web analytics
Connect with us

Opini

Pentingnya Pendidikan Seks Sejak Dini

Published

on

Arif Rahman Hakim

Arif R. Hakim

Oleh  Arif Rahman Hakim

Pekan lalu banyak pemberitaan kejahatan seksual yang sebagian besar korbannya adalah anak-anak. Ironisnya, pelaku kejahatan seksual adalah orang-orang terdekat bahkan ada juga orang terpandang dikalangan masyarakat.

Anggapan sekolah adalah tempat yang aman bagi anak sepertinya tak sepenuhnya benar. Buktinya kasus kejahatan seksual rupanya tak hanya terjadi di kolong jembatan, terminal atau di rumah tetapi juga di sekolah. Seperti kasus kejahatan seksual yang menimpa anak didik JIS (Jakarta Internatinonal School) pekan lalu sempat menghebohkan sekaligus mengagetkan masyarakat. Pasalnya, sekolah bertaraf internasional yang kredibilitasnya tak lagi diragukan masih saja kecolongan dari tindak kejahatan seksual.

Lantas bagaimana dengan sekolah-sekolah yang lain? Seperti dilansir Tempo.com (15/4/14), sejumlah kasus kejahatan seksual terjadi di beberapa sekolah di ibu kota. Seorang siswi di SMA Negeri 22 Jakarta Timur melapor telah dicabuli wakil kepala sekolah. Pengadilan menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp. 60 juta (9/2/11). Selain itu, seorang siswi kelas VI sekolah dasar mengaku telah dilecehkan gurunya. Bocah itu ketakutan dan tidak berani berangkat ke sekolah karena diancam si guru (29/10/13), Orang tua siswa SMP Negeri 4 Jakarta Pusat melaporkan anaknya menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan sejumlah teman sekolahnya (14/10/13).

Ibarat gunus es, bahwa kejahatan seksual yang menimpa anak hanya beberapa yang terungkap dan terselesaikan kasusnya. Artinya pelaku atau calon pelaku kejahatan seksual setiap saat masih mengintai korban. Jadi, orang tua mana yang tidak miris melihat anak-anaknya yang setiap saat diintai pelaku kejahatan seksual? Pelakunya pun bisa siapa saja, kapan dan dimanapun berada.

Gencarnya media massa memberitakan kasus kejahatan seksual membuat para orang tua merinding. Orang tua, terutama yang mempunyai anak gadis tentu saja cemas sekaligus berharap agar anaknya aman dari kejahatan seksual. Namun, karena alasan intensitas waktu, atau minimnya pengetahuan tentang pendidikan seks, para orang tua tak bisa berbuat banyak untuk bisa membentengi anak dari kejahatan seksual.

Pendidikan Seks

Salah satu cara agar anak terhindar dari tindak kekerasan seksual adalah memberikan pendidikan seks kepada anak sejak dini. Pendidikan seks sejak dini harus dimulai dari keluarga, karena orang tua adalah orang pertama dan utama yang bertanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.

Pendidikan seks yang bisa dibicarakan pada anak usia pra sekolah adalah pengenalan identitas diri dan jenis kelamin, hubungan antara laki-laki dan perempuan, organ-organ reproduksi dan fungsinya, bagaimana menjaga kesehatannya, serta keterampilan mengindarkan diri dari kekerasan seksual(Tabloid Nakita.com, 24/2/14). Jika sudah cukup usia, anak perlu mendapatkan pemahaman pengetahuan mengenai haid bagi perempuan, atau mimpi basah bagi laki-laki. Tak terkecuali pengetahuan tentang penyakit akibat perilaku seksual seperti HIV/AIDS. Penyampaian pendidikan seks tersebut dilakukan secara wajar, jujur, sederhana serta menggunakan bahasa yang mereka pahami.

Orang tua, guru, tokoh agama, masyarakat yang keberadaannya menjadi perhatian anak, sebaiknya juga memiliki kesadaran dan pengetahuan yang sama tentang pemahaman dan penyampaian pendidikan seks yang tepat bagi anak. Sehingga penyebaran informasi pendidikan seks dapat berjalan secara intens dan berkesinambungan. Kerjasama integratif antar elemen masyarakat dalam bingkai pecegahan kejahatan seksual tersebut memberi keuntungan pada efesiensi dan efektifas penyebaran pendidikan seks bagi anak.

Ketika anak sudah banyak mendapat penguatan pendidikan seks, anak siap mengahadapi tantangan dunia luar yang bersinggungan dengan persoalan seksual seperti gambar, suara, atau bacaan-bacaan porno.Dengan demikian, setiap saat anak tetap waspada dalam menjaga diri dari perilaku pelecehan atau kekerasan seksual. ***

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Opini

Nasib Manuskrip Pasca Banjir: Upaya Penyelamatan dan Restorasi Budaya

Published

on

Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Andalas2

Ungkapan “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” bukan hanya sekedar pepatah Minangkabau, melainkan juga memori ekologis masyarakat terhadap alam. Banjir bukan hanya sekedar peristiwa alam, melainkan bagian dari sejarah yang terus berulang dan meninggalkan bekas pada masyarakat. Namun, perubahan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bentang alam dan kehidupan sosial, tetapi juga pada jejak intelektual masa lalu masyarakat, salah satunya terekam dalam manuskrip.

Manuskrip merupakan tulisan yang ditulis menggunakan tangan pada lembaran-lembaran kertas, yang didalamnya berisi pemikiran orang-orang pada masa lampau. Sejalan dengan Baried (1985:54) manuskrip adalah medium teks berbentuk konkret dan nyata. Di dalam Manuskrip ditemukan tulisan-tulisan yang merupakan sebuah simbol bahasa untuk menyampaikan sesuatu hal tertentu. Manuskrip dapat dikatakan sebagai salah satu warisan nenek moyang pada masa lampau, berbentuk tulisan tangan yang mengandung berbagai pemikiran dan perasaan tercatat sebagai perwujudan budaya masa lampau. Sehingga akan sayang sekali jika pemikiran nenek moyang kita hilang akibat penanganan yang kurang tepat.

Manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau, rumah gadang, perpustakaan nagari, maupun kediaman para ninik mamak sering kali menjadi korban dari bencana alam, salah satunya banjir. Karena setelah banjir tersebut mulai surut, nasib manuskrip itu dipertaruhkan. Ketika banjir menyapu perkampungan, kertas-kertas manuskrip itu basah oleh air, menyebabkan tulisan pada teks-nya bisa saja pudar. Pada titik inilah penanganan awal menjadi penentu apakah sebuah naskah masih mungkin diselamatkan atau justru rusak.

Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara penanganan darurat manuskrip basah. Di beberapa tempat, manuskrip yang terendam justru dijemur langsung di bawah terik matahari yang bisa menyebabkan lembarannya menempel. Ada pula yang mengeringkannya di dekat api untuk mempercepat proses pengeringan, padahal suhu panas justru membuat tinta luntur dan kertas mengerut. Bahkan dalam situasi panik, sebagian manuskrip dibersihkan dengan kain kasar atau disikat karena dianggap kotor, yang pada akhirnya merobek halaman-halaman yang sebenarnya masih mungkin diselamatkan. Kecerobohan kecil seperti itu sering kali menjadi perbedaan antara manuskrip yang dapat bertahan dan punah.

Untuk itu, perlunya peran dan dukungan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penanganan dan perawatan manuskrip yang benar, karena manuskrip seringkali berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, detik-detik pertama setelah air surut sepenuhnya bergantung pada pengetahuan masyarakat setempat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat baik individu maupun lembaga dalam merawat dan melestarikan manuskrip. 

Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan edukasi tentang perawatan manuskrip yang baik dan benar sehingga manuskrip yang ada seringkali rusak sebelum sempat di digitalisasi. Padahal langkah-langkah sederhana seperti memisahkan halaman yang menempel, mengeringkan naskah di tempat teduh dan berangin, atau menyerap air dengan tisu tanpa tekanan berlebihan, bisa menjadi penyelamat sebelum tim konservator datang. Edukasi inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah, perpustakaan, dan lembaga kebudayaan.

Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan dari dahulu kala. Hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa pengetahuan mengenai perawatan naskah manuskrip sangat penting, tidak hanya bagi satu pihak saja tetapi diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Kerja sama antara pemerintah, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat adalah kunci dalam menjaga keberlangsungan manuskrip. Pemerintah dapat mengambil peran sebagai penyedia edukasi, tentang bagaimana penanganan darurat terhadap manuskrip, serta menyediakan peralatan yang menunjang penyelamatan manuskrip. Sementara masyarakat, sebagai pihak terdekat dengan naskah, menjadi penentu apakah pengetahuan teoretis itu dapat dijalankan dengan benar di lapangan.

Jika manuskrip adalah kunci yang menyimpan ingatan suatu peradaban, maka penyelamatannya adalah urusan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga, masyarakat adat, dll. Banjir boleh mengubah bentuk geografis daerah, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus jejak pemikiran para leluhur yang sudah diwariskan begitu lama. Karena pada akhirnya, yang membuat suatu masyarakat bertahan bukan hanya rumah dan infrastruktur yang diperbaiki, ataupun peradaban yang dibangun ulang, tetapi juga tentang cerita, gagasan, ilmu dan identitas yang mereka wariskan melalui lembaran-lembaran kertas tua.

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

Twitter

Trending