerti akan berbagi. mengerti keadaan warga Petuguran yang ku sadari selama ini tidak aku kenali. Namun dengan kegiatan sosialisasi ke dusun-dusun aku bertemu banyak orang, mengenal banyak orang dan persahabatan di PWP terpupuk dengan kebersamaan itu. Selain sosialisasi ke dusun PWP juga melakukan kegiatan sosialisasi ke Sekolah-sekolah. Kegiatan ini memang sangat penting karena masa depan anak-anak yang merupakan generasi penerus bangsa ini bukan tanggung jawab pemerintah saja namun perlu ada yang menjembatani dan berperan serta terhadap perlindungan mereka dari kejahatan kekerasan. PWP melakukan kegiatan sosialisasi kepada anak-anak sekolah dengan materi KSTA (Kekerasan Seksual Terhadap Anak). semoga bisa menjadi benteng bagi mereka dalam menjaga dirinya dari kejahatan seksual yang bisa terjadi kepada siapa saja dan dimana saja.
Hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun aku lalui bersama organisasi. Perasaan nyaman dan senang aku rasakan saat mengikuti kegiatan organisasi. Sampai hatiku seakan berubah haluan. Dulu aku mengira bahwa mengajar menjadi satu-satunya pekerjaan yang akan aku jalani. Tidak pernah terbesit sedikitpun untuk beralih profesi, namun setelah aku banyak kegiatan bersama PWP aku mulai berpikir untuk mengabdikan diriku untuk desaku. Hingga dibulan September ada pendaftaran kekosongan perangkat desa di formasi Kepala Seksi Pemerintahan. Aku berpikir untuk ikut mendaftar dengan berbagai pertimbangan hingga akhirnya aku mendaftar. Tanggal 29 September aku ujian dan dinyatakan lolos. Itulah pilihan hidup yang aku ambil. Sebuah keputusan terbesar dalam hidupku. Semua karena organisasi, aku jadi lebih mengenal desaku, menjadi lebih mencintai desaku memilih menjadi bagian perjuangan kelompok perempuan di desaku. Sebagai kalimat terakhir, saya ingin mengucapakan; “Banggalah menjadi perempuan desa”.
You may like
Opini
Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya
Published
1 week agoon
8 December 2025By
Mitra Wacana

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2
Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.
Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.
Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.
Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.
Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip.
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.
Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.
Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Mitra Wacana Hadiri Rapat Koordinasi Organisasi Kemasyarakatan Kabupaten Bantul

Mitra Wacana Ikuti Orasi Budaya Hari HAM FISB UII





