Opini
Pengabdian Perempuan Desa
Published
7 years agoon
By
Mitra WacanaOleh Hartati (P3A PWP Petuguran, Banjarnegara)
Masih ingat sekali dalam ingatanku saat pertama kali seorang tetanggaku bernama Sulastri, mengajakku ikut pada sacara dari sebuah LSM dari Yogyakarta, Mitra Wacana WRC yang diadakan di Kecamatan Purwonegoro. Waktu itu, 2 Agustus tahun 2015. Saat itu aku seharusnya berangkat ke-sekolah, namun entah kenapa aku lebih memilih untuk menikuti ajakan ibu Sulatri ketimbang berangkat ke sekolah yang adalah pekerjaanku setiap hari. Aku berangkat dari rumah dengan memakai batik berwarna biru, rok hitam dan menggendong tas berwarna hitam pula. Sebuah mobil sudah menunggu kami di jalan. Kami berenam berangkat dari dusunku Kalisat menuju ke dusun sebelah bernama Tangkisan. Karena beberapa orang menunggu disana. Ini kali pertama aku bertemu dengan wanita-wanita di Petuguran yang tergabung dalam organisasi perempuan bernama PWP (Pelita Wanita Petuguran) . Sesampai di rumah makan sido roso Purwonegoro, aku melihat banyak sekali wanita-wanita berkumpul disana yang berasal dari empat desa di Kabupaten Banjarnegara. Disana aku mendengarkan pemateri wanita yang mengesankan dan sangat memotivasi.
Dari pengalaman pertama itu, aku jadi sering mengikuti kegiatan yang diadakan ole Mitra Wacana WRC. Bahkan terkadang aku rela meninggalkan pekerjaanku di sekolah demi ikut kegiatan Mitra Wacana WRC. Aku bukan bermaksud menjadi orang yang tidak bertanggung jawab dengan meninggalkan pekerjaan, namun aku merasa bahwa aku perlu mendapatkan banyak pengalaman dan ilmu dari Mitra Wacana WRC. Disamping untuk diriku sendiri juga bisa aku tularkan kepada anak didikku nanti. Jujur saja, selama bertahun-tahun berada dilingkungan pendidikan aku tidak pernah ada kesempatan untuk mengikuti pelatihan maupun seminar seperti yang aku dapatkan dengan ikut Mitra Wacana WRC. Kalaupun ada pelatihan maka sekolah harus menyiapkan uang untuk membayar dan membeli sertifikat. Itu jauh dari ekspektasiku dan membuatku jadi beranggapan bahwa dunia pendidikan tidak begitu memperhatikanku.
Dengan mengikuti kegiatan di Mitra Wacana WRC, aku menjadi tahu jenis-jenis kekerasan terhadap anak dan sebagai pendidik ternyata itu sangat bermanfaat untuk aku sampaikan kepada anak-anak. Sebelum mengenal Mitra Wacana WRC aku merasa canggung saat menyampaikan materi tentang pendidikan seks kepada anak-anak, bahkan karena kurangnya pengetahuanku, banyak hal-hal yang dialami anak berkaitan dengan pelecehan dan kekerasan di sekolah. Namun aku tidak mengerti dan menganggap itu hal yang biasa. Ternyata setelah belajar dengan Mitra Wacana WRC aku baru sadar, lingkungan sekolah dekat dengan pelecehan dan kekerasan. Seperti anak laki-laki menyincing (menyingkap) rok teman perempuan, mengolok-olok teman, dan bahkan ada anak yang berani mencium teman sekelasnya. Hal itu mereka lakukan karena ketidak tahuan mereka tentang tindakan yang dilakukan, mereka tidak mengerti itu tindakan kekerasan dan pelecehan. Namun sejak aku belajar dengan Mitra Wacana WRC, aku jadi bisa menjelaskan kepada mereka dengan dasar dan pengertian yang relevan.
Beberapa bulan berjalan, kecintaanku terhadap organisasi semakin tumbuh. Ini memang jiwaku yang sudah aku tumbuhkan semenjak masih duduk di bangku SMA. Di SMA dulu aku aktif dikegiatan organisasi OSIS dan Kepramukaan. Sehingga setelah sembilan tahun terkubur seakan bangkit lagi karena dibangunkan oleh ruh organisasi perempuan bernama PWP (Pelita Wanita Petuguran). Hari demi hari aku jalani dengan membagi waktu antara sekolah dan organisasi di desa. Terkadang aku minta izin kepada kepala sekolah karena harus pulang lebih awal dan menyusul teman-temanku di organisasi tatkala sedang ada kegiatan. Bahkan sering juga izin satu atau dua hari tidak berangkat ke sekolah untuk mengikuti pelatihan yang diadakan oleh Mitra Wacana WRC. Sebenarnya aku harus bergelut dengan batinku saat aku harus memilih antara sekolah dan kegiatan di Mitra Wacana WRC. Namun sekali lagi bahwa aku ingin sekali menimba ilmu dari kegiatan yang diadakan Mitra Wacana WRC.
Suatu hari (entah bulann apa), aku baru saja pulang dari sekolahan, baru berganti baju dan beberapa menit duduk menonton televisi. Ponselku berbunyi, salah seorang temanku di organisasi bernama bu Parwati menelponku. Beliau mengatakan sedang rapat dengan teman-teman di organisasi dan memang waktu itu aku tidak bisa hadir karena ada acara lain. Beliau mengatakan bahwa teman-teman menghendakiku untuk menjadi ketua organisasi PWP. Aku menjawab bahwa orang lain saja yang menjadi ketua, karena aku takut tidak bisa total menjalankan tanggung jawabku sebagai ketua. Namun teman-teman tetap bersikukuh supaya aku menjadi ketua. Mereka berdalih bahwa tugas tetap dijalankan bersama tidak berpangku pada ketua saja. Dengan perasaan ragu akhirnya aku menyanggupi permintaan teman-teman di organisasi. Dari situlah aku berpikir, kini jiwa dan ragaku telah terbagi. Aku bukan lagi seorang guru yang utuh mengabdikan diri untuk pendidikan di sekolah, namun separoh jiwaku pun telah menyanggupi untuk menjadi pejuang wanita desa yang mengemban tugas terhadap pendidikan masyarakat.
Pelatihan demi pelatihan aku ikuti, kegiatan demi kegiatan organisasi aku jalani. Perasaan menyayangi telah benar-benar bersemi. Perasaan mencintai benar-benar sudah terpatri (lebay ya?). PWP sudah menjadi bagian hidupku. Berkat PWP lah aku menjadi wanita yang lebih berani, kepercayaan diriku lebih tumbuh, berbicara di depan umum terlatih dengan ikut sosialisasi, karena meski biasa berbicara di depan anak-anak, pada kenyataannya keadaannya sungguh berbeda. Dari situ aku merasakan bahwa perubahan demi perubahan aku rasakan karena PWP.
Suatu ketika aku sedang ada sebuah urusan yang penting. Padahal PWP mau mengadakan pertemuan rutin. Ada sebuah perasaan tidak tenang, jiwa dan ragaku seakan terpisah. Ragaku ada disini, namun tidak dengan jiwaku (lebay lagi). Seperti sebuah lagu romantis yang biasa aku dengar. Aku memikirkan PWP padahal aku pun sedang punya urusan sendiri. Sampai akhirnya aku pulang maghrib, aku mengirim pesan kepada salah seorang teman di organisasi menanyakan hasil pertemuan. Entah aku berpikir apa, kemudian aku mengambil sebuah pulpen dan buku. Aku bernyanyi lirih sambil merekam suaraku. Lalu aku tulis syair tentang apa yang aku pikirkan tentang PWP. Waktu itu tanggal 7 Januari 2017. Malam pukul 19.00 WIB aku menulis lagu mars PWP, sebagai berikut:
Mars PWP
Wanita Petuguran, bersatu didalam perjuangan
Wanita Petuguran, bersatu dalam PWP
Jayalah Pelita Wanita Petuguran
Dalam menjunjung keadilan
Melangkah bersama dalam satu tujuan
Memperjuangkan hak perempuan
Wanita Petuguran, bersatu didalam perjuangan
Wanita Petuguran, bersatu dalam PWP
Meningkatkan kemampuan dalam segala bidang
Bahu membahu saling berpegang tangan
Menjadi wanita yang dapat diandalkan
Dibawah Ridho pencipta alam
Marilah WANITA PETUGURAN.
BANGKITLAH bersama PWP
Berjuanglah pantang menyerah
Menjadi pelita dalam kegelapan
Syair yang ku-tulis ini, menggambarkan isi hatiku tentang PWP. Aku memang sangat menyukai seni, terutama musik. Memang aku ciptakan lagu itu tanpa mengerti not-notnya, karena semua datang begitu saja. Namun andai ada kesempatan aku akan belajar bagaimana cara menulis lagu yang baik dan benar. Supaya suatu hari lagu yang ku ciptakan layak untuk dinyanyikan dan didengar. Aku beranggapan bahwa lagu adalah sebuah cara untuk dikenal orang dan diingat orang. Jika PWP punya lagu maka agar PWP diingat orang dan mudah dikenal orang, dan endingnya PWP mampu membawa spirit perubahan terhadap masyarakat khususnya di desa Petuguran.
Sebulan setelah lagu itu ku ciptakan, Mitra Wacana WRC mengadakan peringatan hari perempuan sedunia, atau disebut IWD (International Women’s Day). Ibu-ibu di PWP antusias sekali menyiapkan acara itu yang akan diadakan di kecamatan. Mereka dengan penuh semangat terus berlatih demi kesuksesan acara.
Sungguh aku merasa bangga punya teman-teman yang memiliki semangat tinggi, sehingga semangat mereka pun menjadi spiritku dalam berorganisasi. Dua hari kami berlatih mereka sudah bisa menyanyikan lagu dengan baik. Ditambah dengan lagu Ibu pertiwi, yang ku iringi dengan musik karaoke dari laptop. Mereka terlihat senang dan tanpa beban saat bernyanyi sehingga dua hari waktu yang cukup untuk mereka siap menampilkan di IWD kecamatan. Satu hari sebelum hari H, kami melakukan gladi bersih di kecamatan. Hari itu pun tiba, yaitu tanggal 29 Maret 2017. Hari yang penting dan bersejarah. Ini kali pertamaku memberikan sambutan di tingkat kecamatan, menjadi ketua panitia acara. Ini juga pertama kalinya karya pertamaku membuat lagu diperdengarkan didepan orang. Sungguh pengalaman yang terus menjadi motivasiku untuk tetap berkarya dan berlatih.
Kegiatan organisasi seolah sudah mendarah daging dalam tubuhku. Kegiatan organisasiku antara lain; sekolah perempuan perdusun, sosialisasi ke sekolah-sekolah, Taman Baca Masyarakat, celengan peduli anak sekolah. Semua kegiatan itu dilakukan oleh perempuan-perempuan desa yang notebenenya bukan orang-orang yang berpendidikan tinggi dan bahkan anggota dari PWP adalah ibu rumah tangga biasa yang beberapa punya usaha kecil dirumah. Ada yang jadi pembuat keripik, bubuk salak, dan dua dua anggota lagi adalah istri pak Kades dan Pak sekdes.
Aku merasa beruntung dan bangga menjadi bagian dari perjuangan perempuan-perempuan desa. Aku merasa menjadi manusia yang bermanfaat bagi masyarakat. Memang, kehadiran Mitra Wacana WRC sangat berguna bagi desaku, Petuguran. Mitra Wacana WRC telah memberikan pendidikan bagi masyarakat melalui program-programnya dan yang lebih membahagiakan lagi, perdes tentang perlindungan terhadap perempuan dan anak akan segera terwujud. Ini akan menjadi kabar gembira karena Petuguran memang mempunyai kasus kekerasan yang cukup banyak, sehingga dengan adanya perdes ini akan menjadi kontrol dan mengurangi angka kekerasan di Petuguran.
Dulu aku ingin sekali masuk kuliah di jurusan sastra, karena aku punya kegemaran membuat puisi dan menulis, selain itu aku juga suka membaca novel. Namun orang tuaku ingin aku masuk di jurusan pendidikan, jadi aku turuti saja keinginan orang tua karena yang terpenting dalam hidupku saat itu adalah aku bisa kuliah. Ilmu tentang kesastraan biar aku cari sendiri entah dimanapun itu. Sehingga tahun 2011 aku lulus kuliah dan menikah di tahun 2012. Hampir semenjak lulus kuliah dan menikah aku sudah jarang sekali menulis puisi dan cerpen. Aku lebih fokus pada pekerjaanku mengajar di sekolah. Hingga dipenghujung tahun 2016 aku menulis kembali. Sepertiya menulis memang dapat menjadi spirit dalam menemukan jalan. Suatu hari pendamping organisasi PWP dari Mitra Wacana WRC mengajakku untuk mngikuti pelatihan menulis selama dua hari.
Ajakan itu menjadi angin segar, inilah cita-citaku yang tidak pernah terlaksana. Berlatih menulis dengan seorang penulis. Aku senang sekali menerima pesan itu, lalu aku menjawab bahwa aku mau ikut pelatihan itu tanpa banyak berpikir dua hari aku harus izin dari sekolah. Aku akan mengikuti pelatihan penulisan buku pengalaman sukses pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Pagi itu saat hari pelatihan tiba, aku benar-benar bersemangat. Aku membayangkan akan belajar menulis puisi maupun cerpen dari seorang penulis yang profesional. Pelatih kami bernama Tia Setyadi yang sudah pengalaman dalam menulis cerpen, beliau juga seorang editor.
Mba Septi Wulandari dari Mitra Wacana WRC juga datang ke acara pelatihan itu. Lalu dihari kedua pelatihan aku menunjukkan hasil karyaku dalam menulis cerpen dan mba Septi membaca cerpenku. Beliau kemudian mengoreksi tulisanku dan memintaku memperbaiki beberapa bagian yang kurang tepat. Setelah ku perbaiki tulisanku ku emailkan pada beliau dan ternyata beliau memuat tulisanku di website perempuan berkisah. Inilah pengalaman pertamaku mempublikasikan sebuah karya cerpen dengan judul perempuan tangguh dari Petuguran. “Terima kasih mba Septi” Pelatihan menulis dua hari itu membangkitkan semangatku untuk terus menulis.
Kegiatan-kegiatan organisasi membuatku belajar banyak hal. Sosialisasi ke dusun-dusun membuatku mengerti akan berbagi. mengerti keadaan warga Petuguran yang ku sadari selama ini tidak aku kenali. Namun dengan kegiatan sosialisasi ke dusun-dusun aku bertemu banyak orang, mengenal banyak orang dan persahabatan di PWP terpupuk dengan kebersamaan itu. Selain sosialisasi ke dusun PWP juga melakukan kegiatan sosialisasi ke Sekolah-sekolah. Kegiatan ini memang sangat penting karena masa depan anak-anak yang merupakan generasi penerus bangsa ini bukan tanggung jawab pemerintah saja namun perlu ada yang menjembatani dan berperan serta terhadap perlindungan mereka dari kejahatan kekerasan. PWP melakukan kegiatan sosialisasi kepada anak-anak sekolah dengan materi KSTA (Kekerasan Seksual Terhadap Anak). semoga bisa menjadi benteng bagi mereka dalam menjaga dirinya dari kejahatan seksual yang bisa terjadi kepada siapa saja dan dimana saja.
Hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun aku lalui bersama organisasi. Perasaan nyaman dan senang aku rasakan saat mengikuti kegiatan organisasi. Sampai hatiku seakan berubah haluan. Dulu aku mengira bahwa mengajar menjadi satu-satunya pekerjaan yang akan aku jalani. Tidak pernah terbesit sedikitpun untuk beralih profesi, namun setelah aku banyak kegiatan bersama PWP aku mulai berpikir untuk mengabdikan diriku untuk desaku. Hingga dibulan September ada pendaftaran kekosongan perangkat desa di formasi Kepala Seksi Pemerintahan. Aku berpikir untuk ikut mendaftar dengan berbagai pertimbangan hingga akhirnya aku mendaftar. Tanggal 29 September aku ujian dan dinyatakan lolos. Itulah pilihan hidup yang aku ambil. Sebuah keputusan terbesar dalam hidupku. Semua karena organisasi, aku jadi lebih mengenal desaku, menjadi lebih mencintai desaku memilih menjadi bagian perjuangan kelompok perempuan di desaku. Sebagai kalimat terakhir, saya ingin mengucapakan; “Banggalah menjadi perempuan desa”.
You may like
Opini
RUU PPRT dan Eksploitasi Pekerja Rumah Tangga (Analisis Feminis)
Published
4 weeks agoon
8 November 2024By
Mitra WacanaDi balik gemerlapnya kehidupan perkotaan dan kemewahan yang dipamerkan oleh sebagian besar keluarga Indonesia, ada satu sektor yang sering terabaikan dan dibiarkan terjerat dalam eksploitasi pekerja rumah tangga (PRT). Bukan hanya pekerjaan yang tidak dihargai, tetapi juga kelompok pekerja ini sering diperlakukan tanpa keadilan.
Mereka adalah perempuan-perempuan yang menjadi korban dari sistem patriarki dan ketidakpedulian negara, berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan kondisi yang lebih mirip perbudakan modern daripada pekerjaan yang dihargai. Bayangkan, selama lebih dari dua dekade, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang seharusnya memberikan perlindungan bagi mereka, masih diperdebatkan dan tertunda pengesahannya.
Mengapa? Apakah kita, sebagai masyarakat, begitu terbuai dengan kenyamanan dan kemewahan yang didapat dari eksploitasi kerja mereka hingga tak mampu melihat kesengsaraan di baliknya?
Saya di sini aakan mencoba membongkar realita pahit di balik pekerjaan rumah tangga berdasarkan data-data yang ada, mengungkap bagaimana ideologi feminis menawarkan jalan keluar, dan mengapa pengesahan RUU PPRT adalah langkah mendesak untuk menciptakan keadilan sosial yang sesungguhnya.
Perspektif feminis sangat relevan dalam memahami isu ini, mengingat mayoritas PRT adalah perempuan. Pekerjaan domestik, yang secara tradisional dianggap sebagai “kerja perempuan,” sering kali tidak dihargai dan dilindungi.
Eksploitasi PRT dan Perspektif Feminisme
Dalam masyarakat patriarkal, pekerjaan rumah tangga sering kali dipandang sebagai tugas alami perempuan. Hal ini menciptakan stigma bahwa pekerjaan domestik, termasuk yang dilakukan oleh PRT, tidak memiliki nilai ekonomi yang signifikan.
Perspektif feminis menekankan bahwa pekerjaan domestik adalah elemen penting dalam mendukung aktivitas ekonomi keluarga, terutama bagi kelas menengah dan atas.
Bell hooks, dalam bukunya Feminism is for Everybody, menekankan bahwa feminisme harus mencakup perjuangan untuk keadilan bagi perempuan pekerja dari kelas bawah. Ia mengkritik bagaimana kapitalisme dan patriarki berkontribusi pada marginalisasi pekerjaan domestik, yang mayoritas dilakukan oleh perempuan dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu.
Hooks menegaskan bahwa pekerjaan domestik tidak boleh diremehkan atau dieksploitasi.
Sebagian besar PRT di Indonesia berasal dari pedesaan dan memiliki tingkat pendidikan rendah. Ketimpangan kelas ini memperburuk kerentanan mereka terhadap eksploitasi.
Banyak PRT yang bekerja lebih dari 12 jam sehari tanpa jaminan sosial atau perlindungan hukum. Ketiadaan regulasi memperparah ketimpangan ini, membuat mereka mudah dieksploitasi oleh pemberi kerja yang tidak bertanggung jawab.
Gambaran Eksploitasi PRT
Salah satu kasus paling menonjol yang menggambarkan pentingnya perlindungan hukum bagi PRT adalah kasus Erwiana Sulistyaningsih. Erwiana adalah PRT asal Indonesia yang bekerja di Hong Kong.
Selama bekerja, ia mengalami kekerasan fisik dan mental yang parah dari majikannya. Erwiana dipaksa bekerja tanpa istirahat, menerima upah yang sangat minim, dan tidak diberikan akses layanan kesehatan saat ia sakit.
Kasus Erwiana menarik perhatian internasional dan menjadi simbol perjuangan hak PRT. Meskipun terjadi di luar negeri, kasus ini mencerminkan kondisi yang serupa dialami oleh banyak PRT di Indonesia. Tanpa regulasi seperti RUU PPRT, pelanggaran hak terhadap PRT cenderung terus terjadi tanpa ada sanksi tegas bagi pelaku.
RUU PPRT: Solusi untuk Perlindungan PRT
RUU PPRT muncul sebagai jawaban atas kebutuhan mendesak untuk melindungi pekerja rumah tangga yang selama ini sering kali terabaikan dan dieksploitasi. Rancangan Undang-Undang ini dirancang untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih komprehensif, dengan berbagai poin penting yang dapat mengubah nasib para pekerja rumah tangga.
Salah satunya adalah pengaturan mengenai hak atas kontrak kerja formal, yang selama ini menjadi hal yang langka bagi sebagian besar PRT. Tanpa kontrak yang jelas, mereka sering kali dirugikan dalam hal upah, jam kerja, dan hak-hak lainnya.
Selain itu, RUU PPRT juga menetapkan jam kerja yang wajar, sebuah langkah krusial untuk memastikan bahwa PRT tidak dipaksa bekerja tanpa henti, tanpa waktu istirahat yang cukup.
Tidak hanya itu, RUU ini juga menjamin bahwa para pekerja rumah tangga akan mendapatkan upah minimum yang sesuai dengan standar yang berlaku, memberikan mereka hak yang sama untuk mendapatkan penghasilan yang layak.
Pentingnya jaminan sosial dan kesehatan juga diatur dalam RUU ini, memastikan bahwa PRT tidak hanya diakui sebagai pekerja, tetapi juga diberikan perlindungan atas kesehatan mereka yang sering kali terabaikan.
Untuk mendukung hal tersebut, mekanisme pengaduan yang jelas juga disediakan bagi PRT yang menghadapi pelanggaran hak, membuka pintu untuk keadilan yang lebih cepat dan aksesibilitas bagi mereka yang membutuhkan perlindungan.
Namun, lebih dari sekadar perlindungan hukum, RUU PPRT juga bertujuan untuk menghapus stigma terhadap pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan ini, yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan “tidak penting” dan hanya layak dilakukan oleh perempuan dari lapisan masyarakat bawah, kini akan diakui sebagai sektor formal yang memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian negara.
Dengan demikian, RUU PPRT tidak hanya melindungi hak-hak PRT, tetapi juga mengangkat martabat mereka sebagai pekerja yang berharga dalam struktur sosial dan ekonomi.
Namun, pengesahan RUU PPRT menghadapi berbagai tantangan, mulai dari resistensi politik hingga kurangnya kesadaran publik akan pentingnya regulasi ini. Beberapa pihak berargumen bahwa regulasi ini akan memberatkan pemberi kerja.
Namun, perspektif feminis menekankan bahwa perlindungan hak PRT bukan hanya tentang kepentingan individu, tetapi juga tentang keadilan sosial dan pengakuan atas kontribusi ekonomi mereka.
Mengapa Perspektif Feminisme Penting dalam Perjuangan RUU PPRT?
Feminisme menekankan bahwa pekerjaan domestik harus diakui sebagai pekerjaan formal yang memiliki nilai ekonomi dan sosial. Pengesahan RUU PPRT akan menjadi langkah penting dalam menghapus stigma bahwa pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan “tidak penting.”
Hal tersebut juga akan memberikan pengakuan yang layak bagi perempuan yang selama ini terjebak dalam lingkaran eksploitasi karena pekerjaan mereka tidak dihargai secara formal.
Selain itu, eksploitasi terhadap PRT adalah bagian dari masalah yang lebih besar dalam budaya patriarki yang menganggap pekerjaan perempuan sebagai sesuatu yang dapat dieksploitasi tanpa konsekuensi.
Pengesahan RUU PPRT tidak hanya akan memberikan perlindungan hukum, tetapi juga membantu mengubah cara pandang masyarakat terhadap pekerjaan domestik, sehingga menciptakan lingkungan yang lebih setara dan adil.
Dengan demikian, pekerja rumah tangga adalah kelompok yang sangat rentan terhadap eksploitasi dan pelanggaran hak di Indonesia. Perspektif feminis, seperti yang diusung oleh bell hooks, menyoroti pentingnya melawan ketidakadilan ini dengan mengakui pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan formal yang layak dihargai dan dilindungi.
Kasus Erwiana Sulistyaningsih menunjukkan bagaimana kekerasan dan eksploitasi dapat terjadi dalam ketiadaan perlindungan hukum.
Pengesahan RUU PPRT adalah langkah penting untuk memastikan keadilan sosial dan kesetaraan gender. RUU ini akan memberikan perlindungan hukum bagi PRT, meningkatkan kondisi kerja mereka, dan menghapus stigma negatif terhadap pekerjaan domestik.
Dengan demikian, perjuangan untuk pengesahan RUU ini harus menjadi prioritas dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.
Referensi
- hooks, bell. Feminism is for Everybody: Passionate Politics. South End Press, 2000.
- Komnas Perempuan. Satu Suara Wujudkan Cita-Cita untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, 2024. https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-peringatan-26-tahun-komnas-perempuan
JALA PRT. Statistik Pelanggaran Hak PRT di Indonesia, 2023.